Suatu sore, setelah beberapa hari bersembunyi bersama ibunya, si kembar Alan dan Chesna bermain di taman kecil yang lumayan jauh dari rumah sewa mereka. Rania sengaja membiarkan mereka menghirup udara bebas, meski hatinya masih diliputi cemas. Anak-anak itu tampak ceria, saling mengejar, tertawa, seolah luka-luka masa lalu yang mereka saksikan di rumah tidak pernah ada. Kedua anak itu, seakan kembali ke masa 4 tahun lalu ketika masih berumur 6 tahun, sebelum Rania membawa mereka ke dalam pernikahannya yang sangat menakutkan.
Namun langkah Alan terhenti. Ia melihat seorang anak perempuan duduk sendirian di bangku kayu, menunduk, wajahnya pucat. Usianya mungkin tiga tahun lebih muda darinya. Tangannya memeluk boneka lusuh, matanya sayu seakan kehilangan semangat.
Alan mendekat dengan hati-hati. “Hei, kenapa kamu sendirian?” tanyanya polos.
Anak itu hanya menoleh sekilas, lalu menunduk lagi. Nafasnya pendek, seperti lelah.
Chesna ikut mendekat, tersenyum ramah. “Namaku Chesna, ini Alan. Kamu siapa?”
“...Lila,” jawab anak perempuan itu lirih.
Mereka bertiga terdiam sejenak. Keceriaan si kembar bertabrakan dengan kesunyian Lila yang murung. Tapi dengan kepolosannya, Alan merogoh kantong kecilnya, mengeluarkan permen yang tadi diberi ibunya. “Mau? Biar kamu nggak sedih lagi.”
Mata Lila sedikit berbinar, meski ia masih terlihat lemah. Ia menerima permen itu pelan, lalu berbisik, “Terima kasih…”
Chesna menepuk bahunya. “Jangan sedih. Kalau ada yang jahat sama kamu, bilang aja ke kami. Kami kuat, kan, Alan?”
“Betul!” sahut kembarannya dengan bangga.
Seorang pria berjas hitam, bertubuh tegap, berjalan cepat ke arah mereka. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam. Begitu sampai, ia segera menunduk, memeriksa kondisi gadis kecil itu dengan cermat.
“Kenapa kamu pergi sendiri? Bukankah sudah papa bilang kamu harus istirahat?” suaranya rendah, datar, tapi mengandung ketegasan yang membuat Lila menunduk patuh.
Alan dan Chesna terdiam. Mereka menatap pria itu lekat-lekat. Ada sesuatu pada caranya bicara, pada tatapan matanya dingin, tegas, penuh kendali yang membuat mereka terkesima. Mereka tidak tahu siapa dia, tapi kehadirannya membuat udara seolah berat.
Pria itu kemudian berdiri, mendapati dua bocah kembar yang berdiri di dekat putrinya. Ia menatap mereka dengan sorot mata penuh perhitungan, seolah sedang membaca sesuatu yang tersembunyi.
“Siapa kalian?” tanyanya datar.
Chesna, dengan kepolosannya, menjawab tanpa ragu, “Kami cuma mau nemenin Lila, Pak. Dia kelihatan sedih. Kami nggak jahat, kok.”
Miko, itulah nama pria itu, mengamati wajah kedua anak itu lebih lama. Garis-garis halus di mata mereka, bentuk rahang, hingga cara mereka berdiri… semuanya membuatnya terdiam sesaat. Ada sesuatu yang aneh, sebuah gema samar yang muncul dari masa lalu.
Namun ia tidak menunjukkan apa-apa selain wajah dingin. Ia hanya mengangguk singkat.
“Baiklah. Terima kasih kalian sudah menemaninya.”
Dengan lembut, ia menggandeng tangan Lila, membawanya pergi. Tapi sebelum benar-benar berbalik, tatapan Miko sempat kembali jatuh pada si kembar. Dalam sorot mata tajamnya, ada kilasan yang sulit dimengerti, campuran rasa ingin tahu, curiga, sekaligus sesuatu yang tak ingin ia akui. Ingat, sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Sementara Chesna dan Alan berdiri membisu, belum paham apa arti pertemuan singkat itu, hati kecil mereka berdesir aneh. Seolah ada benang halus yang tak terlihat, menghubungkan mereka dengan pria berwibawa itu. “Kira-kira, bagaimana rasanya punya ayah sebaik itu?” Alan menoleh malas kearah Chesna yang sedang bergumam. Pandangan adik kembarnya itu lurus mengantarkan kepergian Lila dan ayanya.
“Jangan terlalu cepat menilai orang.” Alan menanggapi Chesna yang menurutnya terlalu cepat menilai ayah Lila.
___
Rania hampir kehilangan kendali ketika mendapati Alan dan Chesna tak lagi kunjung terpantau oleh matanya. Nafasnya memburu, bayangan buruk langsung menghantam pikirannya suaminya bisa saja menemukan mereka.
Begitu ia melihat kedua anaknya kembali, ia segera menghampiri dengan wajah cemas. Namun sebelum sempat memarahi, Alan lebih dulu berkata, suaranya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu.
“Mama, kami ketemu seorang adik perempuan. Namanya Lila. Dia kelihatan sakit. Lalu… datang seorang pria. Sepertinya ayahnya.”
Chesna menambahkan, nada bicaranya hati-hati, seolah tahu kata-katanya bisa membuat ibunya khawatir.
“Mama… pria itu beda dari yang biasa kami lihat. Dia tidak berteriak. Tidak kasar. Tapi tatapannya… tajam. Rasanya seperti… dingin.”
Apa yang keluar dari mulut anaknya seolah mampu membuat jantung Rania seolah berhenti berdetak. Kata-kata itu cukup untuk membuat tubuhnya gemetar. Hanya ada satu pria yang bisa ia ingat untuk menggambarkan sosok yang dimaksud mereka—Miko.
“Seperti apa rupanya?” tanya Rania, suaranya bergetar.
“Dia tinggi, pakai jas rapi. Cara bicara ke anaknya tegas, tapi… anehnya kami tidak takut,” jawab Alan dengan jujur. “Justru terasa… seperti pernah melihatnya, entah di mana.”
Rania tentu saja merasa gugup. Dia akan selalu waspada. Tubuhnya terasa bergetar, matanya panas. Miko. Lelaki itu, sosok yang dulu pernah tidak sengaja terlibat dengannya, pria yang bahkan mengancam untuk menghabisinya kalau sampai berani muncul lagi. Aura dingin dan tegas yang anak-anak gambarkan tak lain memang miliknya. Rania berusaha menyingkirkan praduganya.
Ia memeluk kedua putranya erat-erat, seolah bisa menyembunyikan mereka dari dunia. “Kalian… tidak menyebutkan nama mama, kan? Tidak bilang siapa kalian sebenarnya?” tanyanya cepat.
Chesna menggeleng. “Tidak, Ma. Kami hanya bilang sedang menemani Lila.”
Rania menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Syukurlah. Namun batinnya bergolak. Mereka sudah berusia sepuluh tahun, cukup dewasa untuk mulai bertanya. Dan jika wajah mereka saja sudah membuat Miko terhenti sesaat… cepat atau lambat, kebenaran bisa saja terungkap.
Sambil menatap kedua anaknya yang memandang penuh rasa ingin tahu, Rania hanya bisa berbisik dalam hati:
“Anak-anakku… kalian cerdas dan polos. Tapi ada hal yang belum bisa kalian ketahui sekarang. Tentang siapa sebenarnya ayah kalian. Aku… benar-benar takut kalau kalian tiba-tiba bertemu dengan orang itu. semoga saja Tuhan tidak mengizinkan pertemuan itu terjadi.” Rania meyakinkan dirinya sendiri. Ia sangat percaya, kebetulan manapun tidak akan memiliki ruang untuk mempertemukan si kembar dengan Miko, ayah mereka itu.
_
Malam itu, setelah membawa Lila kembali ke rumah, Miko duduk sendirian di ruang kerjanya. Di hadapannya, secangkir kopi hitam sudah dingin, tak tersentuh. Sorot matanya kosong menatap jendela, tapi pikirannya penuh riuh.
Bayangan dua anak yang ia temui di taman tadi terus berputar di kepalanya. Anak laki-laki dengan tatapan berani dan cerdas. Anak perempuan dengan garis wajah lembut namun tegas.
Semakin lama ia memikirkan, semakin jelas terasa—ada sesuatu pada diri mereka yang menyerupai dirinya. Sikap, sorot mata, bahkan cara bicara yang lugas.
___
Hari-hari Rania tidak pernah mudah, tapi ia menjalaninya dengan senyum, sebab dua pasang mata selalu menantinya di rumah: Rafa dan Rani, si kembar berusia 10 tahun.
Mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana, berdinding kayu, dengan halaman kecil tempat Rania menanam sayur. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, si kembar membantu ibunya menyiapkan dagangan kecil seperti kue basah, gorengan, dan minuman hangat yang akan dijual Rania di depan pasar.
“Ma, aku sudah bungkuskan donat lima belas biji,” ujar Chesna sambil merapikan plastik.
Alan menambahkan, “Dan aku bikin tulisan harga biar lebih gampang. Kata Bu guru, kalau tulisan rapi orang lebih suka beli.”
Rania menatap mereka dengan bangga. “Kalian anak-anak mama yang hebat. Kalau bukan karena kalian, mama sudah menyerah sejak lama.”
Mata Chesna berbinar, meski masih polos. “Aku kan anak pemberani, Ma. Aku harus jaga Mama dan rajin bantu Mama Jualan kue.”
Alan menimpali sambil nyengir, “Aku saja yang jaga Mama. Dan aku kan bisa ngomong manis ke pembeli biar pada balik lagi.”
Mereka tertawa bersama, dan tawa itu membuat rumah kecil mereka seakan penuh cahaya.
Di pasar, Rania menata dagangannya. Anak-anaknya ikut membantu, tidak pernah malu walaupun teman-teman sekolahnya lewat. Bahkan mereka justru punya cara unik untuk menarik pembeli: Alan suka memainkan gitar kecil butut yang baru-baru ini ia temukan di tong sampah, sementara Chesna bernyanyi dengan suara merdu. Lagu-lagu sederhana itu membuat orang yang lewat berhenti sejenak, tersenyum, lalu membeli kue Rania.
“Ma, lihat!” seru Chesna, sambil menunjuk seorang ibu muda yang barusan membeli gorengan. “Dia bilang mau balik lagi besok. Katanya gorengan kita enak!”
Rania tersenyum,. “Itu karena tangan kalian ikut membantu, Nak.”
Sepulang dari pasar atau setelah sekolah, si kembar kadang membantu Rania membuat kerajinan kecil dari kain perca seperti gantungan kunci, dompet mungil, hingga bando sederhana. Chesna dengan telaten merangkai hiasan, sementara Alan yang cerdas membantu memasarkan lewat teman-teman sekolahnya.
Suatu malam, ketika listrik mati, mereka duduk bertiga di bawah cahaya lilin. Alan memainkan gitar kecilnya, sementara Chesna bernyanyi lirih. Rania hanya duduk, memandang mereka dengan hati penuh haru.
“Ma,” kata Chesna tiba-tiba, “kalau suatu hari kita punya rumah lebih besar, aku mau ada toko kecil di depan rumah. Biar Mama tidak perlu capek ke pasar.”
Alan ikut menimpali, “Aku mau kerja yang pintar biar bisa beli banyak kain buat Mama jahit. Nanti kita kaya, Ma.”
Air mata Rania menetes tanpa bisa ditahan. Ia meraih kedua anaknya, memeluk erat.
“Kalian… adalah alasan Ibu masih kuat. Mama janji, apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama.”
Malam itu, dalam rumah sederhana dengan lilin kecil yang berkelip, Rania kembali sadar satu hal, kebahagiaan tidak selalu berarti harta berlimpah. Kadang, cukup dengan cinta, keberanian, dan kepolosan anak-anaknya dunia yang berat terasa lebih ringan.
___
Bersambung... gimana reader? ada masukan dan saran?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
septiana
mereka anak anak yg baik, harusnya Miko ga menjadikan ibunya sebagai alasan meninggal kan anaknya karena dulu ibunya pernah melakukan kejahatan.. setiap orang punya masa lalu, dengan mengakui kesalahannya,dia mau berubah jadi yg lebih baik.
2025-08-27
1
Daulat Pasaribu
sedihnya rania sama anak anaknya
2025-09-05
0