2. Hamil Lagi?

Satu Tahun Kemudian...

Perut buncit yang berusia 7 bulan itu nampak membesar tak seperti kehamilan sebelumnya. Marti mengusapnya dengan lembut sembari melangkah keluar rumah.

"Pak! Ibu belanja sayur dulu, ya."

Abdul menoleh. Rambutnya sudah acak-acakan. Bagian bawah matanya nampak lebih gelap akibat tidak diberi jatah tidur oleh kedua anaknya. Prata memang sudah berusia 4 tahun tapi saat tengah malam ia selalu menangis minta diberi makan sementara Pradu yang lebih kecil selalu menangis minta digaruk.

Masalah anak kini merupakan masalah bagi Abdul. Dirinya seperti babysitter tanpa bayaran.

Pletak!

Abdul meringis saat Prata melempar sendok hingga mengenai kakinya.

"Aduh, kenapa lagi, nak?"

"Mau akan, ambah agi!" teriak bocah itu dengan bahasa bayinya.

Sementara di luar sana segerombolan ibu-ibu nampak menatap ke arah Marti sambil berbisik. Kang sayur ikut mendekatkan telinganya seakan penasaran dengan gosip pagi ini.

Setiap paginya selalu ada berita baru yang ia dapatkan dari ibu-ibu kompleks yang berkerumun di gerobak sayurnya.

"Lihat tuh! Hamil lagi," ujar salah satu ibu-ibu dengan roll rambut di bagian poninya.

Matanya menatap ke arah Marti sementara tangannya sibuk mengacak-acak sayur yang ada di atas gerobak. Para ibu-ibu berdaster ikut menoleh sementara satu wanita gendut dengan tubuh pendek nampak melompat-lompat seakan penasaran dengan sosok yang dijadikan bahan gosip setiap harinya.

"Padahal kan anaknya masih kecil-kecil," tambahnya lagi, namanya Jeng Melyy tukang gosip nomor satu di kompleks.

Mungkin jika ada lomba membawa gosip paling hot mungkin dia akan menjadi pemenangnya. Hobinya hanya gosip dan gosip.

"Biarin aja Jeng Melly, kan yang hamil dia sendiri toh. Wong jangan dipikirin!"

Nah, yang satu ini tetangga Marti dengan logat jawa ciri khasnya. Tubuhnya sedikit kurus dengan jilbab yang menutupi sedikit dadanya yang nampak rata. Namanya mbak Jumianti dan tugasnya adalah membela korban bahan gosip dari Jeng Melly.

"Aku setuju sama Jeng Melly," sahut salah satu wanita gendut yang sibuk memilih bawang. Namanya Jeng Mirna, sahabat segosip bertubuh pendek itu.

"Anaknya yang terakhir ini belum bisa lari masa udah hamil lagi," tambahnya dengan bibir yang mengerucut.

"Hust! Dia datang!" tegur ibu-ibu lain ketika mendapati Marti sudah dekat. Buru-buru mereka berhenti bicara lalu berakting menyibukkan dirinya memilih sayur-sayuran yang dijual.

"Ada sayur kangkung, Kang?"

Jeng Melly memberi kode pada ibu-ibu kompleks lain berusaha menyuruh teman-teman penggosipnya itu untuk melihat ke arah perut Marti.

"Udah hamil lagi, ya," singgung Jeng Melly membuat Marti hanya tersenyum tipis.

"Ini Bu sayur kangkungnya totalnya lima ribu."

Marti merogoh kantong baju daster yang ia gunakan mengeluarkan beberapa lembaran uang lalu menyerahkannya kepada Kang Damang, si tukang sayur itu lalu berpaling berniat meninggalkan ibu-ibu yang kini masih sibuk menatapnya.

Jeng Melly mendecapkan bibirnya kesal karena tak direspon oleh Marti. Penggosip akan kepanasan jika bahan gosipnya tidak direspon.

"Ibu-ibu kalau semisalnya mau punya anak banyak makan sayur kangkung, tuh kayak si Bu Marti anaknya belum bisa jalan udah hamil lagi."

Suaranya sengaja dibesarkan dan diperjelas agar Marti mendengar sindirannya. Langkah Marti menjadi pelan sejenak berusaha mencerna kalimat Jeng Melly. Ia hanya menarik nafas panjang lalu melanjutkan langkahnya.

Bruak!!!

Abdul tersentak dari tempat duduknya. Wajah lusuhnya menoleh menatap raut wajah Marti yang nampak kesal.

"Dasar penggosip! Memangnya salah ya kalau saya hamil lagi, kan yang hamil saya bukan mereka, gila!"

"Heran sama ibu-ibu sekarang suka banget mikirin hidup orang lain. Emangnya salah ya kalau saya hamil? Yang salah itu kalau hamil tapi nggak punya suami."

Abdul menghela nafas dan hanya diam. Ia tidak heran jika mendengar istrinya mengomel sendiri karena setiap pagi ia selalu melakukannya. Abdul tahu pelakunya siapa tapi tak ada gunanya jika ia ikut berkomentar.

Marti menghela nafas panjang sembari menatap pemandangan di samping rumahnya dari balik jendela yang ia biarkan terbuka.

Marti menunduk menatap perutnya yang kian hari semakin membesar. Usianya baru tujuh bulan tapi rasanya kehamilan ketiganya ini sangat berbeda dari kehamilan sebelumnya. Rasanya semakin hari semakin berat saja bahkan jika ingin bangun dari tempat tidur ia harus meminta bantuan Abdul untuk menariknya.

"Nak, semoga saja kamu perempuan, ya."

"Mama capek kalau harus di-bully sama tetangga-tetangga kompleks, tadi kamu dengar sendiri kan mereka bilang apa."

"Pokoknya kalau kamu lahir nanti kamu harus pukul anak-anak mereka biar kapok."

Abdul mendekat dengan langkah yang begitu pelan. Mengendap-ngendap seperti pencuri, takut jika suara langkahnya didengar oleh dua bocah yang kini sudah tertidur dengan lelap.

"Bu, laki-laki atau perempuan itu sama saja. kita boleh berencana tapi yang menentukan ya hanya Tuhan. Kita sebagai hamba hanya menjalankan saja."

"Anak itu titipan dari Tuhan jadi laki-laki atau perempuan ya kita harus terima."

Marti memonyongkan bibir seakan tak setuju dengan ucapan suaminya itu.

"Yah, masa Tuhan gak mau ngasih kita anak perempuan."

"Yang namanya rezeki kan sudah diatur," jawabnya lagi.

"Bapak tuh enak ngomongnya. Masa kita nggak punya anak perempuan."

"Memangnya kenapa, sih Bu? Ibu ini mau banget punya anak perempuan?"

"Yah pokoknya Ibu mau anak perempuan titik!" kekehnya lalu melangkah ke arah kursi depan TV, menjauhi suaminya.

"Ibu, laki-laki dan perempuan kan sama saja."

"Yah jelas beda, pak. Perempuan ya perempuan, laki-laki ya laki-laki. Kalau anak perempuan itu kan rambutnya bisa diikat, dipakaikan rok pink, bajunya serba pink. Lucu, pak," celotehnya.

Abdul hanya terdiam. Setiap perdebatan selalu istrinya yang menjadi pemenangnya. Marti membuka lemari di bawah tv dan mengeluarkan beberapa pakaian baju bayi berwarna pink yang masih berada dalam plastik.

"Nih, pak! Cantik, kan?"

Baju bunga-bunga berwarna pink dengan pita mungil yang membuat baju itu terlihat sangat cantik. Baju yang telah berada di dalam lemari selama 4 tahun lamanya. Dulu mereka pikir jika anak pertamanya itu adalah perempuan jadi Marti sengaja menyiapkan pakaian itu untuk anak perempuannya tapi nyatanya itu semuanya hanya sia-sia.

"Iya cantik, bagus."

Abdul meraih baju berwarna pink itu, melipat dan memasukkannya ke dalam plastik dengan rapi. Sedih juga melihat istrinya seperti ini.

"Bapak ngerti, bu. Sabar, ya!"

Marti hanya terdiam lalu meraih baju pink itu dan menempelkan pada perut buncit miliknya.

"Semoga saja kamu perempuan ya, nak."

"Bu!"

"Apa?"

"Ini usianya baru tujuh bulan, ya?"

Marti mengangguk.

"Tapi kok kayak udah sembilan bulan ya, Bu."

"Iya pak, apa ada kelainan ya sama bayi kita."

"Bagaimana kalau kita USG," sarannya membuat raut wajah Marti menjadi sumringah.

"Betul juga tuh pak sekalian Marti juga mau tahu anak kita ini laki-laki atau perempuan."

Abdul mengecutkan wajah, ujung-ujungnya kalimat itu lagi yang terdengar.

"Kapan pak?"

"Besok!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!