Pagi itu, suasana kantor Arsena Group tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa karyawan berkumpul di pantry sambil berbisik-bisik. Nadira yang baru saja mengambil kopi tanpa sengaja mendengar percakapan mereka.
“Kamu lihat nggak? Kemarin sore, Pak Ardan keluar sama seorang wanita cantik banget.”
“Oh itu, Claudia.”
“Cocok banget, sih. CEO muda, tampan, dingin … dan wanita glamor yang selalu jadi pusat perhatian.”
“Kalau mereka menikah, pasti jadi pasangan sempurna.”
Nadira menghentikan langkahnya, tangan yang memegang cangkir hampir gemetar. Nama itu lagi… Claudia. Sosialita yang kemarin sempat ia dengar dari bisik-bisik karyawan lain.
Jadi benar, Ardan memang dekat dengan wanita itu.
Nadira menunduk, pura-pura sibuk mengaduk kopi agar tak terlihat peduli tapi perasaannya campur aduk. Entah kenapa dadanya terasa sesak, seolah ada duri yang menusuuk perlahan.
Siangnya, Nadira dipanggil masuk ke ruangan rapat internal. Kali ini bukan dewan direksi, melainkan tim manajer yang harus melaporkan progres. Ardan duduk di kursi utama, wajahnya tetap dingin seperti biasa.
Di tengah presentasi, pintu tiba-tiba terbuka. Seorang wanita cantik dengan gaun elegan masuk begitu saja tanpa mengetuk, semua orang terkejut.
“Ardan, aku menunggumu untuk makan siang. Kamu lupa janjimu, ya?” Suaranya manja, penuh percaya diri.
Itu Claudia.
Ruangan seketika hening.
Semua pegawai saling pandang, sebagian berbisik lirih. Nadira yang duduk di ujung meja menunduk dalam-dalam, berharap wajahnya tak terlihat jelas.
Ardan menatap Claudia sebentar, ekspresinya tak berubah. “Aku sedang rapat.”
“Tapi sebentar saja, kan?” Claudia tersenyum genit, berjalan mendekat. “Aku sudah memesan meja dia restoran favoritmu.”
Ardan menarik napas panjang, lalu berkata dingin. “Tolong jangan ganggu jam kerjaku, kita bisa bicara nanti.”
Nada suaranya tenang tapi tegas, cukup membuat Claudia terdiam sesaat. Namun wanita itu masih sempat melirik Nadira sebelum keluar, tatapannya penuh penilaian.
Nadira bisa merasakan sorot mata Claudia menusuk, seolah baru saja menandainya sebagai ancaman.
Setelah rapat selesai, Nadira keluar dengan perasaan tak karuan. Ia sengaja memilih jalan memutar agar tidak berpapasan dengan siapapun. Namun, takdir berkata lain. Claudia berdiri di dekat lift, menunggunya.
“Kamu sekretaris baru, ya?” Claudia tersenyum tipis, tapi matanya tajam.
“Ah … iya, Bu.” Nadira mencoba sopan.
“Jangan terlalu dekat dengan Ardan! Dia sibuk dan hanya butuh sekertaris profesional, bukan… sesuatu yang lain.”
Nadira terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Claudia tersenyum miring, lalu melangkah masuk ke dalam lift.
Begitu pintu tertutup, Nadira menghela napas panjang. “Ya Tuhan… baru juga beberapa hari kerja, sudah ada yang menegur begini.”
Sore itu, Nadira masuk ke ruangan Ardan untuk menyerahkan laporan. Ia berniat cepat-cepat pergi, tapi suara Ardan menahannya.
“Tadi, Claudia bicara sesuatu padamu?” tanyanya tanpa menoleh dari laptop.
Nadira terkejut. “A-ah … tidak, Tuan. Hanya … memperkenalkan diri.”
Ardan menutup laptopnya, menatap Nadira dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kalau dia mengganggumu, katakan padaku.”
Nadira terdiam, hatinya sedikit bergetar mendengar kalimat itu. Meski dingin, nada Ardan barusan terdengar… melindunginya?
“Saya baik-baik saja, Tuan." Jawabnya akhirnya, mencoba terdengar tenang.
Ardan menatap Nadira sebentar, lalu kembali membuka laptopnya. “Baiklah! Besok kau ikut aku ke luar kota, ada pertemuan bisnis yang harus kau catat.”
Nadira menelan ludah. “Ke … luar kota, Tuan?”
“Siapkan dokumen, dan jangan sampai ceroboh.” Ardan tak menjawab dia malah menekankan.
Nadira mengangguk cepat, meski dalam hati ia panik. Astaga … business trip berdua? Bagaimana aku bisa bertahan?
Malamnya ketika sudah di rumah, Nadira termenung lama di tempat tidur. Bayangan Claudia serta tatapan dingin Ardan, dan acara business trip besok berputar-putar di kepalanya.
“Aduh, kenapa hidupku jadi seperti drama Korea begini sih…” gumamnya, menutup wajah dengan bantal.
Dalam hatinya, ia kini menyakini satu hal. Bekerja sebagai sekretaris dari mantan suami, bukan hanya soal kerja keras. Tapi juga tentang bertahan dari rasa yang seharusnya sudah lama padam… namun kini mulai menyala kembali.
Pagi itu, Nadira sudah siap dengan koper kecil di tangan. Ia berdiri di lobby kantor, menunggu mobil perusahaan yang akan mengantar mereka ke bandara.
Dari kejauhan, sosok Ardan muncul dengan jas rapi dan langkah mantap. Semua mata karyawan otomatis mengikuti pria itu, termasuk beberapa wanita yang langsung berbisik-bisik penuh kagum.
Nadira menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Dalam hati, ia merutuk.
Kenapa sih, harus kelihatan kayak model iklan setiap saat? Mana dingin banget pula! Karyawan lain aja sampai meleleh lihatnya... Aku? Ya meleleh juga, tapi dengan perasaan mangkel.
“Naik,” suara Ardan datar, menyentaknya.
“Oh … iya, Tuan.” Nadira buru-buru mengikuti, hampir tersandung ujung karpet di lobby. Untung koper kecilnya jadi penolong, meski wajahnya merah padam.
Perjalanan di pesawat, cukup hening. Nadira duduk di samping Ardan, mencoba fokus membaca berkas pertemuan tapi sulit. Ardan asyik mengetik di laptop, sementara Nadira merasa seperti duduk di samping es batu raksasa.
Ketika pramugari menawarkan minuman, Nadira refleks bilang. “Saya ingin kopi panas, Mbak.”
Ardan menoleh sekilas. “Kamu nggak akan bisa tidur kalau minum kopi.”
Nadira kaget. “Loh … kok Tuan tahu?”
Ardan kembali menatap laptopnya. “Dulu kamu sering begadang semalaman, gara-gara satu cangkir kopi.”
Deg.
Nadira terdiam, menatap gelas kopi yang kini ada di tangannya. Ardan, masih ingat?
Sesampainya di kota tujuan, mereka langsung menuju hotel yang sudah dipesan perusahaan. Nadira menyerahkan KTP untuk check-in, tapi tiba-tiba resepsionis tersenyum canggung.
“Mohon maaf, Bu … sepertinya ada kesalahan sistem. Untuk pemesanan ini, hanya tersedia satu kamar suite dengan satu ranjang king size. Sementara, kamar lainnya penuh.”
“Hah?!” Nadira hampir menjatuhkan dompetnya. “Satu kamar?!”
Ardan mengangkat alis, tetap tenang. “Pesan itu atas nama saya. Sudah cukup, kita ambil saja.”
“Tapi, Tuan… satu ranjang besar. Bagaimana bisa, kita__” Nadira gelagapan.
“Kamu bisa tidur di sofa, masalah selesai.” Ardan melangkah duluan, menyerahkan kartu kamar pada bellboy.
Nadira menatap langit-langit hotel, ingin menangis.
“Kenapa hidupku jadi drama romantis budget rendah begini?“ gumamnya.
Di dalam kamar, suasana makin canggung. Kamar suite itu mewah tapi hanya ada satu ranjang besar yang terhampar indah di tengah ruangan. Nadira menatap sofa panjang di sudut, sudah membayangkan betapa sakit pinggangnya nanti.
“Rapikan berkas untuk besok pagi!” Perintah Ardan.
Lalu... pria gagah itu melepas jas dan menggulung lengan kemejanya sampai siku dengan gaya menawan.
Nadira menahan diri untuk tidak berteriak.
Bisa nggak sih, dia nggak keliatan keren... kayak model iklan?!
Nadira lalu sibuk menata map dan laptop, tapi kecerobohannya muncul lagi. Minuman di meja tumpah sedikit ke kertas dokumen. Nadira panik, mengelap terburu-buru.
“Dira,” suara Ardan dalam, membuatnya terhenti.
“Ya?”
“Tenang.” Tatapan Ardan menusuk, tapi nadanya tidak setajam biasanya. “Kalau panik, malah makin kacau.”
Nadira menelan ludah, lalu mengangguk pelan. “Ba-baik, Tuan.”
Malam itu setelah semua selesai, Nadira membaringkan diri di sofa setelah berganti pakaian dengan piyama sederhana. Ia menutup mata, mencoba tidur dengan posisi sempit.
Tapi baru lima menit, suara Ardan terdengar. “Kamu bakal pegal, kalau tidur di situ.”
Nadira membuka mata. “Nggak apa-apa, Tuan. Saya biasa tidur di sofa.”
“Bohong.”
Nadira tercekat.
Ardan berdiri di sisi ranjang. “Tidurlah di tempat tidur, aku bisa di sofa.”
“Jangan, Tuan! Itu ranjang mahal, nanti saya merasa nggak enak hati__”
“Dira, aku bisa tidur di mana saja! Kamu yang butuh istirahat lebih, supaya besok tidak ceroboh. Aku ingin bisnis besok berjalan lancar dan sempurna, tanpa kekacauan darimu!“ Mata Ardan menatap tajam wanita itu.
Glek!
Nadira terdiam, jantungnya berdegup kencang. Ia akhirnya mengangguk, lalu pelan-pelan berbaring di ranjang besar itu.
Di sisi lain, Ardan benar-benar tidur di sofa. Tapi malam itu, keduanya sama-sama sulit memejamkan mata. Bukan karena tidak nyaman, melainkan karena kehadiran satu sama lain begitu nyata, begitu dekat dan begitu... berbahaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Aditya hp/ bunda Lia
ada kesalahpahaman apa sih di antara mereka nunggu flashback...
2025-09-05
2
Desyi Alawiyah
Itu resiko Nadira, punya CEO tampan dan yang sudah mempunyai pacar...
Claudia itu cemburu, dia takut Ardan jatuh cinta sama kamu...
Tapi, kayaknya Claudia ngga tahu deh kalo Nadira itu mantan istrinya Ardan.. 🤔🤔😏
2025-09-05
2
👣Sandaria🦋
wow keren banget ini pria. nyaris sempurna😍 kurangnya hanya dikit. dia pernah pakai celanadalam perempuan aja sih🤣
2025-09-05
1