3. USG

Motor merek honda berwarna merah tua itu memasuki area rumah bersalin sayang ibu, tempat dimana Marti melahirkan kedua putranya itu.

Kedua mata Kabo, si satpam rumah sakit itu membulat. Air kopi yang berada di dalam mulutnya nyaris tersembur keluar saat melihat Abdul dan Marti serta kedua bocah yang mereka bonceng. Pratama, si bocah gendut itu duduk di bagian paling depan sementara Pradu duduk di tengah-tengah dihimpit oleh Abdul dan perut buncit Marti.

Bukan karena adegan berbonceng empat yang nyaris mirip seperti satu keluarga yang ingin mudik atau pulang kampung tapi yang membuat Kabo terkejut tetapi perut mati yang kembali membesar, hamil lagi!

"Tor! Tor!" panggil Kabo cepat sembari menyikut Tori yang baru berniat menyeruput secangkir kopi hangatnya.

Giginya yang baru menyentuh ujung gelas seketika menjauh. Gagal lagi minum kopi.

"Duh, apa sih? Mau minum kopi aja nggak bisa."

"Noh, liat! Buka mate lu!"

Kabo memegang kepala Tori dan mengarahkannya ke arah parkiran di mana Abdul Marti dan kedua bocahnya masih ada di sana.

"Kenapa tuh?" tanya Tori tak mengerti.

"Lu liat noh!" tunjuknya.

"Yang mana?"

"Noh!"

Tori menyipitkan kedua matanya berusaha memperjelas kedua Indra penglihatannya ke arah parkiran. Tak lama Tori mendecapkan bibir lalu menoleh menatap sahabat kerjanya yang nampak terlihat sangat syok.

"Apaan sih?"

"Etdah nih orang tua kagak liat apa ya. Noh! Buka mate luh!" geramnya sambil menunjuk ke arah parkiran lagi.

"Ah!" Tori memberontak menghempas tangan Kabo yang sejak tadi memegang kepalanya.

"Lo pikir gue tidur? Nih, mata gue udah kebuka dari tadi."

"Yeh kalau mata elu udah kebuka terus ngapa lu nggak lihat, pe'a!"

"Gue nggak ngerti yang cuman pakai tunjuk-tunjuk segala. Gue mau langsung ke inti aja. Pusing gua."

"Masalah gue udah banyak pusing gue," sambungnya.

Kabo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sangat kesal dengan pria kurus yang ada di hadapannya. Jika saja ia tidak bersahabat lama dengan si pria kurus yang nyaris hanya mengisahkan tengkorak saja mungkin dia sudah menghantamkan kepala Tori ke tiang listrik.

"Noh liat!" tunjuknya lagi.

"Lo lupa sama pak Abdul si tukang kayu itu?"

Tori terdiam sejenak berusaha mengingat. kedua matanya menatap ke arah Abdul yang kini nampak mengikat dua putranya dengan tali rafia ke tiang tempat yang sama di mana ia pernah mengikat Pratama.

"Oh iya, gue ingat sekarang yang tahun lalu ke sini karena istrinya melahirkan ya?"

Kabo tersenyum bahagia, akhirnya pria tua ini mengerti.

"Cakep!" senangnya memberikan jempol.

"Lah terus kenapa?"

Senyum Kabo memudar. Rasanya ia ingin mencolok kedua mata Tori.

"Lah buset dah! Noh istrinya hamil lagi!" teriaknya membuat semua orang menoleh menatap ke arah dua satpam yang berada di pos jaga.

"Hah?!!" kagetnya.

...----------------...

"Jangan pergi-pergi, ya! Pratama jagain adek!" pesan Abdul sembari mengikat tangan Prtama dengan tali rafia.

Kali ini Abdul tidak takut jika putranya itu hilang tetapi ia takut jika Pratama kabur dan memakan jualan orang pinggir jalan. Bisa rugi.

Abdul mengusap rambut bocah berkulit lembut itu, putra keduanya lalu gerakan tangannya terhenti saat suara teriakan dari salah satu satpam yang ada di pos jaga terdengar sembari menunjuk ke arahnya.

Abdul cukup kenal dengan kedua pria itu. Mereka merupakan salah satu kakak kelas saat ia menempuh sekolah dasar dahulu.

Tak ingin ambil pusing Abdul dan Marti kemudian melangkah pergi meninggalkan dua bocah di parkiran, sepertinya masih aman menyimpan anaknya di sana.

Tori dan Kabo memandang dari kejauhan. Kedua mata mereka mengikut langkah pasangan suami istri yang masih melangkah masuk ke dalam rumah sakit.

"Gila si Abdul. Istrinya dibikin hamil lagi."

"Bukan gila ini mah, tapi gacor," ujar Kabo sambil geleng-geleng kepala.

...----------------...

"Lah! Bu Marti?"

Ibu bidan terkejut. kedua matanya membulat menatap Marti yang melangkah masuk ke dalam ruangan sambil memegang perut buncitnya. Ia menatap dari ujung rambut hingga ke ujung kaki lalu berakhir ke perut.

"Hamil lagi?" syoknya tak menyangka.

Marti hanya cengengesan sembari menggaruk telinganya yang tak gatal lalu menjawab dengan anggukan kepala.

Ibu bidan menghela nafas panjang, kali ini benar-bener sangat berat.

"Bu Marti ini gimana, sih? Kan saya sudah bilang kalau dua anak cukup."

"Yah mau gimana lagi bu bidan, kan saya maunya punya anak perempuan. Lahiran kemarin kan anak saya laki-laki."

Ibu bidan hanya terdiam sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi hitam miliknya. Tangannya menopang kepalanya yang pusing menghadapi klien seperti Marti.

"Saya datang ke sini mau USG, bu bidan soalnya usia kandungan saya kan baru 7 bulan tapi rasanya kok berat sekali bahkan kalau mau bangun tidur pun harus ditarik."

Ibu bidan hanya menghela nafas lalu mengangguk pelan. "Yah mau gimana lagi. Silakan Bu Marti baring dibrangkar!"

Marti tersenyum sumringah lalu bangkit dan membaringkan tubuhnya di atas brangkar dibantu oleh asisten ibu bidan yang berpakaian serba putih.

Layar lebar mirip TV itu nampak memperlihatkan isi rahim dengan janin berwarna hitam putih. Suara jantung terdengar seperti suara lari kuda memenuhi ruangan membuat Marti tersenyum bahagia.

Di satu sisi ibu bidan terlihat mengkerutkan dahi menatap dengan teliti pada layar USG.

"Loh ini kembar!"

"Hah?" teriak Marti dan Abdul secara bersamaan, tak menyangka.

Bibir Abdul bergetar seakan ingin menangis. Tuhan, sudah cukup engkau memberikan dua bocah yang tidak memberikan jatah tidur untuknya dan sekarang engkau menitipkan dua bocah kembar yang mungkin akan membuatnya sekarat. Bukan tidak bersyukur tapi lailahaillallah!!!

"Ke-ke-kembar?" tanya Marti tak menyangka.

"Iya, Bu Marti. Ini kepalanya yang ke satu dan ini yang kedua. Ini kakinya, tangannya dan-"

"Anak saya laki-laki atau perempuan?" potong Marti penasaran.

Ibu bidan menatap layar USG dengan serius sembari menggerakkan dengan pelan alat yang menempel di perut buncit milik Marti.

Marti terdiam penuh penasaran, menunggu jawaban dari ibu bidan yang masih terdiam. Detak jantung Marti meningkat hingga tubuhnya juga terasa panas. Rasanya sangat cemas sekali.

Marti sangat berharap jika kehamilan ketiganya ini adalah perempuan. Ia tak mau lagi jika harus hamil dan dibully oleh tetangga. Pokoknya kalau ini perempuan, Marti ingin pakai KB kalau perlu tutup kandungan saja.

Di satu sisi Abdul nampak menggigit ujung jemari tangannya. Takut untuk mendengar jawaban dari ibu bidan yang kini masih terdiam.

"Dua-duanya laki-laki."

"Apa?!!" teriak Marti begitu sangat syok.

Bruak!!!

Semua orang yang ada dalam ruangan langsung menoleh ke arah Abdul yang sudah tergeletak di lantai. Yah, Abdul pingsan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!