Chapter : 3

Ray membuka catatan di tangannya.

“Nama gadis itu Anara Syazakisha. Umur dua puluh tahun. Tinggal di pinggiran kota. Hidup sendiri. Orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan. Saat ini bekerja di sebuah toko garment di pusat kota.”

Ray menyerahkan lembaran data itu ke tangan Zean.

Zean menatap foto di sana.

Seorang gadis muda dengan wajah lembut, hidung mancung, pipi bulat, dan mata teduh. Ia tampak sederhana dan begitu polos.

Namun, meskipun wajah gadis itu manis, di mata Zean ia tetap hanya seorang gadis biasa.

“Cari dia. Undang ke restoran Jack. Pesan ruang VVIP.” katanya dingin, lalu berdiri.

“Aku akan menunggunya malam ini.”

Ray hanya mengangguk, meski hatinya sempat ragu. Ia tahu, ini bukan soal makan malam biasa.

Zean berjalan keluar tanpa menoleh.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Setelah berbelanja pakaian, Nara segera menuju sebuah hotel di pusat kota. Ia melakukan check-in untuk menginap semalam, berharap bisa menghindari pertanyaan dari Pak Rio dan istrinya. Tubuhnya terasa lelah dan pikirannya masih kacau. Ia sudah mengabari tempat kerjanya bahwa hari ini ia tidak bisa masuk karena alasan demam tinggi, akibat kehujanan semalam. Meski kenyataannya jauh lebih buruk dari sekadar flu biasa.

Di kamar hotel kecil itu, Nara hanya diam. Bukan karena lelah fisik, tapi pikirannya terkunci. Jiwanya seperti terperangkap dalam sangkar gelap yang tak memiliki pintu keluar.

Bayangan malam itu kembali berputar seperti film rusak. Genggaman tangan asing, tubuh berat yang menindihnya, suara hujan dan erangan mabuk yang memanggil nama wanita lain. Berkali-kali ia terbangun dengan napas tersengal, menjerit tanpa suara.

Ia memeluk tubuhnya sendiri.

Tapi pelukan itu dingin. Ia merasa asing, bahkan dari dirinya sendiri.

“Kenapa… kenapa aku gak bisa lupa…?” bisiknya. Tubuhnya berguncang. Nafasnya pendek dan tidak teratur.

Setiap suara dari koridor hotel membuat tubuhnya gemetar. Dunia di luar sana serasa ancaman. Orang-orang adalah bahaya.

Setiap kali ia menatap cermin kecil di dinding, ia melihat wajah yang tidak dikenalnya. Mata sembab, kulit pucat, dan sorot kosong. Ia memandang dirinya sendiri, lalu memalingkan wajah.

“Ini bukan aku…”

Tangannya turun menyentuh kulit di bawah bathrobe, tempat memar-memar halus tersembunyi.

Ia merasa jijik. Bahkan terhadap tubuhnya sendiri.

“Tubuh ini… bukan milikku lagi.”

Air matanya kembali mengalir, tanpa bisa ia hentikan.

Beberapa kali, Nara sempat berpikir untuk keluar hotel… hanya untuk berdiri di jembatan terdekat. Ia memandangi ponsel di meja, terbayang satu kalimat, “Apa gunanya hidup kalau dunia bahkan tak bisa kau percayai lagi?”

Tapi ia tak sanggup. Bahkan untuk menyerah pun, ia tidak kuat.

“Haruskah aku mati saja?

Lalu, ia duduk di lantai, membiarkan air mata mengering di pipinya.

“Aku korban.”

Lalu pikirannya membantah.

“Atau… aku yang salah?”

Pikiran gelap itu menyergapnya lagi.

“Seandainya aku gak mampir ke toko roti… Seandainya aku ikut Puput pulang… Seandainya aku melawan lebih keras…”

Tangannya mengepal.

“Seandainya…”

Ia membenci dirinya sendiri. Ia marah. Bukan hanya pada Zean. Tapi pada tubuhnya. Pada pikirannya. Pada semua yang ada di dunia.

Sampai ia membisikkan satu nama.

“Zean…”

Tubuhnya bergetar hebat. Matanya kosong.

“Kenapa aku harus bertemu orang sepertimu…”

Hening.

Lama Nara duduk di sana. Ia sendiri, ditemani suara detak jam dan rasa asing dalam tubuhnya.

Tapi ketika malam benar-benar jatuh, ia perlahan bangkit. Tubuhnya lemas. Tapi ada sesuatu yang berbeda.

Rasa marahnya… mulai berubah.

Ia tak ingin membenci dirinya lagi. Ia tahu, jika terus seperti ini, dia akan benar-benar mati. Bukan oleh tangan Zean. Tapi oleh pikirannya sendiri.

“Kalau aku tetap di sini… aku gak akan pernah bebas.”

Dengan sisa tenaga, ia melangkah menuju kamar mandi. Ia membuka shower. Air panas menyentuh tubuhnya. Sakit. Tapi ia membiarkan.

Ia menangis di bawah air itu. Bukan lagi tangisan putus asa. Tapi pembersihan.

Setelah membersihkan tubuhnya, ia berdiri di depan cermin. Rambutnya basah. Wajahnya sembab. Tapi ada sesuatu di matanya. Sesuatu yang dulu disebutnya harapan.

Dengan hembusan nafas berat, ia memaksakan diri untuk bangkit. Ia butuh makan, butuh obat. Ia ingin sembuh secepat mungkin, setidaknya agar bisa kembali bekerja esok hari dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Nara menurunkan kuncir rambutnya, membiarkannya tergerai menutupi bekas merah di lehernya. Ia tahu, ia tidak bisa menunjukkan itu pada siapa pun.

Dengan langkah gemetar, ia berjalan di trotoar. Setiap orang yang lewat membuat jantungnya berdetak kencang. Ia terus menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikutinya.

Paranoia.

Atau… kenyataan?

Saat ia hendak menyeberang jalan, tangan asing menutup mulutnya dari belakang. Ia tersentak. Tubuhnya ditarik kasar.

“Tolong… tolong!!” Tapi teriakan itu hanya terdengar di dalam pikirannya.

Ia mencoba melawan. Tapi tubuhnya tak sekuat itu. Ia diseret masuk ke dalam mobil hitam yang tiba-tiba berhenti di dekatnya.

Semua kembali gelap.

Pikiran Nara panik. Ia pikir malam itu terulang. Ia pikir ia akan dihancurkan untuk kedua kalinya.

“Tolong… kumohon… jangan…” bisiknya di dalam mobil. Tubuhnya gemetar hebat. Suaranya parau. Napasnya putus-putus.

Mobil terus melaju. Ia tak tahu ke mana

Dan pada akhirnya mobil itu berhenti di depan sebuah restoran mewah. Nara dibawa masuk dengan paksa ke ruangan VVIP. Ia masih meronta, pikirannya kembali pada kejadian semalam, dan ketakutan itu kembali menelan dirinya.

“Tidak! Kumohon, jangan lagi!” Tangisnya pecah, suaranya parau dan panik.

Pintu terbuka, dan seseorang keluar. Nara terdiam. Matanya membelalak ketika melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

Zean.

Tatapan mereka bertemu. Wajah sembab Nara menatap penuh ketakutan, sementara Zean menunjukkan ekspresi datar, sulit ditebak antara rasa bersalah atau tidak peduli.

“Masuklah. Aku hanya ingin menjelaskan sesuatu. Aku tidak akan menyakitimu,” ucap Zean, suaranya tenang namun terdengar memaksa.

Tanpa menunggu jawaban, ia menarik tangan Nara masuk ke dalam. Di dalam ruangan, hanya mereka berdua.

Suasana hening. Nara hanya terduduk kaku, tubuhnya masih gemetar. Isaknya perlahan mulai mereda, tapi dadanya terasa sesak. Zean mempersilakannya makan, tapi Nara tak menanggapi. Ia hanya memalingkan wajah, menahan tangis.

Zean menghela napas panjang. “Maaf… maafkan aku atas apa yang terjadi padamu,” ucapnya perlahan.

Nara tidak menjawab. Ia bahkan tak menoleh. Zean kembali berbicara.

“Aku… malam itu aku sedang mabuk. Aku pikir kau adalah Lusi, mantan kekasihku yang pernah menghancurkan hidupku. Aku tidak sadar, sungguh.”

Nama itu,Lusi.membuat Nara akhirnya menoleh, walau dengan tatapan penuh luka. Ia menatap Zean, matanya menyala penuh kemarahan.

“Jadi… karena wanita lain, anda merusak hidupku? Setelah anda hancurkan hidup perempuan-perempuan lain, kini anda juga merusak kesucianku juga?” suaranya bergetar, tapi tegas.

Zean menegang, wajahnya berubah. “Apa maksudmu? Merusak banyak kesucian wanita? Jangan asal bicara! Ini juga… yang pertama bagiku. Sama seperti kau!” serunya, emosinya hampir tak terkendali.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku akan bertanggung jawab. Berapa pun yang kau minta, akan kubayar.”

Nara memandangnya tajam. "Apa Anda pikir saya perempuan yang bisa dibayar? Saya bukan seperti wanita yang mungkin rela Anda beli dengan uang. Apa yang Anda ambil dari saya tak bisa dinilai dengan nominal."

Zean mengusap keningnya yang tiba-tiba terasa berat. Diam beberapa saat, sebelum akhirnya berkata pelan, “Kalau begitu… kita menikah saja.”

Nara terdiam, menatapnya penuh ketidakpercayaan.

“Aku serius. Kita menikah selama dua bulan. Kalau kau tidak hamil, dan ingin pergi, aku tidak akan menghentikanmu,” ucapnya tegas. “Kau takut suatu saat mengandung dan anak itu tidak punya ayah, bukan?”

Nara tetap bungkam. Kepalanya menunduk, pikirannya berputar,berat dan rumit.

“Dan satu lagi,” lanjut Zean. “Pernikahan ini tidak akan didasari cinta. Hatiku masih bersama Lusi. Aku tidak ingin kau berharap terlalu jauh.”

Nara menatap Zean lekat-lekat, mencoba membaca isi hatinya yang sulit ditebak.

“Kita akan tampak seperti pasangan manis di mata publik. Tapi di balik itu, kita bebas. Aku tidak akan mencampuri hidupmu, dan kau juga tidak berhak mencampuri hidupku. Dua bulan. Setelah itu, jika kau ingin pergi, aku akan mengurus semuanya. Tanpa merugikanmu.”

Nara menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. "Baiklah." Pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan pilihan terakhir. Jika takdir membawa kehidupan tumbuh dalam dirinya, setidanya anak itu tak akan lahir tanpa nama ayah. la harus rela menjalani semua ini.

Zean mengangguk singkat, menganggap perjanjian mereka sah.

“Oh ya, satu lagi,” ucap Zean. “Jika kita berpisah nanti, aku akan memberikan sebagian hartaku padamu. Sebagai bentuk tanggung jawab.”

Nara menatapnya tajam. "Saya tidak butuh uang Anda. Jika suatu hari saya pergi, saya akan pergi dengan harga diri saya. Bukan dengan harta Anda."

Zean tak membalas. Ia hanya menatap Nara dalam diam. Di antara kesunyian itu, keduanya sama-sama tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.bukan dengan cinta, tapi dengan luka dan perjanjian dingin yang sulit diterima hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!