Bab 4

Rania hampir berlari ketika sampai di rumah kecilnya. Nafasnya tersengal, tangannya bergetar saat membuka pintu. Begitu pintu tertutup rapat, ia langsung menyandarkan punggung pada kayu kusam itu, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Tubuhnya lemas, seperti baru saja terhindar dari bencana besar.

“Ya Tuhan…” bisiknya, suaranya parau. “Kenapa harus hari ini… kenapa aku harus bertemu dia lagi…”

Rania berjalan ke meja kecil di ruang tamu, menjatuhkan tas berisi hasil kerjanya. Matanya terarah pada foto Alan dan Chesna yang tersenyum di bingkai sederhana. Air mata langsung menggenang.

Sejak awal, ia tahu kehidupannya tidak pernah benar-benar aman. Tapi selama ini ia berusaha menipu diri sendiri, seolah-olah dunia telah melupakannya. Seolah-olah masa lalu yang kelam itu benar-benar terkubur.

Namun hari ini, tatapan tajam Miko membuktikan sebaliknya. Masa lalunya masih hidup. Dan lebih menakutkan lagi. Miko mengenalinya.

Rania memeluk erat bingkai foto itu, suaranya bergetar.

“Alan, Chesna… Mama tidak boleh membiarkan kalian terseret dalam masalah ini. Kalian tidak tahu apa-apa… Kalian tidak bersalah…”

Ia terisak, menutup mulutnya rapat-rapat agar tangisnya tidak terdengar oleh tetangga. Setelah lama terdiam, Rania bangkit. Ia mengambil koper tua dari bawah ranjang, mengibaskan debu tipis di permukaannya. Tangannya gemetar saat membuka koper itu.

Mata Rania berkilat penuh tekad. “Mungkin sudah waktunya pindah lagi,” gumamnya. “Sebelum dia benar-benar menemukan kita…”

Namun, saat hendak melipat pakaian kecil milik Chesna, Rania mendadak terhenti. Ia menatap baju itu lama-lama. Sesuatu di dalam dirinya berbisik bahwa pelarian bukanlah solusi. Alan baru saja mendapat kepercayaan mengikuti lomba, Chesna sedang nyaman di sekolahnya… jika ia kabur lagi, semua usaha mereka akan sia-sia. Air mata jatuh satu demi satu.

“Lalu, apa yang harus kulakukan…? Aku tidak bisa terus lari… tapi aku juga tidak siap jika masa lalu menjemputku…”

Di tengah keputusasaan itu, Rania hanya bisa berdoa, memohon agar anak-anaknya tetap terlindungi.

__

Di luar jendela, malam semakin pekat. Dan jauh di sisi lain kota, Miko masih menyimpan keyakinan bahwa ia tak salah mengenali Rania.

___

Malam itu, 11 tahun lalu…

Malam itu, pesta pernikahan Vania dan Gamalio berlangsung megah. Lampu-lampu kristal berkilau, musik lembut mengalun, dan senyum bahagia terpancar di wajah semua orang. Semua orang, kecuali Miko.

Ia berdiri di sudut, meneguk minuman dengan tatapan kosong. Hatinya koyak melihat Vania, gadis yang sejak lama ia cintai, kini resmi menjadi milik pria lain.

Namun, di tengah keramaian, pandangannya menangkap sosok lain. Rania.

Rambut hitamnya terurai, wajahnya setengah tertutup bayangan. Mata itu menatap penuh iri, penuh sakit, penuh dendam.

Miko menghampirinya, menarik lengan Rania kasar ke luar aula. “Apa yang kau lakukan di sini?” desisnya tajam.

Rania hanya tersenyum miring. “Aku hanya ingin melihat… bagaimana rasanya kehilangan.”

Kemarahan meledak dalam dada Miko. Ia tak bisa menahan amarah yang menumpuk amarah karena kehilangan Vania, amarah karena Rania hampir saja membunuh gadis itu. Dalam kabut emosi, ia menyeret Rania ke sebuah ruangan sepi di hotel itu.

Di dalam ruangan, amarahnya berubah menjadi pelampiasan. Ia mendekap Rania dengan kasar, bukan dengan cinta, melainkan kebencian yang membakar. Bibirnya menekan, tangannya menggenggam erat, seolah ingin menghancurkan.

Rania sempat meronta, tapi di balik tatapannya yang penuh luka, ia menyerah. Tidak ada perlawanan berarti, hanya air mata yang jatuh diam-diam.

Miko menutup mata rapat-rapat. Dalam benaknya, ia membayangkan wajah Vania, bukan Rania. Setiap sentuhan, setiap desahan, semua ia arahkan pada bayangan gadis yang ia cintai. Dan di situlah letak kehancuran paling dalam tubuh yang dipeluknya bukanlah milik Vania, melainkan Rania, wanita yang sangat layak dikutuk.

Rania menggigit bibir, menahan perih dan penghinaan. Ia tahu, malam itu bukan cinta melainkan hukuman. Dan meski tubuhnya menerima, hatinya hancur, sementara hatinya yang kosong mulai merenda sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti.

Di luar, pesta pernikahan masih berlangsung. Vania menari dalam pelukan Gama, tak pernah tahu bahwa di balik pintu lain, ada tragedi yang akan meninggalkan luka panjang.

Pagi yang kelabu…

Rania terbangun dengan tubuh lemah. Matahari sudah naik, sinarnya menembus tirai tipis kamar. Ia menoleh ke sisi ranjang… kosong.

Miko tidak ada.

Hanya jejak samar keberadaannya semalam, dingin dan penuh luka.

Rania berusaha bangkit, namun tubuhnya masih gemetar. Ia baru hendak mencari pakaian ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan kasar. Tiga pria berpakaian rapi masuk, wajah mereka kaku tanpa ekspresi.

Rania terkejut, tubuhnya mundur sampai menempel pada dinding. “Siapa kalian…?” suaranya parau. selimut tebal ia pegang erat untuk menutup tubuhnya.

Salah satu pria maju selangkah, menyerahkan sebuah amplop tipis. “Kami datang membawa pesan dari Tuan Miko.”

Jantung Rania berdegup keras. Tangan gemetar saat ia membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas dengan tulisan singkat namun tajam seperti pisau.

“Pergi dari kota ini. Jangan pernah kembali. Jika kau berani muncul lagi, aku pastikan kau tidak akan selamat.”

Rania masih berlutut, menggenggam kertas ancaman dari Miko. Air matanya belum kering ketika salah satu pria kembali melangkah maju. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi pil.

“Ini.” Suaranya datar. “Tuan Miko menyuruhmu menelan obat ini sekarang juga. Pencegah kehamilan.”

Rania membeku. Mata membelalak, napasnya tercekat. “A… apa maksudnya?”

Pria itu menatapnya dingin, tanpa ragu. “Tuan Miko tidak menginginkan jejak apa pun darinya tersisa padamu. Minum sekarang, di depan mata kami.”

Rania menunduk, tangannya gemetar saat menerima pil itu. Ia menggenggamnya lama, berharap ini semua hanya mimpi buruk. Namun ketika salah satu pria mendekat dengan tatapan mengancam, ia tahu tak ada pilihan.

Dengan suara tercekat, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Miko… bahkan nafasku pun ingin kau hapus.”

Ia menelan pil itu perlahan, air mata terus menetes. Salah satu pria memeriksa, memastikan pil itu masuk. Baru setelahnya mereka mundur, seolah tugas mereka sudah selesai.

“Mulai hari ini, kau bukan siapa-siapa,” kata pria yang paling tua sebelum keluar. “Anggap dirimu mati.”

Pintu tertutup. Hening.

Rania jatuh terduduk, tangannya memegangi perutnya. Ia menangis terisak, tubuhnya terguncang hebat. Bukan hanya karena rasa hina, tapi karena ia sadar, Miko benar-benar menghapus kemungkinan apa pun tentang masa lalu mereka.

Dalam diam, ia bersumpah… meski hidupnya sudah hancur, ia akan tetap berjalan. Entah ke mana, entah bagaimana. Yang jelas, kota ini bukan lagi rumah baginya.

Dan dari tragedi malam itu, dua anak lahir ke dunia. Anak-anak yang sama sekali tak berdosa, namun membawa garis wajah Miko dalam tubuh kecil mereka.

___

Hari Lomba

Sorak-sorai memenuhi aula besar. Spanduk warna-warni menghiasi panggung, peserta dari berbagai sekolah bersiap menunjukkan kemampuan terbaiknya. Alan duduk di barisan depan bersama teman-temannya. Matanya berbinar, wajahnya penuh ketenangan meski jantungnya berdegup kencang.

Di sisi lain, rombongan sponsor mulai berdatangan. Salah satunya, Miko. Sosok berjas hitam dengan tatapan dingin dan langkah mantap. Seperti biasa, kehadirannya membuat suasana berubah kaku, orang-orang menunduk hormat.

Miko melangkah ke kursi VIP, duduk dengan sikap berwibawa. Namun sesaat pandangannya menyapu ruangan, matanya berhenti pada sosok anak lelaki itu.

Alan.

Wajah polos itu. Sorot mata itu. Senyum kecilnya. Mata itu…

Sekilas bayangan sore di taman melintas dalam pikirannya, pertemuan singkat dengan bocah yang membuatnya merasa aneh, seolah pernah mengenalnya. Dan kini bocah itu berdiri lagi, di hadapannya, dengan aura yang semakin kuat.

Ketika nama Alan dipanggil, bocah itu melangkah naik ke panggung dengan percaya diri. Ia berbicara lancar, menjawab pertanyaan juri dengan cerdas, bahkan mampu membuat audiens terdiam kagum. Alan seperti tidak gentar sedikit pun, padahal lawannya adalah peserta-peserta terbaik dari sekolah lain.

Miko terperangah. Dadanya berdegup tak wajar. Tatapan matanya tak lepas dari anak itu, hingga tanpa sadar jemarinya meremas lengan kursi. Sungguh… ada sesuatu yang aneh. Kenapa anak ini… seperti bagian dari hidupku...

Usai presentasi, Alan turun dari panggung. Panitia membawanya mendekat ke para sponsor untuk sesi penghormatan singkat.

Ketika sampai di hadapan Miko, Alan terdiam sesaat. Ada kerling samar di matanya, seolah ia pun mengenali wajah pria dingin ini.

Alan menunduk sopan. “Senang bertemu lagi, Pak.”

Miko mengerjap, sorot matanya langsung membeku. Dia ingat…? Jadi bukan hanya aku yang merasa pertemuan di taman itu nyata.

Suasana hening sejenak. Panitia menatap penuh tanya.

Miko akhirnya menjabat tangan Alan, kali ini genggamannya terasa lebih berat. “Kau… Alan, bukan?” suaranya rendah, dingin, namun samar bergetar.

Alan mengangguk, menatap dengan polos. “Ya, Pak  Alan.”

Dan sekali lagi, sesuatu menusuk dada Miko. Tatapan mata itu, tajam namun jujur, polos namun menyayat. Terlalu familiar.

Miko menarik napas dalam, buru-buru melepaskan genggaman. “Hm.” Itu saja.

Alan tersenyum kecil lalu beranjak pergi, tanpa menyadari badai besar yang kini berputar dalam hati pria itu.

Miko terdiam lama, bahkan tidak mendengarkan jalannya lomba berikutnya. Pikirannya hanya berputar pada satu hal. Anak itu mengagumkan.

___

Gedung lomba ramai oleh sorak-sorai. Alan tengah tampil di panggung, memukau juri dengan kepintarannya. Sementara itu, Chesna adik kembarnya berkeliling di area luar aula. Chesna bersemangat menunggu kakaknya keluar dari sana.

Chesna membawa botol minum dan bekal kecil di tangannya. Tapi langkahnya terhenti ketika melihat seorang anak perempuan berusia sekitar 7 tahun duduk di tangga, tubuhnya sedikit gemetar, wajahnya pucat pasi.

Chesna mendekat pelan. “Hei… Lila, kamu kenapa? Mukamu pucat banget.” Chesna tidak menyangka akan bertemu Lila lagi.

Anak itu menoleh dengan mata berkaca. “Aku… aku pusing….” suaranya lirih, napasnya berat.

Chesna segera jongkok di hadapannya. “Ya ampun! Kamu panas sekali!” Tangannya refleks

“Jangan takut, Lila. Aku di sini. Minum dulu, ya.” Chesna membuka botol minumnya, menyodorkan ke bibir Lila. “Pelan-pelan aja.”

Lila meneguk sedikit, lalu terbatuk kecil. Chesna segera menepuk punggungnya pelan. “Hei, santai aja. Kamu kuat kok.”

Seketika Lila memandang Chesna, tatapannya sendu. “Papa… pasti sedih kalau lihat aku sakit begini…”

Kata-kata itu menusuk hati Chesna. Ia menggenggam tangan Lila erat. “Nggak, kok. Nggak apa-apa. Orang tua pasti sedih kalau anaknya sakit.”

Lila terdiam, matanya berair. Ia bersandar lemah di bahu Chesna. “Kamu baik sekali…"

____

Bersambung dulu yaaa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!