Nabila seketika membalik tubuhnya dan kembali melangkah ke arah tangga. Hatinya sangat senang. Ternyata kerja di sana didukung banyak orang-orang baik. Walau pun ia sedih dengan kepergian bayinya, tapi keberadaan Enzo cukup membantunya mengurangi rasa kehilangan. Ia bahkan tak sabar untuk menyussui bayi itu kembali.
"Hextor ...." Herlina memandangi Nabila yang sedang menaiki tangga. "Bagaimana kalau tiba-tiba suaminya meminta istrinya kembali?"
"Apa!?" Hextor memukkul meja dengan kepalan tangan. "Mungkin dia harus merasakan timah panasku, beraninya main-main denganku!"
Herlina tersenyum tipis. Ia begitu senang dengan respon anaknya.
Hugo, ayah Hextor yang berdagu runcing, menegakkan punggungnya. "Ibu ... sudah. Jangan memprovokasi Hextor lagi. Saat ini ia sedang labil, jadi jangan sampai ia membunuh orang tanpa sebab yang jelas. Hextor hanya penjual senjata, bukan pemakai. Bukankah ibu tidak ingin ada banyak darah tumpah lagi, sejak bisnis ini dipegang Hextor? Cukup Sergio saja yang melakukan itu, tidak dengan Hextor!"
Herlina melirik suaminya. "Aku hanya memastikan saja, cucuku tidak ganti-ganti ibu sussu. Kasihan Enzo. Sudah tidak punya ibu, ayahnya pun sibuk. Lalu, sehari-hari itu dia sama siapa? Dia harus bersama orang yang tepat. Aku percaya pada Nabila dan berharap dia tidak cepat berhenti dari pekerjaannya karena aku tak mudah percaya dengan orang lain." Ia beralasan. "Alasanku bisa dimengerti 'kan?"
Baik Hextor mau pun Hugo, tak satu pun yang membantah. Hugo hanya menghela napas pelan.
"Sudahlah! Sudah waktunya solat Azhar. Ayo, kita solat dulu," ajak Herlina diikuti yang lain.
***
Terdengar ketukan dari luar. Mei membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi makan. Nabila berdiri dan takjub melihat makanan yang dibawa untuknya. Sepiring nasi putih, ikan kukus dengan bumbu rempah dan semangkuk sup bayam jagung. Ditambah potongan aneka buah dan segelas air putih. Ia belum pernah makan makanan selengkap ini. Bahkan tampak lezat. Matanya bercahaya saat nampan itu diletakkan di meja nakas. "Terima kasih ya, Bu. Makanannya kelihatannya enak."
"Pasti, dan kami pastikan ini cukup gizinya untuk kamu yang menyussui. Tidak perlu berterima kasih, karena ini sudah menjadi pekerjaanku. Aku harus memastikan kamu tidak mudah sakit."
"Tapi tetap saja, aku harus berterima kasih pada Ibu, karena telah membuatkan makanan enak ini," kata Nabila dengan senyum lebar.
"Ini masakan Chef Okto, bukan aku. Aku hanya membantu mengirimkan."
Nabila menyatukan tangannya sambil tersenyum manis memiringkan kepala. "Iya, tapi kalau tak ada Ibu, mungkin Chef Okto akan salah paham terus padaku. Terima kasih ya, Bu."
Mei sedikit salah tingkah karena Nabila berterima kasih padanya. Selama bekerja di situ, tidak ada satu orang pun yang bilang terima kasih padanya. "Polos sekali orang ini ya." "Eh, ya udah. Cepat dimakan, mumpung masih hangat."
"Iya, iya. Oh ya, Bu. Bisa pinjam mukenanya untuk solat magrib nanti? Saya tidak bawa mukena."
"Oh, bisa-bisa. Nanti Saya bawa ke atas."
"Makasih, Bu."
Mei pun pergi. Nabila memandangi makanan yang ada di meja nakas. Namun, tempat itu tidak ada meja makan karena itu ia membawa makan itu ke lantai dan duduk di sana. Ia tak mau tempat itu jadi kotor bekas ia makan.
Nabila menikmati setiap gigitan. Begitu nikmat dan bahagianya makan enak. Ia sering membayangkan ini saat lewat dekat meja makan majikannya dulu yang sering menitipkan cucian padanya. Ternyata Allah maha baik. Impiannya tercapai. Betapa bahagianya ia saat ini. Bahagia yang mungkin untuk orang lain tidak ada apa-apanya, tapi begitulah. Bahagia Nabila memang begitu sederhana.
Terdengar tangisan Enzo. Nabila yang hampir selesai makannya, buru-buru meneguk air di gelas dan berdiri. Dihampirinya boks bayi Enzo dan tampak bayi itu telah bangun. Enzo tampak terkejut, tapi kemudian tangan dan kakinya tak bisa diam melihat Nabila datang. Ia begitu senang dan ingin digendong.
"Enzoo ... sudah bangun ya? Mau mimik cucu?" Sapa Nabila dengan lembut. Karena membungkuk, kerudung Nabila bergantung dan menyentuh tubuh bocah itu.
Enzo berhasil mengambilnya dan dengan tangan kecilnya menarik-narik kerudung itu. Ia tampak takjub melihat Nabila yang berkerudung karena ibunya tidak pakai kerudung.
Nabila meraih tubuh si kecil. Digendongnya Enzo dan menepi ke tepi ranjang. Saat membuka kancing baju teratas, mulut Enzo langsung mengerucut. Sumber sussu itu kemudian datang dan bayi itu mulai tenang.
Enzo kini memperhatikan wajah Nabila. Diangkatnya satu tangan dan wanita itu mengulurkan jari telunjuknya. Jari-jari kecil itu meraih telunjuk Nabila dan menggenggamnya dengan erat.
Melihat respon Enzo, Nabila tersenyum. Siapa yang tidak? Enzo begitu tampan. Malah ia mewarisi mata elang Hextor walaupun dengan warna bola mata yang berbeda. Nabila mengusap pelan rambut Enzo yang lembut. Rambutnya bahkan lebih lembut dari rambut Haris.
Haris. Kenapa ia kembali teringat bayi itu? Ya, tentu saja. Bayi itu darah dagingnya yang tidak bisa begitu saja ia lupakan. Kembali matanya berkaca-kaca.
Tanpa sadar, Enzo melihatnya. Bayi itu beralih meraih kerudung Nabila dan menariknya. Saat itu Nabila tersadar dan menatap wajah kecil bayi itu. Dengan cepat ia mengusap sudut matanya di mana air matanya hampir jatuh. "Maafkan mbak ya, Enzo. Mbak gak kenapa-kenapa kok!"
Enzo sepertinya mengerti karena bayi itu tiba-tiba berhenti menyussu dan menatap wajah Nabila.
Nabila coba tersenyum dalam getir perasaan hatinya. "Ngak papa kok, Enzo. Mbak gak papa. Ayo, mimik lagi."
Beberapa saat, Enzo terdiam dan kemudian kembali menyussu pelan-pelan. Tiba-tiba bayi itu seketika terdiam. Wajahnya memerah.
Nabila memperhatikan wajah Enzo yang seperti menahan sesuatu. "Enzo, kamu eek ya?"
***
Di luar, Hextor mengantar kedua orang tuanya sampai ke depan pintu utama. Ia menatap mobil itu hingga jauh dari pandangan.
Hugo melirik istrinya dari samping. "Kenapa kamu bicara seperti itu pada Hextor tadi? Bukankah Hextor anakmu yang paling lembut, kenapa kini membuatnya marah?"
"Kamu membicarakan tentang Nabila?" Wanita itu mengangkat kedua alisnya.
"Ya, tentang siapa lagi? Kamu mau Hextor bertengkar dengan suaminya?"
Herlina malah tersenyum. "Anakku Hextor tidak sebodoh itu, kamu tahu, 'kan? Aku hanya memastikan Hextor akan mempertahankan Nabila, walaupun suaminya tiba-tiba datang mengambilnya."
"Apa maksudmu?" Hugo mengerut dahi.
"Feeling-ku mengatakan, mereka berdua cocok."
"Apa kamu sudah gila?" Hugo menatap istrinya lekat-lekat.
"Jangan berpikir buruk dulu. Aku sedang tidak merencanakan apa-apa, jadi jangan berpikir yang tidak-tidak!"
"Heh. Walaupun aku mafia, tapi aku tidak pernah merencanakan sesuatu yang buruk pada orang lain tanpa sebab, karena itu, kamu juga jangan bikin yang aneh-aneh." Hugo menatap ke depan.
"Tidak. Kan aku sudah bilang, ini hanya harapan seorang ibu karena keduanya tampak cocok. Itu saja. Memangnya aku tidak boleh mengungkapkan perasaanku padamu." Herlina merengut dan menatap ke arah jendela.
Hugo menoleh dan tersenyum sambil mencubit dagu istrinya dengan lembut. "Kamu itu ...."
Herlina kembali tersenyum dan melirik suaminya.
***
Hextor yang lelah, melangkah gontai di tangga. Seharian tidak melihat Enzo, ia jadi rindu. Sebelum masuk kamar Enzo, ia mengetuk pintu. Dilihatnya Nabila tengah mengganti baju Enzo di meja rak bayi.
"Oh, Pak. Sebentar." Nabila menyadari kedatangan Hextor di kamar. Ia tengah mengancingi baju si kecil.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Nar Sih
semoga harapan mama nya hextor jdi kenyataan yaa ,nabila jdi mantu nya suatu saat nanti
2025-09-01
1