Bau anyir darah bercampur karat besi memenuhi ruangan sempit itu. Lampu neon menggantung rendah, berkelip-kelip seperti bernapas tersengal. Di tengahnya, Elric Dashiel duduk di kursi besi berderit, kaki jenjangnya menyilang pada kakinya yang lain . Di depannya, ada tiga pria bertubuh kekar menunduk, memegang catatan berisi daftar nama dan catatan kondisi tubuh mereka.
“Nomor empat… hati rusak. Buang,” gumam Elric, suaranya datar, seakan memutuskan nasib manusia semudah memilih barang cacat.
Pria di sebelah kanan menyeret tubuh kurus seorang lelaki yang masih berusaha bergerak. Dan dalam sekali hentak, kepala pria itu membentur tembok, dan ia diam untuk selamanya.
Elric tidak menoleh. Pandangannya hanya fokus pada daftar.
“Nomor tujuh… paru-paru masih bagus. Ambil,” ucapnya, sambil memberi kode. Satu lagi tubuh diseret keluar, menuju ruang pendingin di belakang.
Ritme ini berulang. Nama, kondisi organ, lalu keputusan. Tidak ada belas kasihan, tidak ada ampun, tidak ada jeda.
Hingga… pintu besi di ujung ruangan berderit terbuka.
Seorang gadis didorong masuk. Rambutnya berantakan, wajahnya setengah tertutup darah kering, tapi sorot matanya… berbeda. Tidak kosong seperti yang lain. Matanya menatap balik, cukup tajam dan berani, seolah menantang Elric untuk menghakiminya.
“Nomor dua belas,” kata salah satu anak buahnya. “Masih muda. Semua organnya bekerja dengan baik, tidak ada diwayat penyakit. Cocok untuk...”
“Diam,” potong Elric pelan. Ia menurunkan kertas dari tangannya, untuk pertama kalinya menatap langsung pada ‘barang’ di depannya.
Gadis itu, tidak memohon atau menangis. Ia hanya berdiri dengan dada naik-turun cepat, tapi mata itu… membuat Elric terhenti.
Ia tidak tahu kenapa.
Hanya saja, entah bagaimana, ia merasa seperti sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dijual.
Hening sesaat terasa begitu berat, seolah udara ikut menahan napas.
Elric bangkit perlahan dari kursinya. Sepatunya berdecit menyentuh lantai semen kotor, langkahnya santai namun setiap hentakan terasa seperti ancaman.
Ia berhenti tepat di hadapan gadis itu.
Jarak mereka begitu dekat. Elric bisa melihat jelas darah kering di pipi gadis di depannya, dengan otot rahangnya yang menegang, karena mencoba menahan rasa takut.
“Nama?” suaranya rendah, serak, nyaris terdengar seperti bisikan.
“Hannah,” jawabnya singkat.
Elric menatapnya lama, bahkan terlalu lama. Ada sesuatu di matanya, bukan belas kasihan, apa lagi empati. Melainkan rasa ingin memiliki yang mentah, liar, dan tanpa alasan logis.
Tangannya terulur, menyentuh dagu Hannah, memaksa gadis itu menatap balik.
“Cantik,” ucapnya datar. “Sayang kalau dijual. Kau bukan untuk mereka…”
Anak buahnya saling pandang, ragu. Salah satu dari mereka memberanikan diri berkata, "Tuan, dia barang terbagus. Calon pembeli sudah....”
Suara Elric tiba-tiba memotong seperti pisau. “Keluarkan semua orang dari daftar hari ini. Kecuali dia.”
Tatapannya masih tertancap di wajah Hannah. “Dia milikku mulai sekarang.”
Hannah menegang. Milik?
Kata itu keluar begitu saja dari mulutnya seolah ia sedang berbicara tentang barang antik yang baru saja ia temukan.
Elric tersenyum tipis, senyuman yang tidak pernah menyentuh matanya, lalu menoleh pada anak buahnya.
“Siapa pun yang menyentuhnya tanpa izin… akan kubunuh.”
Dalam kepalanya, Elric tidak sedang menyelamatkan Hannah. Ia sedang mengamankan “kepunyaannya” dari dunia luar. Bagi Hannah, jeruji besi itu baru saja dibangun.
Sedangkan bagi Elric, ia baru saja menemukan alasan baru untuk tetap hidup.
****
Hujan turun deras ketika mobil hitam tanpa plat itu melaju di jalanan sunyi. Hannah duduk di kursi belakang, tangan dan kakinya terikat, mulutnya ditutup kain basah yang berbau besi, atau bau darah.
Setiap kali mobil melintasi lubang, tubuhnya terguncang, tali di pergelangan tangannya semakin menekan kulitnya hingga perih.
Elric duduk di sampingnya dengan tenang. Bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menculik Hanna.
Kepalanya sedikit menoleh ke jendela, jemarinya mengetuk-ngetuk paha dengan irama yang sama sekali tidak mencocokkan suara hujan.
“Kenapa kalian tidak membunuh ku saja?” kata Hannah akhirnya, suaranya teredam kain penutup mulut.
Elric menoleh pelan. Tatapannya tidak marah, hanya tatap kosong yang sulit diartikan, seperti sedang mengamati spesimen. Lalu, tiba-tiba, senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
“Kita lihat nanti.” Balasnya, dengan suara serak nan dingin. Meningkatkan ketegangan antara mereka.
Tak terasa, mobil berhenti di depan sebuah bangunan tua di tengah hutan. Dari luar, bangunan itu terlihat seperti gudang kumuh, tak layak huni. Warna catnya sudah pudar dan mengelupas, jendelanya juga sudah diselimuti debu. Tapi, saat pintu dibuka, Hannah bisa melihat kamera CCTV di setiap sudut, lampu LED merahnya berkedip.
Begitu masuk, suasananya berubah drastis. Interiornya tidak semegah rumah mewah, tapi bersih, rapi, dan dingin. Terlalu rapi untuk seseorang yang baru saja mengeluarkan perintah membunuh.
Hannah didorong untuk masuk dan duduk di sebuah kursi yang ada disana. Elric berdiri di hadapannya, kedua tangannya bertumpu di sandaran kursi, wajahnya begitu dekat hingga Hannah bisa merasakan napasnya.
“Aku akan memberimu dua pilihan,” ucap Elric dengan suara rendah dan nyaris lembut.
“Pertama, kau tetap hidup di sini dengan tenang. Di sisiku. Tidak akan ada yang menyakitimu… kecuali aku ingin.”
Hannah menatapnya dengan mata membara. “Dan pilihan kedua?”
Perubahan itu datang seperti badai. Senyum di wajah Elric lenyap, matanya melebar, rahangnya mengeras. Ia meraih pisau dari meja dan menancapkannya di kayu, hanya beberapa senti dari tangan Hannah.
“Kedua… kau mati perlahan malam ini.”
Nada suaranya berubah total. Begitu keras, dingin, dan penuh ancaman.
Hannah membeku.
Di sana, di antara bunyi hujan dan detik jam dinding, ia sadar… antara pilihan pertama dan kedua sebenarnya sama saja. Keduanya adalah kehilangan kebebasan.
To be continue..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments