Ditengah kesunyian malam yang gelap gulita, club itu terasa begitu riuh. Lampu berkelap - kelip mengikuti dentuman musik. Aroma rokok yang bercampur dengan alkohol memenuhi ruangan. Wanita-wanita dengan gaun ketat dan berkilauan menari liar, disambut dengan bayangan pria - pria yang siap memangsa.
Di luar, dua buah van hitam berhenti di belakang pintu club Malam.
“Semua unit siaga,” tegas Kasat Narkoba, Kompol Alfian. Matanya menatap gedung yang berdenyut cahaya.
“Kita masuk tiga menit lagi. Ingat Traget Prioritas kita adalah Lucian! Hidup atau mati, dia harus kita bawa!" sambil memberikan satu aba - aba, belasan kru berompi hitam bertuliskan POLISI bersenjata laras panjang memaksa masuk.
Tepat satu langkah dibelakang sang komandan, berdiri seorang wanita dengan rambut terikat kencang, tatapan matanya tajam seperti sebilah pisau. Amara, seorang polisi wanita yang namanya mulai diperhitungkan di Satuan Reserse Narkoba.
"Eksekusi!" Komandan mengangkat tangannya ke atas lalu memberikan isyarat untuk memasuki club itu.
Pintu ditendang. "POLISI!!!JANGAN BERGERAK!!"
Suara keras musik pecah oleh teriakan panik pengunjung. Amara melesat mengikuti langkah Kompol Alfian memasuki VIP Room.
Pintu di dobrak, pistol teracung. Pria berjas hitam menghadang cepat, sementara yang berada di belakang berhamburan sambil mengangkati tas - tas hitam yang terisi penuh.
Dua orang bodyguard langsung mengeluarkan senjata api dari balik jas hitamnya. Tembakan pertama meletus, meja kaca VIP pecah berhamburan. Tim polisi merunduk berlindung dibalik sofa hijau tosca. Mereka mencoba membalas dengan tembakan terukur.
"Dum! Dum! Dum!", suara Glock 17 milik Kompol Alfian mengenai para pengedar yang berhamburan di balik badan-badan besar para bodyguard. Beberapa berhasil kabur, beberapa meringis kesakitan.
Situasi melengah, mereka terkecoh. Amara yang sadar, bergerak gesit menendang pistol dari tangan salah satu bodyguard hingga meluncur jauh ke sudut ruangan. Ia lalu menekan pria itu ke lantai dengan lutut di punggungnya.
“Jangan bergerak!” sergahnya dingin.
Di sisi lain, Kompol Alfian sudah menahan seorang pengedar yang mencoba meraih tas hitam berisi kristal putih.
“Kau pikir bisa kabur, hah?!”
"Kreek!"Borgol baja melingkar di tangan.
“Unit Alfa, HT masuk, Target kedua Clear pak!”Suara dari Handy Talky terdengar parau bercampur bisingnya dentuman musik yang tak juga padam.
“Copy, Alfa. Lanjutkan penyisiran!” Balas Kompol Alfian.
Kompol Alfian menunduk, membuka tas hitam yang tertinggal di lantai. Isinya berhamburan keluar. Bungkusan plastik bening berisi kristal putih tercecer berserakan.
“Ini bukan transaksi biasa. Ini transaksi besar.” Matanya menyempit, mengendus kecurigaan lain.
Amara menatap sekeliling, mencoba mencari target prioritasnya. Pintu belakang VIP Room sedikit terbuka, hembusan angin tipis memasuki ruangan.
“Lucian kabur,” bisiknya.
Alfian mengangguk singkat.
“Tim dua, amankan area belakang! Amara, ikut aku. Kita tidak boleh kehilangan dia!”
Amara dan Kompol Alfian memasuki pintu belakang VIP, mencoba menelusuri jejak Lucian. Udara pengap bercampur dengan aroma terbakar dari rokok menggantung di atap lorong yang mereka masuki. Langkah sepatu berdentum cepat di atas lantai kayu yang lengket oleh minuman tumpah.
Di ujung lorong, terlihat bayangan seseorang berlari cepat. Sekilas, tampak kilatan jam tangan emas yang memantul dari pergelangan tangannya.
“Lucian! Berhenti!!!” teriak Alfian, suaranya menggelegar.
Pelatuk ia tekan, “Klik!” hampa.
Alfian mendongak sekilas, wajahnya menegang. Sial, chamber kosong! Peluru habis tepat saat target prioritas ada di depan mata, pikiran Alfian gusar.
Tak ada waktu untuk mengisi ulang, Langkah jangkung Lucian semakin menjauh. Alfian mempercepat langkahnya. Sepatu bootnya terdengar semakin keras menghantam lantai kayu. Nafasnya kian memburu, jantungnya memompa cepat, tapi tatapannya tak lekang dari punggung Lucian.
Saat jarak semakin berkurang, kerumunan orang keluar dari balik pintu darurat. Menghilangkan bayangan Lucian dari pandangannya.
"Sialan!" Alfian mengumpat.
Tubuhnya masih terhimpit diantara kerumunan pengunjung yang berdesakan. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, sementara matanya terus menyapu ruangan, mencari bayangan Lucian. Lucian lolos.
Amara yang tertinggal berhasil menyusul, " Bagaimana?"
"Dia lolos, sial... " Alfian mengepalkan tangannya geram.
Mereka masih terjebak, ditekan puluhan orang yang terus mencoba keluar.
Berharap ada kesempatan, mereka terus mengejar hingga ke basement. Hanya jejak hitam ban mobil yang tertinggal di lantai semen, membentuk garis berkelok menuju pintu keluar.
“Dia sudah jauh. Kita tak bisa lagi mengejarnya.” Alfian mengepalkan tangan, "dhumm!!" Tangannya memerah setelah memukul dinding karena geram.
Amara mengamati sekeliling, matanya masih awas. “Sebaiknya kita kembali komandan, mereka yang kita tangkap bisa kita interogasi. Ini akan membuka jalan untuk mencari jejak Lucian.”
Mereka menggiring para tersangka keluar. Ekspresi panik terpampang di wajah para tersangka.
“Masukkan mereka ke dalam!” teriak Alfian, salah satu anggota membukakan pintu mobil tahanan. Dengan langkah terseret, mereka menunduk memasuki van hitam yang bersiap meluncur.
Amara melirik Alfian, “Lucian pasti sudah mempersiapkan diri. Dia bukan pemain baru.”
Alfian menarik napas panjang. “Kita lihat saja! Ingat Amara, jejak akan selalu tertinggal. Cepat atau lambat, dia akan jatuh. Dan kali ini, aku ingin dia jatuh di tanganku sendiri.” Sambil menepuk-nepuk bahu Amara, Alfian masuk ke dalam van, meninggalkan Amara yang masih menatap basahnya jalan karena hujan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ruangan interogasi di penuhi dengan pengapnya ketakutan, keringat dan sedikit bau amis darah. Tas hitam penuh dengan plastik-plastik berisi kristal bening diletakkan di atas meja.
Brakkk!
Suara hantaman keras ke atas meja bergema dalam ruangan.
“Jangan main-main dengan kami!” Suara penyidik terdengar penuh emosi, wajahnya merah menahan emosi.
Bara, Pria kurus dengan tatoo harimau di lengan kanannya tersenyum tipis. Darah terlihat merembes dari ujung mulutnya, tapi keringat di pelipis tak bisa ditutupi. Dia ketakutan, mulai goyah.
"Aku mau pengacaraku! Kalian tidak berhak menekankanku seperti ini! Biar pengacaraku yang bicara." Jawabnya angkuh.
Penyidik mencondongkan tubuh ke depan, mendekatkan wajahnya dengan Bara. “Ini kesempatanmu untuk bicara sebelum kau menyesal dengan apa yang akan kulakukan.”
“Menyesal? Kau bercanda!"ia menahan tawanya sebentar, lalu melanjutkan dengan suara rendah," Aku lebih sering mencium bau darah dibandingkan kalian. Kau pikir ancaman recehmu berguna?!"
Brakkk!
Tangan penyidik menghantam keras wajahnya, meninggalkan darah yang mulai muncul dari pelipisnya.
“Sudah kubilang, aku tidak akan buka mulut tanpa pengacara,” dia menekan suaranya. Dia tahu ada mata yang mengawasi di balik kaca.
Amara dan Alfian saling menatap, mereka memutar otak agar mendapatkan celah untuk menangkap mangsa yang lebih besar.
"Dasar tikus licik!"Alfian bergumam dibalik one-way mirror sambil menggertakkan gigi-giginya.
Pintu diketuk, “Komandan, barusan bapak Kapolres memberi kabar...", suara IPDA Haris tercekat. "Pengacara mereka sudah datang membawa surat penangguhan penahanan.”
Alfian berbalik cepat. “Apa? Secepat itu?”
Selembar kertas bermaterai di serahkan. Mereka masih tercengang. Bagaimana bisa permainan ini berganti posisi. Kemenangan di depan mata berbalik tanpa aba-aba.
Beriringan dengan surat itu, masuklah seorang pria paruh baya ke dalam ruang interogasi. Setelannya rapi, ia mengenakan jas hitam licin tanpa kerut, kacamata tipis bertengger di hidungnya. Di tangannya, terlihat map cokelat yang dipenuhi dokumen. Ekspresinya tenang, penuh wibawa.
“Nama saya Harun Wijaya, saya adalah penasihat hukum yang mewakili Bara dan kawan-kawannya,” ucapnya dengan suara berat namun tenang. “Saya harap pihak penyidik memahami bahwa sejak saat ini, segala proses pemeriksaan harus didampingi oleh penasihat hukum, sesuai Pasal 55 KUHAP.”
Alfian langsung masuk dan mendengus kasar. “Mereka pengedar kelas kakap, bukan maling ayam! Kau pikir hukum akan melindungi mereka?”
Harun tersenyum miring, tidak gentar sedikit pun. “Hukum melindungi setiap warga negara, Komandan. Termasuk klien saya.”
Amara menatap tajam. “Kau datang terlalu cepat. Seolah-olah kau sudah tahu mereka akan ditangkap malam ini.”
Harun menatap balik dan berbicara dengan tenang. “Mungkin saja klien saya yang selalu menyiapkan diri. IPTU Amara, sepertinya anda terlalu meremehkan orang lain.”
Alfian mengepalkan tangan mencoba menahan diri. Ia tahu, ia tak bisa gegabah.
Harun lalu mengeluarkan selembar dokumen dari mapnya, meletakkannya di atas meja.
“Dan lagi, penangkapan ini cacat prosedur. Kalian masuk ke club tanpa surat izin penggeledahan yang jelas. Tidak ada saksi independen saat penyitaan barang bukti, hanya anggota kalian sendiri. Sesuai KUHAP, bukti yang diperoleh dengan cara melawan hukum bisa dinyatakan tidak sah di persidangan.”
Alfian menghentakkan tangannya ke meja, amarahnya tak bisa lagi dia tahan.
“Jangan samakan kami dengan preman jalan! Kami melakukan penangkapan berdasarkan laporan intelijen!”
Harun tidak bergeming, ia menggeser dokumen di atas meja mendekati Alfian.
“Laporan intelijen tanpa surat perintah resmi tetaplah tidak sah. Kau tidak mungkin tidak tahu, Komandan Alfian. Dan lebih baik kalian memikirkan baik-baik ucapan saya…Saya yakin kalian tidak ingin nama baik kalian tercoreng hanya karena masalah ini.”
Ruangan mendadak hening. Hanya terdengar detak jam dinding diantara ketegangan.
Amara menatap Alfian, mencoba membaca pikirannya. Di satu sisi, bukti yang mereka dapat sudah sangat jelas. Di sisi lain, setiap kalimat Harun terdengar seperti pisau yang siap memotong habis kredibilitas mereka.
Harun menutup mapnya kembali, merapikan jasnya.
“Untuk malam ini, saya tidak meminta keajaiban. Saya hanya meminta hukum ditegakkan sebagaimana mestinya. Jika klien saya bersalah, buktikan secara sah dan meyakinkan. Jika tidak, maka mereka berhak bebas tanpa noda. Itu saja.”
"Tak..tak..tak..", masuk seorang petugas administrasi dengan dokumen berita acara pelepasan tahanan beserta barang pribadi milik Bara.
Petugas administrasi itu, dengan wajah kikuk, meletakkan dokumen di meja. “Mohon maaf, Komandan. Kami… hanya menjalankan instruksi atasan.”
Bara menundukkan kepala sebentar, lalu mengangkat tangannya yang terborgol. “Nah, kalau begitu…” katanya santai.
Harun memberi isyarat. Petugas itu membuka borgol Bara. Bara menggerakkan pergelangannya perlahan, menikmati kebebasan yang baru saja dia renggut kembali. Lalu, bangkit dan merapikan kerah bajunya. Ia menepuk bahu Amara, “terima kasih atas pesta sambutannya, saya tidak akan melupakan wajah cantik yang penuh keramahan ini."
Semua polisi di ruangan itu tak ada yang bisa berkutik. Hanya menahan geram yang tidak berkesudahan.
Harun membuka pintu, keluar bersama Bara yang melenggang bebas di sisinya. Bayangan keduanya memanjang di lantai koridor, meninggalkan ruangan interogasi yang masih penuh amarah dan rasa terhina.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Alfian menghempaskan tinjunya ke dinding, suara kerasnya memantul. “Dasar bedebah… Binatang!”
Amara hanya menatap pintu yang tertutup rapat, napasnya berat. Pikirannya melayang mencari cara agar para Mafia itu dikenai hukuman yang setimpal.
"Ini terlalu mudah, apa tidak ada yang bisa kita lakukan?" Amara bergumam pelan.
Alfian, yang masih menahan amarahnya, menepuk meja dengan telapak tangan. Suaranya bergetar, antara frustrasi dan kemarahan.
“Kita harus mulai dari sesuatu, Amara! Mereka mungkin bebas malam ini, tapi aku tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja!”
Amara menghela napas panjang. Ia tahu mereka harus berhati-hati menghadapi para Mafia ini. Ini bukan sindikat ikan teri, bisa saja ini adalah paus pembunuh. Sebuah kesalahan kecil bisa saja membuat mereka terseret dalam jebakan.
Mata Amara melirik tajam setiap sudut, setiap orang yang ada di sekelilingnya. Tubuhnya kemudian ia condongkan mendekati telinga Kompol Alfian.
Sesuatu yang dibisikin Amara membuat Alfian mengangguk-anggukan kepalanya, seolah setuju dengan semua ide itu.
"Baiklah", Alfian memecah keheningan ruangan itu. " Kita akan melanjutkan pemeriksaan yang kita bisa, mulai cari selah hukum untuk menahan mereka! Apapun pasalnya, kita buat saja berlapis. Kumpulkan semua yang bisa dijadikan bukti, termasuk rekaman CCTV di klub itu!"
Alfian melihat IPDA Haris, "Haris, cepat selesaikan surat penyergapan kita, mungkin itu masih bermanfaat!"
“Siap, Komandan,” jawabnya tegas. “Aku akan siapkan semua dokumen, aku pastikan kali ini tidak akan ada celah.”
“Kita tidak bisa main-main. Setiap bukti, setiap saksi, setiap langkah harus kita tata ulang dengan rapi. Tidak boleh ada kesempatan!”
Amara menyilangkan tangannya, mengingat ulang setiap kejadian malam itu.
“Kita juga harus pastikan siapa saja yang masuk dan keluar club malam itu. Kita harus selidiki semua hal yang mencurigakan.” Amara setengah berbisik mengatakannya ke kompol Alfian, seperti takut ada yang akan mencium strategi mereka. Alfian mengangguk, matanya menyapu seluruh ruangan.
"Brakk", meja dihantam, terlihat semangat kembali muncul pada wajah Alfian.
“Kita juga harus menyiapkan tim cadangan untuk memantau pergerakan mereka. Jangan sampai mereka bergerak sebelum kita siap. Malam ini mereka bebas, tapi besok semua harus di bawah kendali kita.” Ucap Alfian penuh tekad.
Amara dan Haris langsung serempak berdiri tegak dengan punggung lurus dan mata menatap hormat ke Komandan Alfian. Dengan gerakan cepat tapi rapi, tangan mereka terangkat ke pelipis, jari-jari rapat dan lurus, membentuk sudut yang sempurna.
“Siap, Komandan!!!” Suara mereka terdengar mantap, meski sedikit menahan ketegangan yang tergantung di udara.
Alfian menatapnya sebentar, lalu mengangguk perlahan. Hanya dengan satu isyarat, rasa hormat dan ketaatan itu diterima tanpa kata-kata panjang.
Alfian melangkah keluar dari ruangan. Tanpa aba-aba, semua anggota bergerak bubar. Suara langkah kaki dan pintu yang terbuka-tutup memenuhi koridor.
Amara menatap sekeliling ruangan yang kini hampir kosong. Hanya lampu yang masih menyala dan tumpukan dokumen di meja, menjadi saksi bisu rencana yang baru saja mereka susun. Ia menghela napas, meninggalkan sejenak beban pikirannya.
Diambilnya tas ransel hitam miliknya. Dimasukkannya dokumen itu dan memastikan tidak ada yang kurang. Dia menutup pintu perlahan, meninggalkan koridor yang dingin menuju parkiran.
Di lorong parkir yang diterangi lampu neon, suasana hening hampir sempurna. Hanya terdengar deru mesin kendaraan dan langkah kaki sesekali. Beberapa anggota tim yang sudah pulang terlihat menyalakan lampu kendaraan mereka, lalu perlahan menghilang ke jalanan kota yang mulai sepi. Bayangan mereka memanjang di lantai aspal, meninggalkan markas yang kini kosong tetapi dipenuhi dengan rencana yang siap dijalankan.
Amara menahan napas sejenak, menyesuaikan diri dengan dinginnya udara malam. Ia menyalakan lampu depan motornya, memakai jaket hitamnya dan melangkah pelan keluar dari area parkir.
Amara menarik jaketnya, jemarinya sempat bergetar kecil. Udara malam begitu dingin, tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Dia merasakan segerombolan orang yang sedari tadi mengintainya. Mencari kesempatan untuk menghabisinya. Entah apa yang mereka mau, tapi Amara tahu ini bukan pertanda baik.
Dia melajukan motornya semakin kencang, mencoba memasuki jalan tikus agar mereka kehilangan jejaknya. Dia menyalip kanan dan kiri, lalu memutar arah motornya. Gerombolan itu tidak mengikutinya, tidak pula berhenti mencari tahu kemana tujuan Amara.
Aku mungkin berlebihan, Amara bergumam dalam hatinya. Dia mulai menarik gas kereta perlahan, mencari jalan lain untuk pulang ke rumah.
Jalan itu dikelilingi pohon besar kanan dan kiri, mungkin di siang hari ini adalah jalan teduh yang dilindungi pohon-pohon dari panasnya matahari. Malam hari jalan ini begitu sepi, ruko pinggirannya pun telah tutup. Gelap dan sunyi.
"Brakkkk.. " ban depan motornya menghantam sesuatu.
Dia berhenti mendadak, tubuhnya hampir terhempas ke aspal. Tapi dia berhasil menahan kemudi dengan cepat.
"Sial.. bocor!" Matanya memeriksa sekeliling lalu melirik ban motornya yang sudah mengempis.
Amara jongkok perlahan, cahaya ponselnya menyorot ban depan.
"Paku?" Ia menarik nafas panjang, mencoba tenang dan berfikir.
Dari kejauhan terlihat sebuah mobil Bugatti La Voiture Noire mendekat, berhenti tepat di sebelah motornya. Dia membuka kaca mobilnya. Terlihat seorang pria dengan warna kulit olive hangat, alis tebal dan melengkung tajam, serta matanya yang berwarna hazel begitu memikat Amara.
“Banmu bocor?” ucapnya datar, sambil melirik ke arah roda Amara.
Amara menelan ludahnya, menatap sekilas ke arah pria itu lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
“Iya… sepertinya kena paku,” jawabnya pelan, berusaha terdengar tenang.
Pria itu mematikan mesin mobilnya. Dengan gerakan tenang, ia keluar dari Bugattinya. Sebuah kontras yang membuat Amara menjadi ragu.
“Ini disengaja." Suaranya datar, tapi jelas. Ia berdiri perlahan, menatap Amara lurus-lurus. “Kau tahu itu, kan?”
Amara mundur selangkah, jantungnya berdegup lebih cepat. Pria itu lalu melepas jaket kulitnya dan menjatuhkannya ke bahu Amara.
“Dingin sekali malam ini. Kau bisa membeku kalau tetap berdiri diam di situ.” Senyumnya samar, sulit ditebak.
Pria itu lalu jongkok begitu saja, seakan tak peduli pada ketegangan yang dirasakan Amara. Ia lalu menepuk-nepuk ban depan motor Amara, “Masih bisa dipakai kalau ditambal sementara."
Pria itu membuka bagasi mobilnya, gerakannya tenang. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah tas hitam panjang. Ini seperti bukan peralatan tambal ban yang biasa dilihat Amara.
Dia berjongkok kembali, mengeluarkan Tire repair kit Dari tas hitam panjang miliknya. Terlihat angannya cekatan, seperti terbiasa melakukan hal semacam itu.
Amara menahan napas, memperhatikan dengan tatapan waspada.
"Aku memperhatikan motormu sedari tadi, " pria itu berkata tanpa menoleh, "Kau ada urusan apa dengan preman-preman jalan itu?"
Amara tercengang, ia mulai merasakan firasat buruk.
“Kau… siapa sebenarnya?” suaranya hampir tak terdengar, tangannya mulai meraih pistol di balik jaketnya. Bersiap dengan segala kemungkinan.
“Orang yang seharusnya tak kau temui di jalan sunyi seperti ini,” jawabnya tenang. “Tapi takdirmu rupanya… keras kepala.”
Dia berdiri, tersenyum samar, tangannya mendekati Amara. Amara yang terkejut mendadak mundur dan mengeluarkan pistol dari jaketnya.
Pria itu terkekeh lirih.
"Tenanglah.. aku hanya ingin mengambil jaketku!" Ia menengadahkan tangannya, memberi kode agar Amara mengembalikan jaketnya yang masih tergantung di bahu Amara.
Amara segera memberikan jaket itu, tapi tak membalas jawaban apapun.
"Ooh ya, harusnya kau ucapkan terimakasih. Bukan menodongkan pistol."
Dia menunduk menatap aspal, lalu menatap mata Amara. Ditundukkannya kepalanya, mendekati telinga Amara yang masih mematung. Wangi kulit dan parfum maskulin samar tercium, bercampur dengan dinginnya udara malam. Ia menatap Amara begitu dekat, membuat gadis itu hampir kehabisan napas.
"Dan... sebaiknya kau cepat, mereka masih mengintai."
Mata Amara seketika memeriksa sekeliling. Menghidupkan kembali motornya lalu, meluncur dengan segera dari tempat itu.
"Tanpa basa-basi, tanpa terimakasih.. tanpa bertanya.. ", ucap pria itu setengah berbisik pada dirinya sendiri yang masih menatap bayangan motor Amara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amara membanting tubuhnya ke tempat tidur. Menatap lama langit-langit kamarnya. Hari yang terasa begitu panjang.
Wajah pria asing tadi masih membayang dibenaknya. Begitu mempesona sekaligus menyimpan kegelapan. Amara mencium bahunya, mencoba mencari aroma maskulin pria itu. Ia lalu menutup wajahnya dengan bantal, mencoba mengalihkan pikirannya.
Namun suara pria asing tadi kembali terngiang,“Ini disengaja. Kau tahu itu, kan?”
Dadanya kembali sesak, ia tarik bantal dari wajahnya. "Benarkah kejadian tadi karena kebetulan atau memang ada yang disengaja?", gumamnya pelan.
Tangannya meraih pistol dari jaket yang belum dia lepas. Menatapnya lama sambil melihat ruang peluru pada pistolnya. Lalu, menghempaskan ke selimut tebal di atas tempat tidurnya.
Perlahan, Amara memiringkan tubuhnya menghadap pistol tadi. Suara kasur yang berderit lembut seolah menyambut tubuh lelahnya. Bantal yang dingin dan lembut menempel di pipinya.
Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat atap dunia yang gelap gulita. Suara jangkrik dari kejauhan terasa kontras dengan degup jantungnya yang belum benar-benar reda.
Tangannya meraba selimut tebal, menariknya hingga menutupi seluruh tubuhnya. Ia berguling ke sisi kanan, kemudian ke sisi kiri, mencoba menghilangkan kegelisahan. Wajah pria itu masih muncul samar-samar. Mata hazelnya yang tajam, bibirnya yang menyimpulkan senyum tipis, suaranya yang berat dan tenang, juga aroma maskulin yang berbaur dengan keringat, terasa begitu misterius sekaligus memikat.
Kelopak mata Amara mulai terasa berat, digelayuti oleh seluruh kejadian panjang hari itu. Perlahan, pandangannya mengabur, napasnya mulai teratur. Bibirnya terbuka sedikit, membiarkan desah pelan keluar di antara hembusan napas panjangnya.
Pistol yang tadi ia hempaskan kini setia berbaring di sisi kanan tubuhnya, tenggelam di bawah lipatan selimut. Menjadi penjaga bisu di tengah lelapnya. Matanya terpejam sepenuhnya, tubuhnya tenang dalam pelukan malam.
"Tak.. Tak.. Tak.. " pintu digedor, Amara membuka matanya perlahan lalu, menyipitkannya kembali. Sinar matahari yang masuk melalui celah jendela begitu menyilaukan.
"Amara.. ayo sarapan!" suara perempuan yang begitu lembut terdengar dari balik pintu.
"Yah ma," ia menggosok pelan matanya, membiasakan penglihatan dengan terangnya matahari pagi.
Amara menuju kamar mandi, mencuci wajahnya sambil menatap cermin yang melekat di dinding keramik. Ia menatap dirinya lama lalu, menarik nafas panjang.
Amara menggulung rambut panjangnya ke atas, lalu menahannya dengan karet biru tua. Ia berjalan membuka pintu kamarnya, menuju ruang makan untuk sarapan.
Diruang makan, sudah ramai dengan suara ramah ayah, ibu dan adik laki-lakinya.
"Kakak..., " Anak laki-laki dengan kulit putih bersih berwajah kemerahan berlari mendekap kaki Amara.
"Arga, sini makan.. kakak juga mau makan!" Wanita paruh baya dengan sanggul rendah yang rapi di tengkuk tersenyum sambil mengangkat Arga, mengembalikannya duduk di kursi.
"Semalam lembur nak?", suaranya tenang dan hangat.
Amara mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, tubuhnya sedikit melengkung ke belakang.
"Iya pah, lagi banyak kerjaan. Beberapa bulan kedepan juga sepertinya begitu.. " sambil menarik kursi, bersiap ikut sarapan.
"Nanti papa sama mama nggak usah khawatir ya kalau aku nggak bisa pulang. Bisa jadi aku tidur di kantor. " Amara menarik mangkuknya dan mulai mengambil sup ikan buatan ibunya.
"Nggak bahaya kamu tidur di kantor? kamu itu perempuan Amara!", sambil membantu anaknya yang berumur 5 tahun memisahkan daging dari tulang ikan.
"Sebenarnya... " Amara berhenti, memikirkan ulang yang akan ia ucapkan. "Yah lebih aman di kantor mah, kan pulang malam-malam malah bahaya." Ia lanjut menyuapi kuah sup yang masih hangat, tidak membahas lebih lanjut tentang isi pikirannya.
Ayahnya hanya mengangguk, tapi sorot matanya menyimpan kerisauan.
“Papa cuma takut kamu kecapekan, Ra. Badanmu nggak terbuat dari baja, lho.”
Amara tersenyum tipis, menunduk pada mangkuknya.
“Aku akan hati-hati, Pa. Jangan khawatir.”
Belum sempat waktu makan keluarga itu selesai, tiba-tiba ponsel Amara bergetar keras di atas meja. Nama yang muncul di layar membuatnya langsung menegakkan tubuh,
“Unit Opsir Khusus”.
Amara buru-buru mengangkat ponsel itu, suaranya dibuat setenang mungkin.
“Ya, Amara di sini.”
Di seberang, suara berat dan dingin terdengar.
“Amara, segera menuju Jalan Dermaga Lama. Ada korban dengan dugaan awal OD. Pelakunya bisa jadi orang yang sama dengan operasi hitam.”
Amara menggenggam ponselnya erat. Matanya sempat menoleh ke arah ayah dan ibunya yang menatap dengan penasaran.
Senyumnya ia paksa, “Aku harus berangkat sekarang Pa, Ma. Ada panggilan tugas.”
Ibunya tak sempat berkata, Amara sudah beranjak, meraih jaket dan helmnya. Suasana sarapan keluarga seketika hening. Mata mereka saling menatap, tapi tak ada yang bisa menahan. Langkah Amara bergerak terburu-buru menuju pintu, menghidupkan motornya dan menghilang di jalan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!