Pagi itu, Nadira datang lebih awal dari biasanya. Dia masih merasa canggung setelah pertemuan kemarin, tapi bertekad untuk bekerja seprofesional mungkin.
Hari ini harus lancar, Nadira. Jangan bikin kesalahan lagi! Batinnya.
Dia menata rambut, memeriksa kuku lalu duduk di meja kerjanya dengan rapi. Belum sempat menarik napas lega, suara berat yang sangat dikenalnya sudah terdengar dari interkom.
“Nadira, masuk.”
Nadira buru-buru berdiri, hampir menjatuhkan pulpen di meja. "Ya Tuhan, kenapa panggilannya selalu tiba-tiba begini sih?"
Begitu masuk, dia mendapati Ardan berdiri dengan jas rapi dengan wajah tanpa ekspresi sedang memegang berkas tebal.
“Kita ada rapat penting dengan dewan direksi, kau ikut untuk mencatat hasil meeting,” ucapnya singkat.
Nadira mengangguk cepat. “Siap, Tuan.”
Rapat berlangsung di ruang konferensi besar dengan meja panjang yang dipenuhi para direksi dan manajer. Semua orang duduk tegang, menunggu CEO mereka berbicara. Nadira berdiri di samping Ardan, memegang buku catatan.
Ardan mulai memaparkan strategi bisnis dengan suara tenang dan penuh wibawa. Semua orang mendengarkan dengan serius.
Sementara itu, Nadira sibuk mencatat cepat-cepat. Tapi karena gugup, tangannya gemetar. Ketika salah satu direktur menyerahkan berkas, Nadira bermaksud membantu Ardan menaruhnya di meja.
Sayangnya, map itu terlalu berat dan…
Brakkkk!
Berkas tebal terjatuh tepat ke arah meja, pena-pena berserakan, dan… gelas air mineral tumpah ke arah jas mahal Ardan.
Suasana hening seketika, semua mata tertuju pada Nadira.
Nadira membeku, wajahnya merah padam. “A-astaga! Saya… saya minta maaf, Tuan!”
Ardan menoleh perlahan, menatap jasnya yang basah. Sorot matanya dingin, rahangnya mengeras. Namun, alih-alih marah meledak-ledak seperti yang dibayangkan semua orang, dia hanya menghela napas pelan.
“Seperti biasa… ceroboh.” Suaranya rendah, datar, tapi cukup membuat Nadira ingin mengubur dirinya di bawah meja.
Nadira buru-buru mengambil tisu dari meja dan tanpa sadar mendekat ke Ardan untuk mengelap jasnya.
Tangannya bergerak panik. “Tuan, saya betul-betul__”
“Berhenti!” Potong Ardan dingin, sambil menahan tangan Nadira. “Kau membuat semua orang kehilangan fokus!"
Nadira terpaku.
Sementara Ardan dengan tenang melepas jasnya, menyerahkannya pada asisten pribadi. Ia tetap duduk tegak, seolah kejadian memalukan barusan bukan apa-apa.
“Lanjutkan rapat!" Ujarnya singkat, suaranya tetap tegas.
Usai rapat, Nadira menunduk sepanjang jalan keluar ruangan. Begitu pintu tertutup, dia langsung menepuk keningnya sendiri.
“Ya ampun, Nadira! Baru juga hari kedua sudah bikin CEO basah kuyup!”
Ardan berjalan di depan dengan langkah panjang, sama sekali tidak menoleh. Nadira mengejar laki-laki itu dengan wajah memerah.
“Tuan … saya sungguh minta maaf, tadi saya tidak sengaja__”
Ardan berhenti, menoleh perlahan ke arah Nadira. Tatapannya tajam, tapi suaranya tetap datar. “Jika kau memang ingin meminta maaf, lakukan dengan bekerja lebih baik! Aku tidak butuh penyesalanmu, aku butuh ketelitianmu!”
Nadira terdiam, lalu mengangguk cepat. “Baik, Tuan.”
Ardan melanjutkan langkahnya tanpa ekspresi.
Siang harinya, Nadira kembali ke meja kerjanya dengan semangat baru. Dia membuka laptop, mencoba fokus mengetik. Namun tak lama kemudian, pesan masuk dari email internal membuatnya tertegun.
Dari: CEO Ardan Wirajaya.
Subjek: Catatan Meeting.
📂📧 [ Nadira, laporanmu cukup jelas. Namun, ejaan ekspansi... kau tulis jadi ekspresi. Apakah perusahaan ini sedang mau memperluas bisnis, atau sekadar ingin curhat perasaan?]
Di mejanya Nadira menutup mulutnya, menahan tawa. “Astaga, apa dia lagi ngeledek?"
Pipinya panas, dia buru-buru membalas.
📂📧 [Maaf, Tuan. Itu salah ketik. Perusahaan jelas mau ekspansi, bukan ekspresi. Hehe...]
Tak lama, balasan singkat masuk lagi.
📂📧 [Pastikan salah ketik tidak terjadi lagi! Aku tidak ingin direksi mengira, kita sedang buka jasa konseling perasaan!]
Nadira menunduk, tertawa kecil. Meski dingin, ternyata Ardan masih punya sisi sarkasme seperti dulu.
Sore itu sebelum pulang, Nadira masuk ke ruangan Ardan untuk memberikan dokumen. Ardan sedang sibuk mengetik, dengan wajah sangat fokus.
“Tuan, ini laporan revisi yang Anda minta.”
Ardan menerima tanpa menoleh. “Taruh di meja.”
Nadira menaruh map dengan hati-hati. Tapi entah kenapa, saat berbalik tangannya tak sengaja menyenggol pena di meja. Pena itu jatuh… tepat ke arah saku jas Ardan.
Ardan mengangkat alis. “Kau memang punya bakat membuat kekacauan, Nadira.”
Nadira meringis, menangkupkan tangan di depan dada. “Saya… janji, besok saya akan lebih hati-hati.”
Ardan akhirnya menoleh, menatap mantan istrinya itu lama. Ada sekilas kilatan aneh di matanya, campuran antara jengkel dan… geli.
“Besok?” gumamnya. “Aku jadi penasaran, berapa lama kau bisa bertahan di sini tanpa membuat keributan.”
Nadira tersenyum canggung. “T-tentu saja selamanya, Tuan. Karena… saya butuh pekerjaan ini.”
Ardan terdiam sejenak, lalu kembali menatap layar laptopnya. “Kita lihat saja!”
Ketika Nadira melangkah keluar gedung, ia menatap ke langit dengan perasaan campur aduk.
Hari ini penuh rasa malu, penuh dinginnya tatapan Ardan… tapi entah kenapa, ada juga hangat kecil yang sulit ia jelaskan.
“Mungkin bekerja di bawah CEO dingin sekaligus mantan suami... tidak akan seburuk yang aku bayangkan." Ia menghela nafas.
Nadia melangkah menuju parkiran. Sebuah motor tua, lusuh dan jauh dari kata layak sudah menunggunya untuk mengantarnya pulang. Dari kejauhan, Ardan memperhatikan setiap geraknya dengan sorot mata dingin.
“Jadi, semiskin itu dia sekarang? Sampai harus naik motor butut setelah ayahnya jatuh bangkrut?” Ardan bergumam.
Asisten pribadinya mengangguk patuh. “Benar, Tuan. Dari hasil penyelidikan, Nadira kini tinggal di kontrakan kecil bersama ibunya dan dua adiknya yang masih sekolah. Sementara ayahnya masih dalam perawatan, menunggu operasi. Biayanya besar, dan sepertinya Nadira belum sanggup mengumpulkan uangnya.”
Bibir Ardan melengkung tipis, nyaris sinis. “Dulu, dia meninggalkanku saat aku membutuhkannya. Sekarang… mungkin ini karmanya.”
Nada tajam itu membuat asisten pribadinya merinding. Entah luka seperti apa yang pernah Nadira goreskan, hingga Ardan tak menyisakan sedikit pun empati pada penderitaan perempuan itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Tiara Bella
alasan apa ya membuat Nadira ninggalin Ardan kulkas 12 pintu
2025-09-05
4
👣Sandaria🦋
idih. ikutan senyum-senyum pulak aku bacanya, Kk😅
2025-09-05
0
Desyi Alawiyah
Waduh... ini definisi cinta lama belum kelar yah, pak Ardan dan bu Nadira...🤭
2025-09-04
1