Di depan gerbang utama villa, terlihat beberapa penjaga bersetelan hitam berdiri tegak. Tatapan mereka tajam, penuh kewaspadaan. Salah satunya maju begitu melihat sosok Leon yang melangkah mendekat.
Ini sedikit mencurigakan bagi mereka karena biasanya tamu undangan akan datang memasuki halaman villa dengan mobil mewah mereka.
Leon semakin mendekat, salah satu penjaga yang lebih muda maju sambil berkata. "Mohon perlihatkan undangan Anda, Tuan."
Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus, sorot matanya dingin namun penuh wibawa.
Penjaga muda itu memberanikan diri menghadang Leon dengan kedua tangan terentang. “Tuan, jangan salahkan kami. Kalau Anda terus memaksa, kami akan panggil semua penjaga—”
Langkah Leon berhenti tepat di depan penjaga muda itu. Sorot matanya menajam, seolah menembus jiwa si penjaga.
Penjaga muda itu mendadak kehilangan kata-kata. Nafasnya tercekat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tubuh kekarnya tampak rapuh di hadapan tatapan yang begitu dingin.
Leon menunduk sedikit, menyesuaikan tubuhnya yang lebih tinggi, suaranya rendah namun tegas. “Aku tidak butuh undangan untuk menghadiri ulang tahun kakekku sendiri.”
Kata-kata itu jatuh bagaikan petir di telinga mereka. Penjaga muda tampak kebingungan, ia tahu seluruh anggota keluarga D'Arcenne tapi tidak mengenali Leon sama sekali.
Namun penjaga tua yang sejak tadi memperhatikan sontak terbelalak. Matanya gemetar ketika menatap wajah Leon, dari kerah bajunya yang sedikit terbuka, ia dapat melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding.
“Tidak mungkin... Le-Leon D'Arvenne…” bisiknya pelan.
Sorot mata Leon sontak mengarah pada penjaga tua tersebut. "Jangan sebut nama keluarga itu di namaku," ucapnya dingin.
"Ma-maafkan saya!" balas si penjaga tua sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam, penuh ketakutan.
Wajah penjaga muda itu seketika memucat. Ia menoleh cepat ke arah seniornya, lalu kembali menatap Leon dengan bingung, hampir tak percaya.
Leon melangkah pergi seolah tak terjadi apapun.
Penjaga muda itu refleks menghampiri seniornya dan bertanya: "Saya tidak tahu ada anggota keluarga lain, siapa sebenarnya dia?"
Penjaga tua itu bangkit dengan susah payah, wajahnya masih pucat pasi. "Kau anak baru disini, jelas tidak tahu. Anak itu-tidak, pria itu seharusnya sudah mati lima belas tahun yang lalu. Tapi tidak kusangka ternyata dia masih hidup dan kembali..."
"Anda mungkin salah mengenalinya? Tidak mungkin orang yang mati lima belas tahun lalu kembali hidup-hidup!"
Penjaga tua itu menatap punggung Leon yang pergi menjauh, dengan suara getir ia berkata. "Itu benar-benar dia, tidak salah lagi. Meskipun telah banyak berubah, tapi ada satu hal yang membuatku yakin jika itu adalah dia."
"Apa itu?" tanya si penjaga muda.
Penjaga tua itu diam sejenak sebelum menjawab. "Bekas luka jeratan tali di lehernya..."
...
Sementara itu, di dalam aula utama villa.
Pesta ulang tahun kepala keluarga D'Arvenne digelar dengan begitu megah. Lampu kristal berkilau di atas langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat ke arah para tamu yang berdandan mewah.
Musik orkestra mengalun lembut, mengiringi gelak tawa dan percakapan hangat disana. Para pelayan berjas putih hilir-muncul membawa nampan penuh gelas anggur dan hidangan mewah.
Di tengah keramaian itu, duduklah seorang pria tua di kursi roda: Djin D’Arvenne, kepala keluarga saat ini. Rambutnya penuh uban, wajahnya keriput, namun sorot matanya tampak ramah.
Setiap cucu yang mendekat disambut dengan senyum hangat dan tepukan lembut di kepala mereka.
“Kakek, ini untukmu!” seru Marry, cucunya yang berusaha tujuh tahun sambil menyerahkan kotak hadiah kecil berbungkus pita emas.
“Hahaha… manis sekali. Terima kasih, Sayang.” Kakek Djin menerima hadiah itu dengan tangan bergetar, lalu mengusap kepala cucunya dengan penuh kasih.
Di sekitarnya, anak-anak Kakek Djin berkumpul, masing-masing menunjukkan sikap khas milik mereka.
Antony D’Arvenne, anak sulung, pria berwibawa dengan jas hitam elegan. Tubuhnya tegap, wajahnya keras, dan senyum yang dibuat-buat. Semua orang tahu dialah pewaris yang digadang-gadang akan meneruskan nama besar keluarganya.
March D’Arvenne, anak kedua, pria gondrong dengan cincin emas di hampir semua jarinya tampak sibuk bercakap dengan seorang teman sambil sesekali tertawa karir.
Anak laki-laki ketiga yang tidak hadir, June D'Arvenne. Diberi nama June karena lahir di bulan juni—tiga bulan setelah kelahiran March di bulan maret dari ibu yang berbeda.
Anak keempat seorang wanita, Lucienne D’Arvenne, tampak masih muda dan menawan dengan lipstik dan gaun merahnya.
Satu lagi yang tidak hadir dan mulai terlupakan sejak kematiannya. Celine D'Arvenne.
"Apa yang dilakukan si brengsek June sampai-sampai tidak bisa menghadiri ulang tahun ayahnya?" bisik Lucienne dikala senyumannya menyambut tamu.
"Jaga bicaramu, Lucy. Jangan membuat ayah malu," balas Antony sembari menyeruput wine miliknya.
"Tapi ini sudah keterlaluan. Tidak bisakah dia meluangkan sedikit waktunya yang tidak berharga untuk hadir bersama kita disini?"
"Bicara seperti itu, tapi putrimu sendiri belum juga datang."
"Jangan khawatir, dia akan segera datang," balas Lucienne dengan nada sinis.
Pat!
Sebuah tangan tiba-tiba merangkul bahu mereka berdua dari belakang, itu adalah March yang datang usai berbincang dengan teman-temannya. "Kenapa kalian bisik-bisik seperti itu? Apa kalian membicarakanku?"
"Jangan bersikap seolah-olah kita berdua akrab, bajingan..." balas Antony sambil memelototi March.
Senyum khas malah merekah di wajah pria modis itu meskipun mendapat ancaman langsung dari calon kepala keluarga. "Kita bersaudara meskipun beda ibu, bagaimana mungkin kita tidak akrab? Ah, Antony, ngomong-ngomong bagaimana kabar istrimu? Kau tahu jika aku merindukannya, bukan? Lain kali ajak dia main ke tempatku."
Wajah Antony memerah penuh amarah mendengar ucapan dari adiknya itu, bagaimana tidak, baru seminggu yang lalu dia mengetahui fakta jika istrinya sering pergi ke tempat March untuk bercinta. Hal itu membuat Antony sangat murka, namun ia tidak bisa melakukan apapun untuk membalasnya.
"March, dasar bajingan bejat. Apakah bercinta dengan kakak iparmu membuatmu begitu tertantang?" balas Lucienne tak tahan dengan sikap semena-mena kakak keduanya itu.
"Ah, Lucy. Jangan bilang kau juga ingin bergabung dengan kami?" sahut March dengan nada menggoda.
"Menjijikan..." kata Lucienne, menepis lengan March dan pergi begitu saja.
"Lihatlah, dia tersipu malu hahaha," March tertawa pelan. Ia kemudian melirik ke arah kerumunan tamu yang sedang bercengkerama riang di sisi ruangan.
Di tengah lingkaran itu, berdiri seorang pemuda tampan dengan setelan jas abu-abu tua. Senyum ramahnya membuat para nona muda terpikat, sementara para pria tampak kagum dengan tutur katanya yang berwibawa.
March mengangkat gelas winenya, menunjuk dengan dagu. “Lihat, Antony. Itu kebanggaanmu, bukan?” ujarnya sinis namun dengan nada seolah memuji. “Alric, putra sulungmu. Lulus dari akademi kedokteran dengan nilai tertinggi, bukan begitu? Hahaha… mungkin ayah akan menghadiahinya sebuah rumah sakit pribadi agar bisa bermain-main dengan jarum suntik.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Kustri
tak kirim💐💐💐
2025-09-09
0
King Reza
keren thorr
2025-09-06
0