Hector menatap Nabila dengan dahi berkerut. "Kata siapa? Bayimu langsung dibawa suamimu pulang ke rumah, tadi."
"Lalu, kita ke sini untuk apa?"
Hextor menatap wanita itu dengan pandangan sebal. Saat ini, ia malas menjawab pertanyaan ini. Dengan cepat ia membalik tubuhnya dan membuka pintu. Terlihat beberapa brankar yang berisi tubuh-tubuh yang ditutupi kain putih. Melangkah ke dalam membuatnya gelisah.
Seorang pria yang melihat kedatangannya, datang menyambutnya. "Bapak cari siapa, Pak?"
"Istriku, Helena Ibarez."
"Oh, di sini." Pria itu membawa Hextor mendatangi sebuah brankar yang berada di salah satu sudut ruangan. Saat Hextor mendekat, petugas itu menyingkap kain putih penutup bagian atas brankar itu. "Ini, Pak."
Terlihat wajah seorang wanita cantik yang tampak pucat, terbaring dengan mata tertutup. Di dahinya ada luka yang mulai mengering.
Walau Hextor sudah sering melihat orang meninggal dengan cara tragis, tapi melihat orang terdekatnya harus melalui ini, pertahanannya pun runtuh. Rasanya lutut terasa lemas hingga ia harus berpegang erat pada pinggir brankar agar tak jatuh. Di wajah dinginnya dari sudut mata, jatuh juga bulir-bulir air mata yang coba ia redam dengan memejamkannya. Namun, cara itu sepertinya tak berguna. Nyaris suara tangisnya terdengar walau ia ingin menangis tanpa suara. Mulutnya ia bekap agar tak terdengar jelas.
Petugas itu bisa memaklumi. Sesaat ia ingat sesuatu lalu mengambilnya dari sebuah rak dan menyerahkannya pada Hextor. "Ini, Pak. Sepertinya ini milik ibu Helena."
Hextor mengambilnya. Sebuah tas. Tas yang sering dibawa istrinya.
Kenapa istrinya tiba-tiba pergi, padahal masih menyussui? Ini terasa aneh, padahal tidak ada kepentingannya Helena melakukan itu. Istrinya biasanya di rumah karena tahu sedang di masa menyussui. Ada apa dengannya?
Tas itu sedikit rusak. Ia coba membuka dan memeriksa. Saat ia menemukan ponsel sang istri, layarnya tampak retak dan tak bisa dinyalakan. Ia bergerak ke pintu. Pria itu bahkan lupa tengah menangis. "Arman!"
Pria yang ternyata asistennya, masuk. Pria inilah yang tadi mengamankan Aryo. "Iya, Tuan." Pria berpostur tinggi kurus itu mendekat.
Hextor memberikan ponsel Helena pada asistennya. "Coba cari orang yang bisa membetulkan ponsel ini. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada istriku."
"Baik, Tuan!" Arman mengambil ponsel itu.
"Apa ada perkembangan dari polisi tentang kecelakaan ini?" Hextor mengusap sisa-sisa air matanya.
"Belum, Tuan."
"Pantau terus. Aku butuh data CCTV di tempat kejadian."
"Siap, Tuan."
Dari tadi, wajah Hextor tak lepas dari pengamatan Nabila. Sedikit demi sedikit, Nabila bisa menduga-duga apa yang terjadi dengan menghubung-hubungkan kata-kata yang didengarnya. "Dia menangis. Jadi, istrinya kecelakaan ya ...."
"Bawa Nabila ke rumah. Suruh langsung kerja, setelah itu kamu kembali ke sini. Bantu aku mengurus penguburan istriku." Hextor bicara tanpa menoleh sedikit pun pada Nabila.
"Eh, baik, Tuan!" Tanpa bertanya, Arman menarik punggung Nabila, sedang Hextor kembali ke dalam.
Nabila terpaksa mengikuti Arman. Di mobil yang dikendarai seorang supir, ia duduk di belakang sendirian. Sambil mengingat lagi apa yang terjadi, ia menghela napas. Ia pikir, Hextor pria yang tak berperasaan tapi ternyata, pria itu punya alasan lain kenapa ia harus segera bekerja. Rupanya istri Hextor baru saja meninggal akibat kecelakaan. Pantas saja pria itu menyuruhnya cepat bekerja. Pria itu pasti kebingungan karena tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi istrinya untuk menyussui anaknya kecuali Nabila. Namun, Nabila sendiri harus memastikan bayi itu mau dengannya karena kalau tidak cocok, ia tak bisa menyussui bayi itu dan mau tak mau harus mengembalikan uang yang sudah diterima suaminya dan pikiran ini kembali membebaninya.
Nabila menatap ke luar jendela. Siang itu udara masih terik, tapi pikirannya kembali ke kejadian saat ia membawa bayinya ke rumah sakit. Ia tersenyum walau air matanya jatuh. Setidaknya ia sudah melakukan yang terbaik untuk si kecil walau kini ia tak bisa mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. "Maafkan ibu, Haris. Tapi ibu akan selalu mendoakanmu dari jauh. Suatu saat ibu akan berkunjung ke pusaramu. Tunggu ibu ya, Sayang." Dihapusnya air mata dengan kepalan tangan dan mulai bersandar.
"Ah ...." Nabila kembali menegakkan punggung. Matanya menyipit menahan nyeri. Ia lupa, punggungnya pasti sedikit memar bekas tendangan suaminya tadi. Bukan sekali dua kali ia menerima ini, tapi ia selalu berusaha bersabar menghadapi sang suami yang sering tiba-tiba kasar memaki atau memukulnya.
Mobil akhirnya sampai di depan sebuah rumah dengan pintu gerbang yang tinggi. Walau begitu, Nabila bisa melihat rumah besar itu dari sela-sela pagar yang tinggi. Ketika pintu gerbang dibuka, terlihatlah bentuk rumah mewah itu dengan jelas.
Mobil parkir di depan pintu utama. Nabila kemudian turun mengikuti asisten Hextor yang lalu masuk melewati pintu depan yang dibuka oleh seorang pembantu.
Arman menaiki tangga sambil sesekali menoleh ke belakang. "Ayo, kita langsung ke kamar baby Enzo!"
"Baby Enzo?" Nabila melebarkan matanya.
"Kadang dipanggil begitu. Namanya Muhammad Vincenzo Ibarez."
Setelah melewati beberapa kamar, Arman membuka sebuah pintu. Saat pintu terbuka, terdengarlah suara tangis bayi yang menyayat hati.
Seorang wanita muda berpakaian pelayan berwarna hitam putih-seperti pembantu yang tadi membuka pintu, sedang menggendong seorang bayi berambut pirang yang tampak rewel dan tak berhenti menangis. Ia sedang membujuknya dengan sussu botol di tangan, tapi bayi itu menolak. Wajah sang bayi sudah memerah saking kencangnya menangis.
"Oh, Pak Arman." Wanita itu terkejut.
"Lani. Serahkan saja bayi itu pada Nabila. Mulai sekarang, dia yang akan mengurus baby Enzo," ucap Arman memberi tahu.
Lani terkejut. Diperhatikannya pakaian Nabila yang warnanya sedikit pudar. Seketika ia nampak kesal.
"Kenapa harus perempuan miskin ini ...."
"Dia pilihan Tuan Hextor!"
Mulut Lani seketika terkunci. Dengan berat hati ia menyerahkan bayi itu pada Nabila.
Nabila melihat bayi itu kebingungan saat menangis. Tentu saja. Karena bayi itu baru pertama kali melihat wajah Nabila. Dengan sendirinya, tangis bayi itu berhenti dan bayi itu memperhatikan wajah wanita berkerudung krem itu. Nabila menatapnya dengan lembut.
"Ayo, kamu keluar," lanjut Arman lagi.
"Tapi bagaimana kalau ...."
"Sudah ... dia akan menyussui baby Enzo, jadi sebaiknya kamu keluar saja!" Arman menarik lengan Lani hingga mau tak mau wanita itu terpaksa keluar.
Pintu kemudian ditutup. Nabila tersenyum mengagumi wajah bule Enzo. Dengan mata berwarna hazel, rambut yang pirang dan kulit putihnya, bayi itu tampak seperti boneka. Disentuhnya hidung kecil Enzo yang terlihat menggemaskan. "Namamu Enzo ya?" ucap Nabila dengan lembut.
Bayi itu malah tanpa sengaja menyentuh dadda Nabila yang padat. Enzo terkejut dan matanya terus menatap bentuk padat yang menggiurkan itu.
"Kamu haus?" tanya Nabila lagi.
Seketika bayi itu mulai merengek pada Nabila. Nabila tersenyum lebar. Ia mulai membuka kancing bajunya dan menggeser keluar sumber ASI yang dinantikan Enzo. Enzo seketika tak bisa diam. Ia baru diam saat sumber itu telah masuk ke dalam mulutnya. Ia meminumnya dengan rakus.
Nabila tak bisa berhenti tersenyum. Ini mengingatkannya bagaimana bayi Haris dulu juga minum. Persis seperti ini, rakus. Hampir saja air matanya jatuh mengingat ini. Namun, kemudian ia sadar, segala sesuatunya sudah ditakdirkan. Haris hanya bisa bertahan di umurnya yang baru beberapa bulan. Enzo sepertinya masih lebih muda dari Haris. Haris meninggal di umur empat bulan. Mungkin Enzo baru berusia dua bulan karena tubuhnya sangat kecil.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Nar Sih
lanjutt kak bagus cerita nya💪
2025-08-29
2
kalea rizuky
istri nya kayaknya selingkuh mungkin
2025-09-04
1