Cinta Di Kehidupan Berikutnya
Daisy merasakan pusing yang luar biasa. Pandangannya kabur ketika menatap sekeliling—hanya ada pepohonan di mana-mana. Samar-samar terdengar suara orang, membuatnya cepat sadar. Begitu matanya fokus, ia melihat Andreas bersama selingkuhannya, Mia.
“Andreas!” pekik Daisy.
Lelaki itu hanya tersenyum sinis, lalu menunjuk ke arah depan. Daisy refleks menoleh, dan darahnya terasa membeku. Di depannya, terbentang jurang yang dalam.
Ya Tuhan… apa mereka benar-benar mau membunuhku? batinnya panik, apalagi saat tercium aroma bensin menyengat.
“Selamat tinggal, Daisy sayang,” ejek Andreas, sambil memperlihatkan dokumen dan perhiasan miliknya. Ia lalu melemparkan korek gas yang sejak tadi ia genggam.
“Andreas, kurang ajar! Tolong! Tolong buka pintunya!” Daisy berteriak histeris. Mobil yang ia duduki melaju perlahan menuju jurang, membuatnya semakin panik.
Tak ada yang bisa ia lakukan, selain pasrah pada takdir. Api dengan cepat merambat, panasnya menusuk kulit, dan jurang menanti di depan.
Daisy memejamkan mata, hanya satu wajah yang ia ingat untuk terakhir kalinya.
“Vio… anakku.” Suaranya lirih, hampir tenggelam dalam dentuman api. “Selamat tinggal, Nak…”
Ledakan pun terjadi. Semuanya begitu cepat.
****
Tuhan, jika ada kehidupan setelah kematian dan aku diberi kesempatan kedua untuk hidup… maka aku akan menyayangi dia yang pernah ku benci, dan memperbaiki semua kesalahanku.
Titttt…
Suara mesin medis terdengar samar. Disusul tangisan bayi yang melengking, menembus kesadarannya yang remang.
“Syukurlah, detak jantungnya kembali dan pendarahannya bisa kita hentikan,” ujar salah satu dokter.
Apa ini? Aku kenapa? Andreas… apakah dia berhasil membunuhku? Tapi… ledakan itu terasa nyata… Daisy berusaha membuka mata, namun berat. Kesadarannya kembali tenggelam dalam gelap.
Di luar ruangan, dua keluarga menunggu dengan tegang. Begitu dokter memberi kabar baik, mereka semua menghela napas lega. Daisy selamat, dan bayi kecil yang lahir lebih dulu kini menjadi pusat perhatian.
“Lihatlah, Dad… dia cucu kita,” bisik Jasmin kepada suaminya, Niklas.
“Iya, Mom. Cantik sekali,” jawab Niklas lembut.
Tak jauh dari mereka, Diana—ibu Damian—menatap putranya. “Dami, sekarang keputusanmu gimana?” bisiknya hati-hati.
“Apaan, Bu? Daisy baru saja melahirkan,” balas Damian, juga berbisik agar tidak terdengar mertuanya.
“Menceraikan Daisy,” tegas Diana. “Dia sudah selingkuh bahkan tega melakukannya saat mengandung. Ibu ragu… apakah bayi itu benar-benar anakmu atau bukan.”
Damian langsung mendelik. “Bu, aku yakin dia anakku. Daisy tidak selingkuh!” jawabnya mantap.
Perdebatan itu terdengar oleh Jasmin. Wanita itu mendekat, lalu tiba-tiba berlutut di hadapan Damian dan Diana. Semua terkejut.
“Mom!” pekik Niklas. “Jangan begini. Jika Damian ingin melepaskan Daisy, kita bisa apa?”
“Tidak, Mas,” Jasmin menggeleng. “Aku hanya ingin Damian mempertahankan Daisy. Aku yakin anakku tidak seperti yang dituduhkan Ivana.”
“Damian, saya mohon… beri anak saya kesempatan. Jika dia berulah, maka saya—sebagai ibunya—yang akan menghukumnya.”
Damian terdiam, menatap bayi mungil itu. Jika ia menceraikan Daisy, anak ini akan kehilangan kasih sayang ayah, tumbuh murung, dan mungkin membenci dunia.
“Ingat pesan almarhum ayahmu,” ucap Jasmin lagi. “Dialah yang memilih Daisy untukmu. Dia sahabat ayahnya Daisy sejak kecil.”
Damian menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Walau tak ada cinta dari Daisy, tekadnya bulat.
“Aku tidak akan menceraikannya, Mom. Aku akan berusaha meluluhkan hatinya,” ujarnya mantap.
“Terima kasih, Dami. Kamu memang yang terbaik untuk Daisy,” lirih Jasmin sambil memeluk menantunya.
Damian hanya tersenyum tipis, sementara Diana diam membeku.
****
Tiga hari telah berlalu sejak Daisy melewati masa kritis. Kondisinya perlahan membaik, meski tubuhnya masih lemah. Hari itu, ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit VIP yang harum obat dan sedikit beraroma antiseptik. Pandangannya jatuh pada Damian, suaminya, yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja kecil di sudut ruangan.
Selama tiga hari itu, lelaki itu tak pernah pergi. Setiap kali Daisy membuka mata, wajah pertama yang ia lihat adalah Damian—dengan lingkar hitam di bawah matanya, namun selalu tersenyum menenangkannya. Sesekali Jasmin dan Niklas datang menjenguk, membawa makanan dan doa. Berbeda dengan Diana, ibu mertua Daisy, yang tak pernah sekalipun muncul.
Daisy menatap lama sosok Damian yang tengah membuka kotak makan pemberian ibunya. Ada sesuatu yang menyesak di dada. Kenapa dulu aku begitu bodoh? Menyia-nyiakan lelaki sebaik ini…
Bibirnya membentuk senyum getir. Dan ternyata, kalau diperhatikan, dia lumayan tampan juga. Mirip model iklan itu… Daisy tertawa geli dalam hati, lalu buru-buru menghapus senyum kecil itu agar tidak ketahuan.
Namun, kenangan kehidupan sebelumnya menyeruak begitu saja. Di masa lalu, ia selalu membenci Damian dan juga anak mereka. Ia tak pernah mengerti dari mana datangnya rasa benci itu. Mungkin karena pernikahan mereka hasil perjodohan yang baginya terasa murahan dan mengekang.
“Sayang, Vio menangis. Kamu nggak mau menyusui dia?” tanya Damian pelan.
Suara itu seketika menyeret Daisy ke potongan masa lalunya. Ia ingat, dulu setiap kali Damian meminta hal sama, ia selalu menjawab ketus.
“Enggak, kamu kasih aja susu formula,” jawab Daisy dalam ingatan. Ia jarang sekali menyentuh anaknya sendiri. Lebih sering keluar rumah, mencari kesenangan semu bersama Andreas. Sementara Damian tetap sabar, menerima semua penolakannya.
Air mata hampir jatuh. Daisy mengepalkan tangan, menahan sesal. Kenapa aku begitu kejam pada mereka berdua?
Ingatan lain menyesakkan dadanya—saat ia akhirnya bercerai dari Damian dan pergi bersama Andreas. Lelaki itu, yang ia kira cinta sejati, justru mendua. Pada akhirnya ia membuang Daisy dengan cara paling hina: membunuhnya, menjatuhkannya ke jurang.
“Aku akan balas semua perbuatanmu, Dre…” bisiknya tanpa sadar, penuh amarah.
“Daisy, kamu kenapa?” suara Damian memotong lamunannya. Lelaki itu melihat istrinya menggenggam tangan terlalu erat, wajahnya tegang.
“Eh, anu… aku nggak apa-apa kok!” Daisy buru-buru tersenyum kikuk.
Damian menghela napas, lalu mendekat sambil membawa piring. “Ayo makan. Biar cepat pulih. Kamu juga harus banyak makan sayur daun katuk supaya ASI-mu lancar.”
Daisy mendengus. “Kenapa Mommy selalu kirim makanan itu? Sudah jelas aku nggak suka!” rengeknya, membuat Damian terkekeh kecil.
Namun akhirnya ia tak bisa menolak saat Damian menyuapinya. Rasa getir sayur di lidahnya kalah oleh hangatnya perhatian sang suami. Tiba-tiba, air mata mengalir begitu saja.
“Daisy? Kamu kenapa? Ada yang sakit?” Damian panik, meletakkan sendok.
“Kenapa kamu baik sekali sama aku, Dami? Padahal aku dulu memperlakukanmu buruk sekali…” suara Daisy serak, matanya bergetar.
Damian menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Karena aku mencintaimu, Daisy.”
Dunia seolah berhenti berputar. Daisy terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak pernah benar-benar percaya bahwa Damian mencintainya. Dan justru saat lelaki itu mengatakannya dengan sederhana, air matanya pecah semakin deras.
“Damian… maafkan aku,” isaknya. “Aku nggak bisa jadi istri yang baik untukmu.”
Damian hanya mengangguk, tak sanggup bicara. Ia meraih tangan Daisy, menggenggamnya dengan hangat.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk, mendorong box bayi kecil. “Ibu, ini putri Anda. Silakan disusui,” katanya lembut.
Daisy menoleh, dan hatinya serasa diremas. Untuk pertama kalinya sejak sadar, ia menatap langsung wajah mungil sang anak.
“Vio…” gumamnya, air matanya tak terbendung lagi. Ia menerima bayi itu dengan gemetar, lalu mengangguk pada perawat. “Baik, Sus.”
Dengan telaten, Damian membantu istrinya menyusui. Suster itu kemudian pamit keluar ruangan, meninggalkan mereka bertiga.
Daisy menunduk, memandangi putrinya yang menempel hangat di dadanya. Air matanya jatuh lagi, kali ini bukan hanya penyesalan, tapi juga rasa syukur yang menyesakkan dada. Damian mengusap lembut rambutnya, tersenyum melihat istrinya akhirnya memeluk anak mereka dengan penuh cinta.
Ia teringat, dulu saat pertama tahu Daisy hamil, reaksi istrinya justru marah dan ingin menggugurkan kandungan. Melihat perubahan ini, Damian hanya bisa berdoa dalam hati: Semoga kamu tidak berubah lagi, Daisy.
“Dia sudah kenyang,” kata Daisy akhirnya, menyerahkan bayi ke pelukan Damian. Namun saat lelaki itu hendak membantu mengancingkan bajunya, Daisy buru-buru menepis.
“Eh! Biar aku saja, Dami…” wajahnya memerah malu.
Damian tertawa kecil. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lanjut makan.”
Daisy cemberut, tapi kali ini tanpa protes. Ia menerima suapan demi suapan, membiarkan Damian merawatnya dengan sabar.
*****
Sementara itu, di sebuah apartemen, Ivana menatap foto Damian yang terpajang di ponselnya. Senyum sinis terukir di bibirnya.
“Sebentar lagi… aku yakin kalian akan berpisah,” gumamnya penuh percaya diri, lalu melempar ponsel ke kasur.
Ia merebahkan diri di atas ranjang king size, matanya penuh rencana. Besok ia akan datang menjenguk Daisy, pura-pura menunjukkan simpati. Padahal hatinya membara melihat perempuan itu selamat dari maut.
“Kenapa lo nggak mati aja sih? Malah selamat, dasar nyebelin!” rutuk Ivana.
Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar, bibirnya melengkung jahat. Ia yakin, waktunya sebentar lagi.
Bersambung ...
Selamat datang di Karya terbaru aku 😍 Jangan lupa mohon dukungannya yaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Asa Asa
jahat banget
2025-09-03
0