2. Hannah Zeeva

Malam itu, hujan sudah reda, tapi suara tetesan air dari atap yang sudah tua masih mengiringi keheningan. Lampu di kamar Hannah menyala redup, hanya meninggalkan bayangan samar di dinding.

Ia duduk di tepi ranjang, masih mengenakan pakaian yang diberikan Elric, kemeja kebesaran yang baunya bercampur parfum mahal dan asap rokok.

Detik berikutnya pintu terbuka tanpa ketukan.

Elric masuk dengan langkah pelan. Senyum itu ada lagi di wajahnya, senyum tipis yang entah kenapa lebih menakutkan daripada tatapan dingin sebelumnya.

“Mulai sekarang kau harus terbiasa di sini,” katanya sambil duduk di samping Hannah. Tangannya terulur, mengangkat dagunya dengan lembut, seolah ia benar-benar ingin memandang wajahnya.

Hannah menahan napas. Dia bisa mencium aroma cologne yang menusuk, bisa merasakan panas dari tubuh Elric yang terlalu dekat.

Tiba-tiba, pintu kembali terbuka.

Salah satu anak buah Elric, pria bertubuh kekar dengan tatapan yang tak kalah kejam, berdiri di ambang pintu. “Tuan… klien kembali menanyakan tentang barang, mungkin anda bisa—”

Kata-kata itu belum selesai ketika suara pecah terdengar.

Prangg..

Elric bergerak begitu cepat, kursi di sudut ruangan terlempar, dan dalam hitungan detik pria itu sudah tersungkur dengan leher terjepit di bawah sepatu Elric.

Wajah Elric berubah total. Matanya liar dan napasnya memburu. “Kau pikir dia… untuk dibagi?” suaranya serak, hampir seperti geraman binatang.

Pria itu berusaha berbicara, tapi Elric menekan lebih keras. Tangan kirinya meraih pisau lipat dari saku, membukanya dengan suara klik yang memecah hening.

Senyum kembali muncul di bibirnya, tapi kini dipenuhi kegilaan. “Aku bilang… dia milikku.”

Dengan satu gerakan, pisau itu menggores pipi pria itu, meninggalkan garis merah yang segera mengucur. Elric menunduk dan berbisik di telinga pria itu,

“Kalau kau membantahku lagi… akan ku ambil matamu, satu per satu.”

Setelah mendengar itu, Elric memberi isyarat padanya untuk pergi dengan sekali gerakan jarinya.

Dengan sisa tenaga, pria kekar tadi pergi menjauh dari kamar dengan wajahnya yang dipenuhi dararah.

Hannah yang melihat itu semua, membeku di tempat.

Dadanya terasa sesak, bukan hanya karena ketakutan, tapi karena kesadaran baru yang menghantam keras.

Elric tidak hanya gila. Dia adalah ledakan tak terduga yang bisa berubah dari tenang menjadi pembunuh dalam sepersekian detik.

Saat Elric kembali mendekatinya, wajahnya sudah kembali seperti semula. Dengan senyuman tenang, serta suara yang lembut. “Lihat? Aku melindungimu.”

Bagi Hannah, itu bukan perlindungan… itu adalah penjara dengan dinding darah.

****

Sudah tiga hari Hannah berada di tempat itu.

Tiga hari pula terperangkap di rumah yang sunyi di tengah hutan, dengan CCTV di setiap sudut dan penjaga yang selalu bersenjata. Setiap detik, ia mengukur jarak dari kamarnya ke pintu keluar, menghafal rute yang dilewati Elric setiap pagi, dan mengamati pola pergantian jaga anak buahnya.

Malam itu, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda.

Bukan teriakan, bukan perlawanan fisik. Itu hanya akan membuatnya terkunci lebih rapat. Ia harus menyentuh bagian Elric yang… paling lemah, jika memang ada.

Ketika Elric masuk membawa nampan makanan, Hannah menatapnya lebih lama dari biasanya. “Kau selalu memberiku makan,” katanya pelan, suaranya hampir terdengar tulus. “Kenapa?”

Elric menghentikan langkah, memandangnya. Senyum kecil muncul, tapi matanya tetap mengawasi dengan tajam. “Karena kau milikku. Aku tidak akan membiarkan milikku mati kelaparan.”

Hannah berpura-pura mengangguk, bibirnya membentuk senyum samar. “Kalau aku milikmu… berarti aku cukup berharga untukmu, kan?”

Nada suaranya dibuat hati-hati, seolah meminta persetujuan, padahal ia sedang mengamati reaksi Elric.

Sesuai dugaannya, Elric mendekat, duduk di tepi ranjang, dan mengusap pipinya wa dengan jemari yang dingin. “Kau mulai mengerti.”

Nada bicaranya seperti sedang berbicara pada anak kecil yang baru belajar bicara.

Hannah menunduk, menyembunyikan pandangan matanya yang waspada. “Kalau aku minta udara segar, apa kau akan mengizinkan?”

Hening sejenak.

Elric menatapnya lama, lalu tertawa kecil, dengan suara yang entah kenapa membuat bulu kuduk Hannah merinding. “Kau ingin mencoba kabur?” katanya datar, tanpa nada marah. “Lucu.”

Ia berdiri, berjalan ke jendela, lalu menarik tirai.

“Kau boleh keluar… tapi hanya jika aku ada di sana. Kau pikir aku akan membiarkan dunia menyentuhmu?”

Tatapannya kembali pada Hannah, kali ini penuh api yang tak bisa dimengerti. Antara posesif, kekaguman, dan ancaman.

Hannah menelan ludah.

Rencananya untuk menciptakan celah malah berbalik arah. Alih-alih membuka pintu, ia justru membuat Elric semakin percaya bahwa ia mulai “menerima” situasinya.

Dan di mata Elric, itu berarti Hannah bukan sekadar miliknya. Dia adalah alasan untuk terus bernafas… dan alasan untuk membunuh siapa pun yang mencoba mengambilnya.

•••

Malam berikutnya merambat semakin pekat. Suara jangkrik dari luar menembus kaca jendela, berpadu dengan detak jarum jam yang terasa terlalu keras di telinga Hannah.

Ia berbaring, pura-pura tidur, tapi matanya menatap langit-langit. Pikiran berputar cepat, mencari retakan sekecil apa pun di penjara Elric.

Sampai tiba-tiba, pintu kembali berderit terbuka.

Elric masuk, kali ini tanpa suara langkah yang jelas. Seperti bayangan yang tiba-tiba ada di tengah kamar.

Ia duduk di kursi di pojok, mengamati Hannah dalam diam.

Tidak ada kata, tidak ada gerakan lain, hanya tatapan dingin yang susah ditebak.

Waktu berjalan lima menit, sepuluh menit, dan Hannah mulai merasa tubuhnya gemetar.

Akhirnya ia membuka mata, dan berpura-pura terkejut. “Kau… sejak kapan di situ?”

Elric tersenyum samar. “Sejak sebelum kau menutup mata.”

Ia bersandar, lalu menyalakan rokoknya dnegan sekali gerakan. Asapnya mengepul dan memenuhi ruang. “Aku suka melihatmu ketika kau berpura-pura tidur. Kau terlihat rapuh… dan jujur.”

Hannah menelan ketakutannya. Ia harus bermain peran.

“Apa kau tidak pernah lelah… melakukan ini terus menerus?” tanyanya pelan.

Elric menghela asap, lalu tertawa tipis. “Menjaga milikku bukan beban. Tapi…” ia mencondongkan tubuh, matanya menajam, “aku selalu ingin tahu apa yang ada di kepalamu. Kau terlalu tenang untuk seorang tawanan.”

Jantung Hannah berdegup kencang. Ia sadar, sedikit saja kesalahan, Elric akan mengoyaknya seperti mainan rusak.

“Aku hanya… mencoba bertahan,” jawabnya dengan suara bergetar yang sengaja dibuat nyata. “Aku tidak punya pilihan lain, kan?”

Elric menatapnya lama, lalu berdiri. Jemarinya yang dingin menyentuh leher Hannah, menekannya pelan, bukan untuk menyakiti, hanya sekadar menguji.

“Bagus,” bisiknya. “Kalau kau mencoba pilihan lain… Kau akan tahu bagaimana aku akan menghukummu.”

Ia melepaskan genggaman itu, lalu melangkah menuju pintu.

Namun sebelum keluar, ia menoleh lagi, dengan senyum tipis terlukis indah di bibirnya.

“Besok aku akan menunjukkan sesuatu. Kau pasti akan menyukainya.”

Ucapnya pelan dan melangkah kan kakinya meninggalkan kamar itu.

Pintu kembali tertutup.

Hannah menggenggam erat sprei, kuku-kukunya hampir menembus kain.

Ia tahu, “sesuatu” yang dimaksud Elric bukan hal baik.

Dan besok bisa jadi hari penentu… apakah ia punya kesempatan untuk melarikan diri, atau justru tenggelam lebih dalam di dunia gelap milik Elric.

To be continue..

Terpopuler

Comments

Coke Bunny🎀

Coke Bunny🎀

Belum update aja saya dah rindu 😩❤️

2025-08-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!