Awal perubahan

Anjani tersenyum miris saat mendengar ucapan Aryan. Ternyata, tepat dugaannya. Aryan hanya menunggu kematian sang Kakek untuk menceraikan dirinya.

Tanpa sadar, tangan Anjani terkepal kuat diatas meja. Dan, hal itu tak luput dari penglihatan Aryan.

"Pasti Anjani akan menolak untuk bercerai denganku. Tapi, aku juga tidak bisa mempertahankan pernikahan palsu ini lagi. Aku dan dia harus berpisah bagaimana pun caranya." Aryan bergumam dalam hatinya.

"Aku tahu jika keputusan ini tidak adil untuk kamu. Tapi, aku bisa apa, Anjani? Hati tidak bisa dibohongi. Daripada kita saling menyakiti, maka lebih baik kita saling melepaskan."

Aryan masih berbicara panjang lebar. Sementara, Anjani masih saja terdiam tanpa merespon apa-apa.

"Anjani, katakan sesuatu! Jangan diam saja!" tegur Aryan.

"Siapa perempuan itu?" tanya Anjani. Meski, dia sudah tahu siapa orangnya, namun dia ingin mendengar pengakuan dari mulut Aryan sendiri.

"Belum saatnya kamu tahu," jawab Aryan.

Anjani mengangguk. Dia mengusap air matanya yang terus terjatuh.

"Tolong berhentilah menangis! Jangan buat dirimu semakin terlihat menyedihkan, Anjani!" gumam Anjani dalam hatinya.

"Nanti, aku akan memberikan setengah dari hartaku sebagai kompensasi untuk kamu. Jadi, walaupun kita bercerai, hidup kamu juga tidak akan terlalu menderita."

Ya, Aryan rasa ini adalah solusi yang terbaik. Selama ini, Anjani hanyalah seorang Ibu rumah tangga yang tidak memiliki keahlian apa-apa. Jika bukan uang darinya, maka perempuan itu tak akan bisa membeli apa-apa.

Jadi, sudah sewajarnya jika Aryan memberi ganti rugi yang cukup sepadan untuk Anjani, kan? Hitung-hitung, sebagai bentuk balas budi Aryan karena Anjani telah merawatnya selama dua tahun ini dengan sangat baik. Selain itu, anggap saja kompensasi itu juga sebagai bentuk penebusan rasa bersalah Aryan terhadap Anjani.

"Baik," angguk Anjani setuju.

"Kamu bilang apa?" tanya Aryan. Dia pikir, mungkin dia salah dengar. Tidak mungkin Anjani setuju begitu saja.

"Baik. Aku setuju. Silakan susun draft perceraiannya dan segera kabari aku begitu selesai," jawab Anjani.

Aryan mematung ditempat duduknya. Pikirannya bingung. Kenapa Anjani setuju secepat ini?

"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, lebih baik kamu segera berangkat. Nanti terlambat."

Seketika, Aryan kembali ditarik ke dunia nyata. Bukankah justru bagus jika Anjani menerima perceraian ini dengan mudah? Itu artinya, Aryan tidak perlu bersusah payah melawan Anjani di persidangan nanti.

"Hari ini, aku harus berangkat dinas ke luar kota. Nanti, setelah urusan kantor selesai, baru kita urus perceraian kita secara resmi."

"Kali ini, berangkat dinasnya berapa lama?" tanya Anjani.

"Seratus hari," jawab Aryan.

"Oke," angguk Anjani tanpa bertanya lebih lanjut lagi.

Aryan pun berdiri. Dia berusaha membulatkan tekadnya.

"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai. Kamu persiapkan diri kamu."

Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.

"Baik," angguk Anjani dengan suara serak.

Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.

Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.

Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.

***

Seminggu setelah kepergian Aryan ke luar kota, Anjani masih belum melakukan apa-apa. Dia hanya terus melamun didalam kamar. Berusaha memikirkan cara, bagaimana menyampaikan kabar perceraian ini kepada sang Ibu.

Dengan lesu, Anjani melihat ponselnya. Tak ada satu pesan atau panggilan yang masuk. Seolah-olah, semua orang tidak ada yang sadar meski dia sudah tak ada kabar selama seminggu.

"Sepertinya, tidak ada satu orang pun yang benar-benar mengkhawatirkan aku," gumamnya sambil tersenyum miris.

Tanpa sengaja, Anjani menatap wajahnya sendiri yang terpantul lewat cermin meja rias. Bibirnya pucat dan pecah-pecah. Matanya bengkak dengan lingkaran hitam yang mengelilingi.

Kondisi Anjani benar-benar terlihat sangat menyedihkan.

Tring!

Sebuah pesan tiba-tiba masuk. Dengan tak sabaran, Anjani lekas membuka pesan itu. Siapa tahu, itu pesan dari sang Ibu.

"Lihat, Anjani! Kak Aryan membelikan gaun merah ini khusus untukku. Katanya, aku semakin bertambah seksi jika mengenakan gaun merah ini."

Anjani menelan ludahnya dengan susah payah. Tampak, Luna mengirimkan foto tubuhnya yang dibalut dengan gaun merah menyala. Gaun itu terlihat sangat indah. Cocok sekali dengan proporsi tubuh Luna yang langsing dan cukup tinggi.

"Kata Kak Aryan, matanya selalu sakit jika melihat kamu dengan daster lusuhmu itu. Sudah gendut, tidak tahu fashion pula. Wajar, jika Kak Aryan merasa jijik dengan kamu."

Berikutnya, Luna mengirimkan sebuah pesan suara yang semakin menghancurkan perasaan Anjani.

"Mana pernah aku menyentuh dia selama menikah, Sayang. Apa kamu nggak lihat, bagaimana jeleknya dia? Wajahnya kusam. Tubuhnya besar seperti karung beras. Setiap kali dia berada di dekatku, aku rasanya ingin muntah. Aku bahkan sengaja melarangnya tidur diatas kasur selama dua tahun ini karena tidak tahan dengan wajahnya yang menyeramkan."

Air mata Anjani menetes lagi. Ternyata, dirinya begitu menjijikkan di mata Aryan. Dan, hebatnya... Lelaki itu mampu berakting selama dua tahun sebagai lelaki yang mencintai sang istri apa adanya. Padahal, dalam benak dan hati Aryan, pastilah lelaki itu merasa sangat tertekan.

Baiklah! Sudahi air matamu Anjani! Kurang dari seratus hari, kamu akan bercerai dengan Aryan. Jadi, kamu harus mempersiapkan segalanya. Waktunya, kembali menjadi Anjani yang dulu. Anjani yang juga punya mimpi dan ambisi untuk dikejar.

Tekad itu sudah bulat. Tak gunanya terus terpuruk dalam kesedihan. Saatnya, untuk mendapatkan kembali sosok Anjani yang lama.

"Pertama-tama, kita harus diet," gumam Anjani bermonolog.

Dia pun meraih ponselnya kembali. Sebuah nomor yang sudah dua tahun masuk dalam daftar blokirnya kembali ia buka. Ia pun menghubungi nomor itu dengan jantung yang deg-degan.

"Apa? Masih hidup rupanya? Aku pikir, kamu sudah mati, Anjani Syailendra."

Begitu telepon tersambung, Anjani langsung disambut oleh suara galak sang sahabat. Namanya, Anushka Yama. Putri bungsu keluarga Yama, orang terkaya di kota mereka.

"Anushka," panggil Anjani dengan suara serak.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" Kini, suara galak itu berubah menjadi cemas. "Apa Aryan menyakiti kamu? Ayo, jawab! jangan diam saja!"

"Anushka... Aku ingin diet."

"Hah?"

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

emg g ada nama yg laun apa thor, geli baca nama'a anushka🤣

2025-09-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!