Di lorong parkir yang diterangi lampu neon, suasana hening hampir sempurna. Hanya terdengar deru mesin kendaraan dan langkah kaki sesekali. Beberapa anggota tim yang sudah pulang terlihat menyalakan lampu kendaraan mereka, lalu perlahan menghilang ke jalanan kota yang mulai sepi. Bayangan mereka memanjang di lantai aspal, meninggalkan markas yang kini kosong tetapi dipenuhi dengan rencana yang siap dijalankan.
Amara menahan napas sejenak, menyesuaikan diri dengan dinginnya udara malam. Ia menyalakan lampu depan motornya, memakai jaket hitamnya dan melangkah pelan keluar dari area parkir.
Amara menarik jaketnya, jemarinya sempat bergetar kecil. Udara malam begitu dingin, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Dia merasakan segerombolan orang yang sedari tadi mengintainya. Mencari kesempatan untuk menghabisinya. Entah apa yang mereka mau, tapi Amara tahu ini bukan pertanda baik.
Dia melajukan motornya semakin kencang, mencoba memasuki jalan tikus agar mereka kehilangan jejaknya. Dia menyalip kanan dan kiri, lalu memutar arah motornya. Gerombolan itu tidak mengikutinya, tidak pula berhenti mencari tahu kemana tujuan Amara.
Aku mungkin berlebihan, Amara bergumam dalam hatinya. Dia mulai menarik gas kereta perlahan, mencari jalan lain untuk pulang ke rumah.
Jalan itu dikelilingi pohon besar kanan dan kiri, mungkin di siang hari ini adalah jalan teduh yang dilindungi pohon-pohon dari panasnya matahari. Malam hari jalan ini begitu sepi, ruko pinggirannya pun telah tutup. Gelap dan sunyi.
"Brakkkk.. " ban depan motornya menghantam sesuatu.
Dia berhenti mendadak, tubuhnya hampir terhempas ke aspal. Tapi dia berhasil menahan kemudi dengan cepat.
"Sial.. bocor!" Matanya memeriksa sekeliling lalu melirik ban motornya yang sudah mengempis.
Amara jongkok perlahan, cahaya ponselnya menyorot ban depan.
"Paku?" Ia menarik nafas panjang, mencoba tenang dan berfikir.
Dari kejauhan terlihat sebuah mobil Bugatti La Voiture Noire mendekat, berhenti tepat di sebelah motornya. Dia membuka kaca mobilnya. Terlihat seorang pria dengan warna kulit olive hangat, alis tebal dan melengkung tajam, serta matanya yang berwarna hazel begitu memikat Amara.
“Banmu bocor?” ucapnya datar, sambil melirik ke arah roda Amara.
Amara menelan ludahnya, menatap sekilas ke arah pria itu lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
“Iya… sepertinya kena paku,” jawabnya pelan, berusaha terdengar tenang.
Pria itu mematikan mesin mobilnya. Dengan gerakan tenang, ia keluar dari Bugattinya. Sebuah kontras yang membuat Amara menjadi ragu.
“Ini disengaja." Suaranya datar, tapi jelas. Ia berdiri perlahan, menatap Amara lurus-lurus. “Kau tahu itu, kan?”
Amara mundur selangkah, jantungnya berdegup lebih cepat. Pria itu lalu melepas jaket kulitnya dan menjatuhkannya ke bahu Amara.
“Dingin sekali malam ini. Kau bisa membeku kalau tetap berdiri diam di situ.” Senyumnya samar, sulit ditebak.
Pria itu lalu jongkok begitu saja, seakan tak peduli pada ketegangan yang dirasakan Amara. Ia lalu menepuk-nepuk ban depan motor Amara, “Masih bisa dipakai kalau ditambal sementara."
Pria itu membuka bagasi mobilnya, gerakannya tenang. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah tas hitam panjang. Ini seperti bukan peralatan tambal ban yang biasa dilihat Amara.
Dia berjongkok kembali, mengeluarkan Tire repair kit Dari tas hitam panjang miliknya. Terlihat angannya cekatan, seperti terbiasa melakukan hal semacam itu.
Amara menahan napas, memperhatikan dengan tatapan waspada.
"Aku memperhatikan motormu sedari tadi, " pria itu berkata tanpa menoleh, "Kau ada urusan apa dengan preman-preman jalan itu?"
Amara tercengang, ia mulai merasakan firasat buruk.
“Kau… siapa sebenarnya?” suaranya hampir tak terdengar, tangannya mulai meraih pistol di balik jaketnya. Bersiap dengan segala kemungkinan.
“Orang yang seharusnya tak kau temui di jalan sunyi seperti ini,” jawabnya tenang. “Tapi takdirmu rupanya… keras kepala.”
Dia berdiri, tersenyum samar, tangannya mendekati Amara. Amara yang terkejut mendadak mundur dan mengeluarkan pistol dari jaketnya.
Pria itu terkekeh lirih.
"Tenanglah.. aku hanya ingin mengambil jaketku!" Ia menengadahkan tangannya, memberi kode agar Amara mengembalikan jaketnya yang masih tergantung di bahu Amara.
Amara segera memberikan jaket itu, tapi tak membalas jawaban apapun.
"Ooh ya, harusnya kau ucapkan terimakasih. Bukan menodongkan pistol."
Dia menunduk menatap aspal, lalu menatap mata Amara. Ditundukkannya kepalanya, mendekati telinga Amara yang masih mematung. Wangi kulit dan parfum maskulin samar tercium, bercampur dengan dinginnya udara malam. Ia menatap Amara begitu dekat, membuat gadis itu hampir kehabisan napas.
"Dan... sebaiknya kau cepat, mereka masih mengintai."
Mata Amara seketika memeriksa sekeliling. Menghidupkan kembali motornya lalu, meluncur dengan segera dari tempat itu.
"Tanpa basa-basi, tanpa terimakasih.. tanpa bertanya.. ", ucap pria itu setengah berbisik pada dirinya sendiri yang masih menatap bayangan motor Amara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara membanting tubuhnya ke tempat tidur. Menatap lama langit-langit kamarnya. Hari yang terasa begitu panjang.
Wajah pria asing tadi masih membayang dibenaknya. Begitu mempesona sekaligus menyimpan kegelapan. Amara mencium bahunya, mencoba mencari aroma maskulin pria itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengalihkan pikirannya.
Namun suara pria asing tadi kembali terngiang,“Ini disengaja. Kau tahu itu, kan?”
Dadanya kembali sesak, ia tarik bantal dari wajahnya. "Benarkah kejadian tadi karena kebetulan atau memang ada yang disengaja?", gumamnya pelan.
Tangannya meraih pistol dari jaket yang belum dia lepas. Menatapnya lama sambil melihat ruang peluru pada pistolnya. Lalu, menghempaskan ke selimut tebal di atas tempat tidurnya.
Perlahan, Amara memiringkan tubuhnya menghadap pistol tadi. Suara kasur yang berderit lembut seolah menyambut tubuh lelahnya. Bantal yang dingin dan lembut menempel di pipinya.
Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat atap dunia yang gelap gulita. Suara jangkrik dari kejauhan terasa kontras dengan degup jantungnya yang belum benar-benar reda.
Tangannya meraba selimut tebal, menariknya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia berguling ke sisi kanan, kemudian ke sisi kiri, mencoba menghilangkan kegelisahan. Wajah pria itu masih muncul samar-samar. Mata hazelnya yang tajam, bibirnya yang menyimpulkan senyum tipis, suaranya yang berat dan tenang, juga aroma maskulin yang berbaur dengan keringat, terasa begitu misterius sekaligus memikat.
Kelopak mata Amara mulai terasa berat, digelayuti oleh seluruh kejadian panjang hari itu. Perlahan, pandangannya mengabur, napasnya mulai teratur. Bibirnya terbuka sedikit, membiarkan desah pelan keluar di antara hembusan napas panjangnya.
Pistol yang tadi ia hempaskan kini setia berbaring di sisi kanan tubuhnya, tenggelam di bawah lipatan selimut. Menjadi penjaga bisu di tengah lelapnya. Matanya terpejam sepenuhnya, tubuhnya tenang dalam pelukan malam.
"Tak.. Tak.. Tak.. " pintu digedor, Amara membuka matanya perlahan lalu, menyipitkannya kembali. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela begitu menyilaukan.
"Amara.. ayo sarapan!" suara perempuan yang begitu lembut terdengar dari balik pintu.
"Yah ma," ia menggosok pelan matanya, membiasakan penglihatan dengan terangnya matahari pagi.
Amara menuju kamar mandi, mencuci wajahnya sambil menatap cermin yang melekat di dinding keramik. Ia menatap dirinya lama lalu, menarik nafas panjang.
Amara menggulung rambut panjangnya ke atas, lalu menahannya dengan karet biru tua. Ia berjalan membuka pintu kamarnya, menuju ruang makan untuk sarapan.
Diruang makan, sudah ramai dengan suara ramah ayah, ibu dan adik laki-lakinya.
"Kakak..., " Anak laki-laki dengan kulit putih bersih berwajah kemerahan berlari mendekap kaki Amara.
"Arga, sini makan.. kakak juga mau makan!" Wanita paruh baya dengan sanggul rendah yang rapi di tengkuk tersenyum sambil mengangkat Arga, mengembalikannya duduk di kursi.
"Semalam lembur nak?", suaranya tenang dan hangat.
Amara mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang.
"Iya pah, lagi banyak kerjaan. Beberapa bulan kedepan juga sepertinya begitu.. " sambil menarik kursi, bersiap ikut sarapan.
"Nanti papa sama mama nggak usah khawatir ya kalau aku nggak bisa pulang. Bisa jadi aku tidur di kantor. " Amara menarik mangkuknya dan mulai mengambil sup ikan buatan ibunya.
"Nggak bahaya kamu tidur di kantor? kamu itu perempuan Amara!", sambil membantu anaknya yang berumur 5 tahun memisahkan daging dari tulang ikan.
"Sebenarnya... " Amara berhenti, memikirkan ulang yang akan ia ucapkan. "Yah lebih aman di kantor mah, kan pulang malam-malam malah bahaya." Ia lanjut menyuapi kuah sup yang masih hangat, tidak membahas lebih lanjut tentang isi pikirannya.
Ayahnya hanya mengangguk, tapi sorot matanya menyimpan kerisauan.
“Papa cuma takut kamu kecapekan, Ra. Badanmu nggak terbuat dari baja, lho.”
Amara tersenyum tipis, menunduk pada mangkuknya.
“Aku akan hati-hati, Pa. Jangan khawatir.”
Belum sempat waktu makan keluarga itu selesai, tiba-tiba ponsel Amara bergetar keras di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya langsung menegakkan tubuh,
“Unit Opsir Khusus”.
Amara buru-buru mengangkat ponsel itu, suaranya dibuat setenang mungkin.
“Ya, Amara di sini.”
Di seberang, suara berat dan dingin terdengar.
“Amara, segera menuju Jalan Dermaga Lama. Ada korban dengan dugaan awal OD. Pelakunya bisa jadi orang yang sama dengan operasi hitam.”
Amara menggenggam ponselnya erat. Matanya sempat menoleh ke arah ayah dan ibunya yang menatap dengan penasaran.
Senyumnya ia paksa, “Aku harus berangkat sekarang Pa, Ma. Ada panggilan tugas.”
Ibunya tak sempat berkata, Amara sudah beranjak, meraih jaket dan helmnya. Suasana sarapan keluarga seketika hening. Mata mereka saling menatap, tapi tak ada yang bisa menahan. Langkah Amara bergerak terburu-buru menuju pintu, menghidupkan motornya dan menghilang di jalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments