Tringg!! Tringg!!
Suara alarm nyaring dari atas nakas menyayat sunyi pagi itu. Nara terbangun dengan napas tertahan, tubuhnya menggigil. Sekelilingnya asing,kamar besar bernuansa gelap, wangi parfum maskulin yang tajam, dan selimut tebal yang berat di tubuhnya.
Ia mencoba duduk, namun rasa nyeri di bagian tubuh bawah langsung membuatnya meringis.
“Aghh…” rintihnya pelan. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ditahan.
Malam itu terulang di kepalanya,tangisan, hujan, teriakan, dan genggaman tangan pria asing itu yang menyeretnya masuk dalam kekelaman. Suara mabuk yang memanggilnya Lusi, teriakan panik yang tak didengar siapa pun.
Ia memandangi lengannya sendiri. Memar. Luka. Tubuhnya penuh bekas.
Lalu ia melihat ke bawah… dan hatinya mencelos.
Bercak darah di atas seprai putih itu, jejak nyata kehormatannya yang direnggut paksa.
“Aku… aku sudah tidak suci lagi…”
Ia menangis terisak, menutup mulut agar tak membangunkan pria di sebelahnya. Lelaki itu masih terlelap, tidur dengan posisi setengah telentang, wajah tenang seperti tak pernah menyakiti siapa pun.
Nara memalingkan wajah. Ia tak sanggup melihatnya.
Pelan-pelan, ia turunkan kakinya dari ranjang. Lantai terasa dingin menyentuh telapak kaki. Tubuhnya masih lemas, tapi ia tahu satu hal, ia harus pergi. Sekarang juga.
Ia menunduk, mencari barang-barangnya. Di bawah meja dan dekat sofa, ia melihat tasnya tergeletak terbuka, isinya berserakan. Ponselnya, dompet, dan tisu terlihat kusut dan basah sebagian, seolah semalam ia dijatuhkan tanpa peduli.
Dengan tangan gemetar, ia merangkak pelan, mengambil satu per satu barangnya, merapikan sekadarnya ke dalam tas. Air mata tak berhenti mengalir. Namun ia menahan suara.
Lalu matanya menangkap sesuatu di lantai dekat meja,sebuah kartu nama berwarna hitam elegan.
Zean Anggara Pratama.
Ia menggenggam kartu itu sebentar. Nama itu akan terpatri dalam ingatannya, entah untuk dendam… atau luka. Ia tak tahu. Tapi ia tahu, pria itu akan terus membayanginya.
Pakaian? Sudah tak mungkin dikenakan. Semalam, bajunya dirobek dan basah oleh hujan dan cengkeraman. Ia melihat sebuah bathrobe putih tergantung di pintu kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ia kenakan itu, panjangnya nyaris selutut, cukup untuk menutupi tubuh yang lelah.
Masih tertatih, ia keluar dari kamar itu, melewati lorong rumah yang sunyi. Hujan di luar masih menyisakan aroma tanah dan langit kelabu. Saat membuka pintu depan, angin pagi menyambutnya, menusuk kulit.
Dengan gemetar, ia mengambil ponselnya dan memesan taksi. Jantungnya berdegup kencang, seolah takut Zean akan muncul kapan saja dan menyeretnya kembali.
Taksi datang cepat.
Sopir taksi memandang heran saat melihat Nara berdiri di depan rumah mewah hanya dengan bathrobe, rambut kusut dan mata bengkak. Tapi Nara langsung bicara, dengan suara bergetar namun meyakinkan.
“Pak, tolong antar saya ke toko pakaian, ya semalam saya kehujanan dan baju saya rusak. Saya harus cepat ke tempat kerja”
Sopir itu mengangguk, tak bertanya lebih jauh.
Nara duduk di kursi belakang, memeluk tasnya erat-erat. Pandangannya kosong ke luar jendela. Sisa hujan menempel di kaca, seperti luka yang belum hilang di hatinya.
“Tuhan….kenapa nasib ku harus begini?”
Ia tak tahu ke mana langkah ini akan membawanya. Tapi satu yang pasti, hidupnya telah berubah. Dalam satu malam, semuanya hancur.
Dan pria bernama Zean Anggara Pratama,telah meninggalkan luka yang begitu menyakitkan didalam hati yang tak bersalah itu.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai kamar, menyinari wajah seorang pria yang masih tertidur lelap di ranjang besar. Perlahan, matanya terbuka, dan rasa nyeri langsung menghantam kepalanya.
Zean mengerang pelan sambil memegang pelipisnya. Kepalanya berat, pikirannya kosong. Efek dari terlalu banyak minum semalam masih membekas.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan seketika tubuhnya menegang. Ia tidak mengenakan sehelai pakaian pun, dan ini… bukan kamar hotel, melainkan rumah pribadinya,rumah yang jarang sekali ia tempati.
Zean mengernyit, mencoba mengingat apa yang terjadi.
Matanya menoleh ke sisi ranjang.
Bekas darah.
Ia langsung terduduk. Wajahnya pucat. Tubuhnya kaku. Kenangan samar semalam mulai muncul seperti kabut yang perlahan menyingkap. hujan, seorang gadis muda, air mata, ronta, teriakan, dan nama Lusi yang terus ia teriakkan dalam mabuk.
“Tidak mungkin…” gumamnya, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri.
Panik mulai menguasai pikirannya. Ia bangkit dari ranjang dan menemukan kaos wanita yang sudah robek tergelatak di lantai.
Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari atas lantai. Ia membuka rekaman CCTV rumah. Dengan cepat ia putar kembali kejadian semalam.
Di layar, tampak seorang gadis basah kuyup, mengenakan bathrobe, berjalan tertatih keluar dari kamar sambil terus menangis. Ia menunduk saat memungut barang-barangnya di lantai, lalu keluar rumah dengan langkah lemah dan gemetar.
Zean memalingkan wajah. Ia menutup mata, giginya mengatup.
“ARGHHHH!!! SIAL!!!”
Suara teriakannya menggema, meluncur dari rongga dada yang penuh rasa bersalah dan kekacauan.
Dalam satu gerakan cepat, ia menekan kontak di layar.
“Cepat ke rumah. Sekarang. Aku tidak suka menunggu.” ucapnya datar namun tajam, sebelum langsung memutus panggilan.
Beberapa menit kemudian, Ray muncul di ambang pintu kamar.
“Tuan, Anda…”
Zean menoleh dan mengerutkan dahi melihat wajah Ray yang memar.
“Kau kenapa? Adu tinju?” tanyanya heran.
Ray menghela napas, menatap tuannya tanpa ekspresi.
“Anda yang meninju saya tadi malam. Di bar.”
Zean sempat terdiam. Tapi bukan itu fokus utamanya saat ini. Ia mengalihkan pandangan dan berjalan keluar menuju ruang kerja.
“Lupakan soal itu. Aku butuh bantuanmu sekarang juga.”
Di ruang kerja, ia menunjukkan rekaman CCTV.
“Cari gadis ini.”
Ray menatap rekaman itu dengan alis terangkat. Gadis muda, basah kuyup, wajahnya merah oleh tangis. Seketika Ray bisa menyusun potongan peristiwa yang hilang dari semalam.
Ia mengangguk pelan. “Sekarang, Tuan?”
“Tidak. Tahun depan,” jawab Zean ketus sambil berjalan menuju komputer server pribadi mereka.
“Tentu saja sekarang.”
Sekitar satu jam berlalu.
Ray masuk kembali ke ruang kerja dengan selembar kertas di tangannya. Zean masih duduk di kursi, menatap layar laptop, namun ia langsung menoleh saat Ray datang.
“Bacakan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments