4 Kejutan di pesta ulang tahun

Beberapa tamu yang mendengar ikut terkekeh, meskipun jelas maksud March lebih menusuk daripada memuji.

Wajah Antony mengeras, rahangnya mengatup rapat. Ia tahu adiknya itu sengaja mempermalukannya di depan banyak orang.

Namun, alih-alih meledak, Antony hanya menegakkan bahunya dan meneguk habis winenya.

“Apa pun hadiah yang ayah berikan, itu hasil kerja keras anakku sendiri, bukan belas kasihan,” balas Antony dingin.

March menyeringai, matanya berkilat penuh provokasi. “Oh tentu, tentu. Alric memang berbeda. Lihatlah—tutur katanya halus, wajahnya rupawan, dan semua orang mengelilinginya. Dia benar-benar darah D’Arvenne. Tidak seperti sebagian dari kita…” Ia menekankan kalimat terakhir sambil menatap Antony dengan tatapan licik.

Antony hendak menjawab, namun tiba-tiba Kakek Djin tertawa kecil dari kursi rodanya. “March… March… lidahmu masih setajam dulu.”

Suara tua itu langsung membungkam percakapan. Semua kepala menoleh ke arah Djin D’Arvenne, yang menatap anak-anaknya dengan senyum samar, entah hangat, atau malah menyindir.

“Tapi… memang benar,” lanjut Kakek Djin, tatapannya kini jatuh pada Alric. “Anak itu istimewa.”

Alric, yang baru menyadari dirinya jadi pusat perhatian, buru-buru memberi hormat dengan sopan. “Terima kasih, Kakek.”

Para tamu mulai berbisik-bisik. Ada yang memuji, ada yang membandingkan, dan ada pula yang iri. Aura persaingan yang sudah lama membara dalam keluarga D’Arvenne seakan semakin dipicu oleh satu nama: Alric.

March meneguk winenya sekali lagi, lalu menepuk bahu Antony dengan kasar. “Selamat, Kakakku. Mungkin sebentar lagi, kau bukan hanya akan menjadi kepala keluarga… tapi juga ayah dari seorang pewaris sejati.”

Tatapan Antony menusuk tajam, namun sebelum sempat membalas, tiba-tiba pintu besar aula berderit terbuka.

Suara dentingan piano berhenti. Semua tamu menoleh.

Sosok yang baru saja masuk membuat bisik-bisik berubah menjadi keheningan.

Seorang pria tinggi berjas hitam melangkah masuk dengan sorot mata dingin—Leon.

Langkahnya tenang, namun setiap ayunan seolah menimbulkan tekanan tak kasatmata. Aura asing yang kontras dengan kemewahan pesta membuat suasana berubah kaku.

Kakek Djin yang semula tersenyum ramah tiba-tiba terdiam, matanya membelalak, tangannya bergetar di atas pegangan kursi roda seolah mengenali sosok yang datang.

“Tidak mungkin… bagaimana bisa....” bisiknya lirih.

Sementara March dan Antony saling berpandangan, bingung dan heran.

"Siapa bajingan ini?" ucap March tampak kurang suka.

Mata Antony menyipit, mencoba mengenali siapa sebenarnya pria yang memiliki aura mengerikan itu.

Dan Alric, yang masih dikerumuni banyak tamu, ikut menoleh—pandangan matanya bertemu dengan Leon untuk pertama kalinya. Seolah dunia berhenti sesaat.

March mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekati telinga Kakek Djin sambil berbisik, “Siapa orang itu, Ayah? Kenapa kau bereaksi berlebihan hanya karena seorang pengacau tak dikenal?”

Wajah Kakek Djin memucat, jemari tuanya bergetar di atas pegangan kursi roda. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang kini berdiri tegak di tengah aula. “D-dia... dia seharusnya sudah mati… kenapa bisa kembali…”

March terbelalak. “Mati? Apa maksudmu?”

Namun Djin hanya terdiam, napasnya terengah seolah jiwanya benar-benar terguncang.

Sementara itu, Leon melangkah perlahan mendekati mereka. Suara sepatu kulitnya beradu dengan lantai marmer, memantul dingin di ruang besar yang hening.

Tatapan tamu-tamu mengikuti setiap gerakannya, sebagian diliputi rasa penasaran, sebagian lagi merinding tanpa alasan.

Sampai akhirnya Leon berhenti di hadapan Kakek Djin. Ia menundukkan kepala sedikit—sopan tapi bukan dengan kerendahan hati. Lebih mirip penghormatan seorang hakim pada terdakwa.

“Selamat ulang tahun yang ke-98, Kakek…” suara Leon rendah, dalam, dan dingin. “Sungguh luar biasa… masih bisa tersenyum setelah hampir satu abad menghabiskan nyawa orang lain demi kejayaan keluarga ini.”

Ucapan itu terdengar seperti selamat, tapi tiap katanya menusuk bagai belati yang dilapisi racun.

March sontak melangkah maju, wajahnya merah padam. “Kurang ajar! Siapa kau berani bicara seperti itu pada Kepala Keluarga D’Arvenne!?”

Namun Leon bahkan tidak meliriknya. Seolah suara March hanyalah dengung lalat di telinganya. Ia tetap menatap Kakek Djin dengan sorot mata dingin.

“Dulu aku datang tanpa undangan, dan kau tahu apa yang terjadi. Kini aku datang lagi, juga tanpa undangan… mungkin memang begitulah takdirku di keluarga ini.”

Bisik-bisik tamu mulai gaduh. Sebagian menahan napas, sebagian melirik penuh rasa ingin tahu.

March tak tahan, ia maju lebih dekat. “Jawab aku, bajingan! Siapa kau!?”

Leon masih belum menanggapinya. Ia menenteng koper hitam miliknya dan dengan tenang meletakkannya di meja di depan Kakek Djin.

Koper itu terbuka sendiri, memperlihatkan sebatang bunga bakung hitam yang tampak menyeramkan, kelopaknya gelap pekat bagai malam tanpa bulan.

Leon tersenyum tipis. “Hadiah dariku… Bakung hitam. Bunga yang hanya tumbuh di tanah pemakaman. Cocok bukan? Untuk memperingati keluarga yang sekarat ini.”

Deg—!

Ucapan itu membuat udara di aula seolah berhenti. Para tamu bergidik. Wajah Antony mengeras, March meledak, Lucienne menutup mulutnya tak percaya ada orang yang berani berkata seperti itu di hadapan ayahnya.

Sementara Kakek Djin menatap bakung itu lama sekali—mata tuanya berkaca-kaca, bukan karena haru… tapi ketakutan dan ketidakpercayaan.

"Jadi begitu... Kau datang kembali untuk membalas dendam pada keluarga D'Arvenne, Leon. Tapi biar ku peringatkan jika itu tidak akan pernah terjadi, keluarga D'Arvenne akan tetap berdiri penuh kekuasaan... Tak peduli apapun yang terjadi..." balas Kakek Djin.

Dadanya naik turun dengan berat, napasnya tersengal seperti orang yang baru saja dikejar maut. Tangan tuanya bergetar hebat di atas pegangan kursi roda, lalu beralih menekan dadanya sendiri. Wajah keriputnya pucat pasi, keringat dingin menetes di pelipisnya.

“Ayah!” Lucienne menjerit kecil, setengah berlari mendekat, namun tak berani menyentuhnya.

Seorang pelayan buru-buru datang, membawa segelas air dan obat, sementara Antony segera menghampiri ayahnya. Wajah Antony mengeras, matanya menatap tajam Leon seakan menyalahkannya atas kondisi sang kepala keluarga.

“Jangan banyak bicara dulu, Ayah. Tarik napas dalam,” ucap Antony seraya menopang tubuh renta itu.

Namun Djin hanya menggeleng lemah, matanya tak pernah lepas dari sosok Leon. Seolah hanya dengan memandang pria itu, seluruh kekuatannya menguap.

Sementara March berdiri kaku beberapa detik setelah mendengar ayahnya memanggil nama Leon, ia kembali menggali ingatannya yang terdalam dengan orang yang bernama Leon, hingga akhirnya tawa sumbang lolos dari mulutnya.

“Hah… hahahaha…  Aku kira siapa… ternyata bajingan kecil yang dulu pernah merangkak di bawah kaki keluarga ini. Leon, anak haram dari Celine D’Arvenne.”

Bisik-bisik tamu langsung pecah lagi, kali ini lebih keras. Nama Celine disebut—sosok yang sudah lama mati, nama yang membawa aib bagi keluarga bangsawan itu.

Lucienne menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Antony menatap Leon lekat-lekat, berusaha mencari kebenaran dalam wajahnya.

Leon menatap March dengan tajam, seolah tak sudi nama indah ibunya keluar dari mulut busuk itu.

March mendengus, melangkah maju, wajahnya memerah menahan amarah. “Kau pikir dirimu siapa sampai berani menatapku seperti itu, bajingan kecil? Kau bisa menyaingi kami? Jangan bermimpi. Darahmu kotor, ibumu seorang pelacur, dan kau… tidak lebih dari noda dalam nama besar D’Arvenne!”

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

lanjut

2025-09-09

0

King Reza

King Reza

upp

2025-09-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!