Daisy merasakan pusing yang luar biasa. Pandangannya kabur ketika menatap sekeliling—hanya ada pepohonan di mana-mana. Samar-samar terdengar suara orang, membuatnya cepat sadar. Begitu matanya fokus, ia melihat Andreas bersama selingkuhannya, Mia.
“Andreas!” pekik Daisy.
Lelaki itu hanya tersenyum sinis, lalu menunjuk ke arah depan. Daisy refleks menoleh, dan darahnya terasa membeku. Di depannya, terbentang jurang yang dalam.
Ya Tuhan… apa mereka benar-benar mau membunuhku? batinnya panik, apalagi saat tercium aroma bensin menyengat.
“Selamat tinggal, Daisy sayang,” ejek Andreas, sambil memperlihatkan dokumen dan perhiasan miliknya. Ia lalu melemparkan korek gas yang sejak tadi ia genggam.
“Andreas, kurang ajar! Tolong! Tolong buka pintunya!” Daisy berteriak histeris. Mobil yang ia duduki melaju perlahan menuju jurang, membuatnya semakin panik.
Tak ada yang bisa ia lakukan, selain pasrah pada takdir. Api dengan cepat merambat, panasnya menusuk kulit, dan jurang menanti di depan.
Daisy memejamkan mata, hanya satu wajah yang ia ingat untuk terakhir kalinya.
“Vio… anakku.” Suaranya lirih, hampir tenggelam dalam dentuman api. “Selamat tinggal, Nak…”
Ledakan pun terjadi. Semuanya begitu cepat.
****
Tuhan, jika ada kehidupan setelah kematian dan aku diberi kesempatan kedua untuk hidup… maka aku akan menyayangi dia yang pernah ku benci, dan memperbaiki semua kesalahanku.
Titttt…
Suara mesin medis terdengar samar. Disusul tangisan bayi yang melengking, menembus kesadarannya yang remang.
“Syukurlah, detak jantungnya kembali dan pendarahannya bisa kita hentikan,” ujar salah satu dokter.
Apa ini? Aku kenapa? Andreas… apakah dia berhasil membunuhku? Tapi… ledakan itu terasa nyata… Daisy berusaha membuka mata, namun berat. Kesadarannya kembali tenggelam dalam gelap.
Di luar ruangan, dua keluarga menunggu dengan tegang. Begitu dokter memberi kabar baik, mereka semua menghela napas lega. Daisy selamat, dan bayi kecil yang lahir lebih dulu kini menjadi pusat perhatian.
“Lihatlah, Dad… dia cucu kita,” bisik Jasmin kepada suaminya, Niklas.
“Iya, Mom. Cantik sekali,” jawab Niklas lembut.
Tak jauh dari mereka, Diana—ibu Damian—menatap putranya. “Dami, sekarang keputusanmu gimana?” bisiknya hati-hati.
“Apaan, Bu? Daisy baru saja melahirkan,” balas Damian, juga berbisik agar tidak terdengar mertuanya.
“Menceraikan Daisy,” tegas Diana. “Dia sudah selingkuh bahkan tega melakukannya saat mengandung. Ibu ragu… apakah bayi itu benar-benar anakmu atau bukan.”
Damian langsung mendelik. “Bu, aku yakin dia anakku. Daisy tidak selingkuh!” jawabnya mantap.
Perdebatan itu terdengar oleh Jasmin. Wanita itu mendekat, lalu tiba-tiba berlutut di hadapan Damian dan Diana. Semua terkejut.
“Mom!” pekik Niklas. “Jangan begini. Jika Damian ingin melepaskan Daisy, kita bisa apa?”
“Tidak, Mas,” Jasmin menggeleng. “Aku hanya ingin Damian mempertahankan Daisy. Aku yakin anakku tidak seperti yang dituduhkan Ivana.”
“Damian, saya mohon… beri anak saya kesempatan. Jika dia berulah, maka saya—sebagai ibunya—yang akan menghukumnya.”
Damian terdiam, menatap bayi mungil itu. Jika ia menceraikan Daisy, anak ini akan kehilangan kasih sayang ayah, tumbuh murung, dan mungkin membenci dunia.
“Ingat pesan almarhum ayahmu,” ucap Jasmin lagi. “Dialah yang memilih Daisy untukmu. Dia sahabat ayahnya Daisy sejak kecil.”
Damian menghela napas panjang, lalu memejamkan mata. Walau tak ada cinta dari Daisy, tekadnya bulat.
“Aku tidak akan menceraikannya, Mom. Aku akan berusaha meluluhkan hatinya,” ujarnya mantap.
“Terima kasih, Dami. Kamu memang yang terbaik untuk Daisy,” lirih Jasmin sambil memeluk menantunya.
Damian hanya tersenyum tipis, sementara Diana diam membeku.
****
Tiga hari telah berlalu sejak Daisy melewati masa kritis. Kondisinya perlahan membaik, meski tubuhnya masih lemah. Hari itu, ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit VIP yang harum obat dan sedikit beraroma antiseptik. Pandangannya jatuh pada Damian, suaminya, yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di meja kecil di sudut ruangan.
Selama tiga hari itu, lelaki itu tak pernah pergi. Setiap kali Daisy membuka mata, wajah pertama yang ia lihat adalah Damian—dengan lingkar hitam di bawah matanya, namun selalu tersenyum menenangkannya. Sesekali Jasmin dan Niklas datang menjenguk, membawa makanan dan doa. Berbeda dengan Diana, ibu mertua Daisy, yang tak pernah sekalipun muncul.
Daisy menatap lama sosok Damian yang tengah membuka kotak makan pemberian ibunya. Ada sesuatu yang menyesak di dada. Kenapa dulu aku begitu bodoh? Menyia-nyiakan lelaki sebaik ini…
Bibirnya membentuk senyum getir. Dan ternyata, kalau diperhatikan, dia lumayan tampan juga. Mirip model iklan itu… Daisy tertawa geli dalam hati, lalu buru-buru menghapus senyum kecil itu agar tidak ketahuan.
Namun, kenangan kehidupan sebelumnya menyeruak begitu saja. Di masa lalu, ia selalu membenci Damian dan juga anak mereka. Ia tak pernah mengerti dari mana datangnya rasa benci itu. Mungkin karena pernikahan mereka hasil perjodohan yang baginya terasa murahan dan mengekang.
“Sayang, Vio menangis. Kamu nggak mau menyusui dia?” tanya Damian pelan.
Suara itu seketika menyeret Daisy ke potongan masa lalunya. Ia ingat, dulu setiap kali Damian meminta hal sama, ia selalu menjawab ketus.
“Enggak, kamu kasih aja susu formula,” jawab Daisy dalam ingatan. Ia jarang sekali menyentuh anaknya sendiri. Lebih sering keluar rumah, mencari kesenangan semu bersama Andreas. Sementara Damian tetap sabar, menerima semua penolakannya.
Air mata hampir jatuh. Daisy mengepalkan tangan, menahan sesal. Kenapa aku begitu kejam pada mereka berdua?
Ingatan lain menyesakkan dadanya—saat ia akhirnya bercerai dari Damian dan pergi bersama Andreas. Lelaki itu, yang ia kira cinta sejati, justru mendua. Pada akhirnya ia membuang Daisy dengan cara paling hina: membunuhnya, menjatuhkannya ke jurang.
“Aku akan balas semua perbuatanmu, Dre…” bisiknya tanpa sadar, penuh amarah.
“Daisy, kamu kenapa?” suara Damian memotong lamunannya. Lelaki itu melihat istrinya menggenggam tangan terlalu erat, wajahnya tegang.
“Eh, anu… aku nggak apa-apa kok!” Daisy buru-buru tersenyum kikuk.
Damian menghela napas, lalu mendekat sambil membawa piring. “Ayo makan. Biar cepat pulih. Kamu juga harus banyak makan sayur daun katuk supaya ASI-mu lancar.”
Daisy mendengus. “Kenapa Mommy selalu kirim makanan itu? Sudah jelas aku nggak suka!” rengeknya, membuat Damian terkekeh kecil.
Namun akhirnya ia tak bisa menolak saat Damian menyuapinya. Rasa getir sayur di lidahnya kalah oleh hangatnya perhatian sang suami. Tiba-tiba, air mata mengalir begitu saja.
“Daisy? Kamu kenapa? Ada yang sakit?” Damian panik, meletakkan sendok.
“Kenapa kamu baik sekali sama aku, Dami? Padahal aku dulu memperlakukanmu buruk sekali…” suara Daisy serak, matanya bergetar.
Damian menatapnya lama, lalu tersenyum tipis. “Karena aku mencintaimu, Daisy.”
Dunia seolah berhenti berputar. Daisy terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tak pernah benar-benar percaya bahwa Damian mencintainya. Dan justru saat lelaki itu mengatakannya dengan sederhana, air matanya pecah semakin deras.
“Damian… maafkan aku,” isaknya. “Aku nggak bisa jadi istri yang baik untukmu.”
Damian hanya mengangguk, tak sanggup bicara. Ia meraih tangan Daisy, menggenggamnya dengan hangat.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk, mendorong box bayi kecil. “Ibu, ini putri Anda. Silakan disusui,” katanya lembut.
Daisy menoleh, dan hatinya serasa diremas. Untuk pertama kalinya sejak sadar, ia menatap langsung wajah mungil sang anak.
“Vio…” gumamnya, air matanya tak terbendung lagi. Ia menerima bayi itu dengan gemetar, lalu mengangguk pada perawat. “Baik, Sus.”
Dengan telaten, Damian membantu istrinya menyusui. Suster itu kemudian pamit keluar ruangan, meninggalkan mereka bertiga.
Daisy menunduk, memandangi putrinya yang menempel hangat di dadanya. Air matanya jatuh lagi, kali ini bukan hanya penyesalan, tapi juga rasa syukur yang menyesakkan dada. Damian mengusap lembut rambutnya, tersenyum melihat istrinya akhirnya memeluk anak mereka dengan penuh cinta.
Ia teringat, dulu saat pertama tahu Daisy hamil, reaksi istrinya justru marah dan ingin menggugurkan kandungan. Melihat perubahan ini, Damian hanya bisa berdoa dalam hati: Semoga kamu tidak berubah lagi, Daisy.
“Dia sudah kenyang,” kata Daisy akhirnya, menyerahkan bayi ke pelukan Damian. Namun saat lelaki itu hendak membantu mengancingkan bajunya, Daisy buru-buru menepis.
“Eh! Biar aku saja, Dami…” wajahnya memerah malu.
Damian tertawa kecil. “Baiklah. Kalau begitu, ayo kita lanjut makan.”
Daisy cemberut, tapi kali ini tanpa protes. Ia menerima suapan demi suapan, membiarkan Damian merawatnya dengan sabar.
*****
Sementara itu, di sebuah apartemen, Ivana menatap foto Damian yang terpajang di ponselnya. Senyum sinis terukir di bibirnya.
“Sebentar lagi… aku yakin kalian akan berpisah,” gumamnya penuh percaya diri, lalu melempar ponsel ke kasur.
Ia merebahkan diri di atas ranjang king size, matanya penuh rencana. Besok ia akan datang menjenguk Daisy, pura-pura menunjukkan simpati. Padahal hatinya membara melihat perempuan itu selamat dari maut.
“Kenapa lo nggak mati aja sih? Malah selamat, dasar nyebelin!” rutuk Ivana.
Tatapannya kosong menatap langit-langit kamar, bibirnya melengkung jahat. Ia yakin, waktunya sebentar lagi.
Bersambung ...
Selamat datang di Karya terbaru aku 😍 Jangan lupa mohon dukungannya yaa
Ivana menatap bangunan sederhana di depannya. Beruntung, setiap kali datang ia selalu diizinkan masuk. Awalnya ia berniat menjenguk Daisy, tapi kakinya justru berbelok arah menuju rumah Damian—sekadar untuk mencari perhatian.
Ivana tersenyum ketika melihat seorang wanita paruh baya sedang menyiram tanaman kesayangannya.
“Selamat sore, Tante,” sapa Ivana dengan lembut.
“Sore, Ivana. Kamu datang,” sahut Diana, ibu Damian.
“Iya, Tante. Mau ketemu Damian. Apa dia ada di rumah?” tanya Ivana, masih dengan nada sopan. Ia belum tahu kalau Damian belum pulang.
“Oh, Damian masih di rumah sakit. Belum pulang,” jawab Diana, lalu mengajaknya masuk.
Tak lama kemudian, Diana meminta asisten rumah tangga menyiapkan minuman dan cemilan untuk tamunya.
“Rumah sakit?” Ivana berpura-pura terkejut. “Memang siapa yang sakit, Tante?”
“Bukan sakit. Daisy melahirkan,” jawab Diana, suaranya terdengar malas.
“Apa? Serius? Bukannya masih satu bulan lagi, loh!”
Diana kemudian menceritakan apa yang terjadi—tentang Daisy yang jatuh dari tangga setelah berdebat dengan Damian. Ia juga sempat mendengar bahwa setelah melahirkan, Daisy berencana pergi meninggalkan Damian dan anak mereka.
Ivana menatap Diana dengan tatapan sendu, sementara mata wanita paruh baya itu mulai berkaca-kaca.
“Tante hanya ingin yang terbaik untuk Damian,” ucap Diana lirih. “Tapi dia malah memilih perempuan seperti Daisy. Manja, selalu menghina, dan menjelekkan Damian. Ibu mana yang tidak sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu?”
Ivana segera meraih tangan Diana, mengusapnya lembut seolah mencoba menenangkan hati wanita itu.
“Tante harus sabar. Ana yakin, Damian akan berpisah dengan Daisy. Aku akan bantu, Tan. Aku akan buat mereka berpisah,” ujar Ivana penuh keyakinan.
“Terima kasih, Ivana. Kamu begitu baik. Seandainya kamu lebih dulu ada di hidup Damian, mungkin Tante sudah menikahkan kamu dengan anak Tante,” cetus Diana dengan nada menyesal.
Ivana tersenyum tipis. Ia merasa mendapatkan dukungan langsung dari Diana, dan itu membuatnya semakin yakin kalau jalannya untuk merebut Damian dari Daisy akan lebih mudah.
“Tan,” ucap Ivana pelan, seolah berpikir keras. “Aku jadi ragu... apakah anak yang dikandung Daisy itu benar-benar anak Damian? Bukankah kelahirannya terlalu cepat? Belum sampai delapan bulan, kan?”
Diana terdiam sejenak. “Tante juga sempat berpikir begitu, Ana. Tante juga meragukan anak itu.”
Padahal usia kandungan Daisy sudah memasuki delapan bulan. Namun Diana dan Ivana tidak benar-benar tahu pasti. Satu-satunya yang tahu kebenarannya hanyalah Damian.
Melihat Diana terdiam, Ivana segera mengajaknya jalan-jalan, mencari cara lain untuk semakin menarik perhatian ibu dari pria yang ia idamkan.
*****
Di rumah sakit, Daisy masih asyik memandang wajah bayi kecilnya. Bayi mungil itu terlelap pulas setelah kenyang menyusu.
“Anak pintar… cantik sekali,” gumam Daisy, lalu mengecup lembut kening putrinya.
Sementara itu, Damian pergi ke kantin rumah sakit. Daisy tiba-tiba ingin makan sesuatu yang berkuah, jadi ia menuruti keinginan istrinya.
“Sayang, maafkan Bunda. Dulu Bunda sempat mengabaikanmu…” lirih Daisy, matanya berkaca-kaca. Setiap kali mengingat masa lalu, hatinya terasa sesak.
Sebelum mobilnya terbakar hebat setelah jatuh ke jurang, ia masih terbayang jelas senyum manis Vio yang ceria bersama ibu tirinya.
“Bunda janji, hanya Bunda yang akan menjadi ibumu, Vio. Tidak ada yang lain.”
Pintu tiba-tiba terbuka. Daisy tersentak karena terlalu larut dalam lamunan.
“Sayang, bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Jasmin lembut.
“Hari ini aku baik, Mom,” jawab Daisy dengan senyum kecil.
Jasmin pernah menjadi orang yang paling hancur ketika kabar kematian Daisy sampai padanya. Bertahun-tahun ia sulit diajak bicara, bahkan Niklas sempat membawanya berobat ke luar negeri demi memulihkan luka batin itu.
“Kamu kenapa, Daisy? Apa ada yang sakit?” tanya Jasmin cemas melihat putrinya melamun.
“Aku nggak apa-apa, Mom,” sahut Daisy pelan.
“Kalau begitu, sini. Mommy mau gendong cucu Mommy,” ucap Jasmin sambil mengulurkan tangan, mengambil sang cucu.
“Baru juga tidur, Mom.” Keluh Daisy, namun Jasmin tidak menanggapi ucapan sang anak. Beruntung, Vio tidak terbangun sangat nyaman dalam dekapan Neneknya.
“Jangan jauh-jauh ya, Mom. Aku nggak mau jauh dari Vio,” cetus Daisy.
“Namanya Vio?” Jasmin mengulang, sedikit terkejut.
“Iya, namanya Vio. Memangnya kenapa? Jelek, ya?” Daisy tampak bingung. Nama itu ia berikan secara spontan.
“Tidak, bagus kok. Mommy suka. Tapi nama panjangnya apa?”
“Nah, kalau itu biar Damian saja yang memberi.” Daisy terkekeh, menggeleng pelan.
“Ih, kamu ini…” Jasmin akhirnya mengurungkan niatnya untuk keluar ke taman. Ia tetap di ruang rawat, lalu bersenandung menyanyikan lagu yang dulu sering ia dendangkan untuk Daisy kecil. Jasmin selalu menjadi tameng putrinya, terutama ketika Daisy melakukan kesalahan.
Bagaimanapun, Daisy adalah putri satu-satunya keluarga Wisnutama, setelah kakak lelakinya lebih dulu pergi menghadap Sang Pencipta.
Daisy kembali melamun, mengenang masa lalu yang getir bersama Damian. Hingga ia tak sadar kalau Damian sudah kembali membawa makanan.
“Mom,” sapa Damian seraya mendekat.
“Ini, Vio sudah tidur,” ujar Jasmin sambil menyerahkan bayi itu kepadanya.
“Vio?” Damian mengangkat alis.
“Iya, Daisy memberinya nama Vio. Bagaimana, kamu suka kan?”
Damian tersenyum, mengecup kening sang anak penuh kasih.
“Suka, namanya bagus.”
Jasmin memperhatikan Daisy yang kembali melamun, lalu memutuskan mengajak Damian bicara di luar ruang rawat.
“Damian, apa Daisy sering melamun akhir-akhir ini?” tanya Jasmin serius.
“Iya, Mom. Aku juga sering melihatnya menangis,” jawab Damian sambil melirik ke arah Daisy yang mulai tertidur.
“Apa mungkin dia terkena baby blues?”
“Aku belum tahu, Mom. Besok aku akan tanyakan ke dokter.”
“Ya, sebaiknya begitu. Biar cepat ditangani.” Jasmin mengangguk setuju.
“Oh ya, untuk nama panjang Vio, Daisy bilang itu urusanmu.”
“Viola Carla Hermawan. Bagaimana, Mom?” Damian menatapnya hati-hati.
“Bagus. Mommy suka. Seandainya bisa ditambah nama keluarga ayahnya Daisy…,” ujar Jasmin sambil terkekeh.
Damian hanya tersenyum. Setelah berbincang sebentar, Jasmin memutuskan pulang dengan janji akan kembali saat Daisy sudah diperbolehkan keluar rumah sakit.
“Hati-hati, Mom. Maaf aku nggak bisa antar sampai depan,” ucap Damian.
“Tidak apa-apa. Yang penting, jaga Daisy baik-baik.”
“Aku janji, Mom. Aku akan selalu menjaga Daisy.” Damian menatap mertuanya penuh keyakinan.
“Terima kasih. Walau terlihat kuat, Daisy sebenarnya sangat manja dan cengeng.” Jasmin tersenyum lalu memeluk menantunya.
Damian menatap Ibu mertuanya masuk ke dalam lift. Setelah pintu tertutup, ia kembali ke ruang rawat dan ikut berbaring di samping Daisy, rasa lelahnya perlahan menyeruak.
****
Villa keluarga Wisnutama
Jasmin duduk menatap foto anak lelakinya yang sudah lebih dulu pergi. Setiap tahun, mereka selalu mengenang kepergian itu dengan berbagi di panti asuhan.
Usapan lembut di bahu membuatnya menoleh. Niklas tersenyum dan duduk di sampingnya.
“Apa yang kamu pikirkan, sayang? Sejak pulang dari rumah sakit kamu banyak melamun,” ucap Niklas.
“Aku memikirkan Daisy,” jawab Jasmin.
“Kenapa? Apa dia baik-baik saja?”
“Dia baik-baik saja. Hanya saja… dia sering melamun dan menangis. Aku takut, Mas. Aku takut kehilangan dia,” lirih Jasmin.
Niklas segera memeluk istrinya, mengelus punggungnya penuh sayang.
“Jangan khawatir, sayang. Dia kuat. Anak kita pasti baik-baik saja.”
“Iya…” hanya itu yang mampu Jasmin ucapkan.
“Lalu bagaimana dengan Andreas? Apa kamu sudah menyelidikinya?” tanya Jasmin, kini nada suaranya lebih tajam.
“Sudah. Dia anak dari musuh kita,” jawab Niklas tenang.
“Siapa?”
“Alfa.”
Mata Jasmin langsung berkobar. Ia mengepalkan tangannya erat. Lelaki itu pula yang menjadi sebab ayah Damian meninggal.
“Kurang ajar! Lakukan sesuatu, Mas,” ucapnya penuh emosi.
“Kamu tenang saja. Jangan pikirkan hal itu lagi. Oke? Malam ini cukup layani aku,” goda Niklas sambil tersenyum nakal.
“Huh! Dasar. Udah punya cucu masih aja genit!” Jasmin memutar bola matanya malas.
“Loh, genit sama istri sendiri kan boleh. Atau kamu mau aku genit sama orang lain?” Niklas mengedip nakal, alisnya naik-turun.
“Ya jangan lah! Jangan macam-macam sama aku,” sahut Jasmin ketus, membuat Niklas tergelak.
“Gimana kalau kita tambah satu anak lagi? Kita masih cocok, kan…” bisiknya.
“Apaan sih, Mas!” Jasmin terpekik, pipinya memerah. Meski begitu, hatinya tahu—ia dan Niklas memang masih pantas menambah buah hati.
Tanpa berkata panjang, Niklas langsung mengangkat tubuh istrinya menuju pembaringan. Malam itu, mereka kembali berlayar di lautan asmara. Niklas tahu, Jasmin sudah tak lagi menggunakan pencegah kehamilan.
Bersambung ....
Tiga hari berlalu, hari ini Daisy akhirnya diizinkan pulang. Selama di rumah sakit, ibu mertuanya hampir tak pernah menjenguk. Hanya sesekali menanyakan kabar Damian dan cucunya lewat pesan.
“Nanti siapa yang jemput?” tanya Daisy pelan.
“Orang suruhan Daddy,” jawab Damian singkat.
Daisy mengangguk. Ia lalu meminta Damian menyerahkan Vio yang tengah terlelap. Damian pun memberikannya dengan hati-hati.
“Ibu kok nggak pernah jenguk aku, ya?” tanya Daisy sambil menatap ke luar jendela. Dalam hati, ia sadar betul kesalahannya dulu telah melukai hati sang ibu mertua. Mungkin itu alasannya Diana memilih menjauh.
“Mungkin Ibu sibuk,” jawab Damian menenangkan. “Kamu tahu sendiri, Ibu kan punya usaha katering rumahan.”
“Ya, mungkin saja…” Daisy menunduk.
Tak lama, dokter kandungan dan dokter anak masuk bersama untuk memeriksa Daisy dan Vio sebelum kepulangan mereka.
“Terima kasih, Dok,” ucap Damian setelah mendengar kabar bahwa istrinya boleh pulang.
“Sama-sama, Tuan Damian. Jangan lupa bawa Nyonya kontrol setelah empat puluh hari, ya.”
“Baik.”
Dokter pun berpamitan, dan seorang sopir masuk untuk membantu membawa barang-barang Daisy.
Setelah mereka duduk nyaman di mobil, Damian menoleh. “Kita mau ke rumah Ibu atau Mommy?”
Daisy menatap Damian lama, membuat lelaki itu salah tingkah.
“Kenapa?” tanyanya cepat, mencoba mengalihkan gugup.
“Kenapa apanya?” Daisy balik bertanya bingung.
“Kenapa menatapku begitu?”
Daisy terkekeh pelan. “Memangnya salah menatap suami sendiri? Kalau menatap suami orang baru salah.” Ia menggeleng kecil, menunduk ke arah Vio. “Sayang, lihat Ayahmu. Malu ditatap sama Bunda, tuh.”
“Daisy, Vio belum ngerti,” Damian menjawab ketus, tapi pipinya sedikit bersemu.
Daisy hanya tertawa geli.
“Jadi, kita ke rumah Ibu atau Mommy?” ulang Damian.
“Aku mau ke rumah Mommy,” jawab Daisy mantap. “Boleh?”
“Baiklah. Pak, jalan,” ucap Damian pada sopir.
“Baik, Tuan,” balas sang sopir.
Bukan karena enggan, tapi Daisy belum siap berhadapan dengan Diana. Rumah itu terlalu penuh dengan kenangan buruk: pertengkaran, luka, bahkan saat dirinya jatuh dari tangga setelah berdebat hebat dengan Damian.
****
Sementara itu, Diana bahkan tidak tahu bahwa Daisy pulang hari ini. Ia memilih sibuk di dapur hingga siang, lalu pergi bersama Ivana. Di balik kesibukannya, ada gengsi yang ia pelihara. Dalam diam, sebenarnya ia rindu, tapi luka lama membuatnya enggan melangkah lebih dulu.
Berbeda dengan kediaman Diana, rumah keluarga Niklas justru meriah. Jasmin sengaja mengundang kerabat dan tetangga untuk menyambut cucu pertama mereka. Ia sempat menghubungi Diana, tapi ajakan itu ditolak.
“Sudah, Kakak ipar. Jangan sedih. Mungkin Nyonya Diana sibuk,” hibur Nathalia, adik Niklas yang seumuran dengan Jasmin.
“Ya, mungkin…” jawab Jasmin datar, meski sorot matanya menyimpan kecewa.
“Sudahlah, kita harus bahagia. Aku nggak sabar lihat anaknya Daisy, pasti cantik dan matanya sipit kayak kita-kita,” celetuk Eliza, adik Niklas lainnya, sambil tertawa.
“Jelas cantik lah, orang Daisynya cantik kok,” timpal Nathalia.
Suasana rumah penuh canda tawa. Niklas memang punya tiga adik: dua perempuan dan satu laki-laki bernama Orion Wisnutama yang kini tinggal di Malaysia. Sayangnya, ia belum sempat pulang karena pekerjaan. Sementara Jasmin, anak tunggal yang kedua orang tuanya sudah tiada, hanya bisa mengandalkan keluarga suaminya. Meski beberapa kerabat menolak hadir, ia berusaha menahan kecewa.
Niklas menatap istrinya yang tampak melamun. Ia tahu Jasmin terluka karena penolakan keluarganya sendiri, dan itu membuatnya semakin melindungi wanita yang dicintainya.
Tak lama, mobil yang membawa Daisy tiba. Semua orang berdiri menyambut keluarga kecil itu. Daisy terharu melihat pemandangan tersebut. Kalau dulu, ia pasti marah-marah dan membubarkan tamu. Kini, matanya berkaca-kaca.
Yang pertama menyambut Daisy adalah Jasmin, lalu Nathalia dan Eliza.
“Aunty Nath, Aunty El…” bisik Daisy dengan suara bergetar. Ia masih ingat jelas bagaimana dulu kedua tante itu menasihatinya agar tidak berbuat jahat pada Damian.
“Daisy…” keduanya langsung memeluk sang keponakan. Vio berpindah ke tangan Jasmin, sementara Daisy menggenggam erat pelukan itu.
“Aku kangen Aunty,” ucap Daisy lirih.
“Hei, baru beberapa hari nggak ketemu udah kangen,” goda Eliza sambil terkekeh.
Daisy hanya tersenyum menanggapinya. Ia lalu diajak masuk. Seorang ustaz memimpin doa untuk keselamatan Daisy, Damian, dan Vio. Setelah sedikit ceramah, acara ditutup dengan doa dan makan bersama.
Daisy duduk memperhatikan semua orang. Sulit baginya percaya, bahwa ia kembali diterima sehangat ini. Dahulu, ia meninggalkan keluarga, dan kini… ia pulang.
Senyumnya merekah saat melihat Jasmin menggendong Vio penuh kasih. “Viola, semoga kamu jadi cahaya bagi semua orang,” gumam Daisy dalam hati.
****
Sementara itu, jauh di negeri orang, Andreas meraung kesal. Ia baru saja kalah judi lagi. Botol kaca di tangannya dilempar hingga pecah berantakan.
Mia hanya bisa menggeleng melihat ulahnya. “Sudahlah, Sayang. Ayo kita pulang ke Indonesia. Nggak bosan apa di sini terus?”
“Enggak! Gue harus dapet duit buat nutup utang dan bayar pegawai!” teriak Andreas frustrasi.
Alih-alih untung, ia justru buntung. Dengan wajah tertutup kedua tangannya, satu nama melintas di pikirannya.
“Daisy…” gumamnya lirih.
“Apa?” tanya Mia penasaran.
“Bukan apa-apa. Ayo pulang. Aku harus ketemu tambang emasku.”
Mia mengangguk. Meski hatinya bertanya-tanya, ia tetap menuruti Andreas.
****
Beberapa jam kemudian, Andreas sudah sampai di rumah orang tuanya. Ia langsung terbang menggunakan pesawat pribadi.
“Ingat juga pulang kamu!” suara berat menyambutnya. Tuan Alfa, ayahnya, berdiri tegak di depan pintu. Sementara Mia sudah ia antar lebih dulu ke rumah.
“Daddy, apa kabar?” Andreas mencoba basa-basi.
Tuan Alfa memutar mata, jelas malas menanggapi. “Udah, jangan basa-basi. Pasti kalah lagi, kan? Daddy udah hafal sifatmu.”
Andreas terkekeh hambar, lalu mencoba membantu ayahnya turun tangga. Namun tangannya ditepis kasar.
“Awas! Daddy masih kuat, belum terlalu tua!” omel Alfa.
Mereka duduk. Seorang pembantu datang membawa minuman dan camilan.
“Langsung aja. Ada apa?” tanya Alfa, tatapannya tajam.
“Uangku habis, Dad. Aku belum bayar gaji karyawan,” Andreas mengaku. Ia masih punya restoran dan hotel, tapi akhir-akhir ini sepi. “Semenjak Daisy pergi, usaha makin jatuh.”
“Kenapa bisa? Kalian bertengkar?” Alfa mengernyit. Ia tahu hubungan Andreas dan Daisy dulu begitu dekat.
“Bukan. Dia dijemput paksa sama ibunya… sama suaminya.”
Andreas pun menceritakan semuanya. Tentang janji Daisy yang akan menceraikan Damian setelah melahirkan, meski hingga kini kabar itu tak pernah datang.
Alfa menghela napas panjang. Bukannya tak ingin membantu, tapi perusahaan keluarga mereka pun sedang goyah. Pegawai menggelapkan dana, proyek besar gagal, dan—yang paling menyakitkan—mereka kalah bersaing dari perusahaan milik keluarga Niklas.
“Daddy nggak bisa bantu. Perusahaan kita juga lagi banyak masalah,” ucap Alfa dengan wajah lelah.
Dulu, ia adalah pengusaha yang disegani. Namun semua berubah. Kuasanya runtuh seiring kejayaan keluarga Niklas yang semakin besar.
Bersambung ...
Jangan lupa komen, bintangnya 🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!