Jalan ke Rumah Calon Majikan

Motor matic butut Juwita berhenti tepat sebelum tikungan menuju blok ujung komplek elit itu. Awalnya dia mengira mungkin cuma salah masuk gigi atau kehabisan bensin lagi. Tapi begitu dicoba distarter, motor itu diam seribu bahasa. Dicoba diengkol, hasilnya sama: sepi, hening, bagaikan hatinya setelah ditinggal ayah kabur bawa hutang.

“Ya Allah jangan bercanda sama aku hari ini. Ini tuh bukan sinetron, jangan kasih aku cobaan berlapis-lapis begini. Yaudah deh aku rela jomblo seumur hidup, asal motorku jangan mati dulu sekarang,” gumam Juwita sambil menepuk-nepuk jok motor, seakan mesin tua itu bisa diajak negosiasi.

Dicoba sekali lagi. Tekan starter, hasilnya cuma bunyi tek-tek kecil. Diengkol berkali-kali, malah betisnya yang nyut-nyut-an.

“Sial! Sial! Nasibku gak ada yang baiknya. Dari hutang pinjol, ditinggal bapak, gorengan disamber pengemis, sekarang motor mati total. Dunia ini kayaknya emang dendam pribadi sama aku,” gerutunya.

Belum sempat melanjutkan ocehan, terdengar suara langkah terburu-buru dari belakang. Juwita menoleh. Seorang pria berambut memutih sebagian dengan keringat bercucuran, dan seorang wanita cantik berusia setengah baya yang tetap tampak segar meski ngos-ngosan, sedang berlari kecil di jogging track perumahan. Meski jelas terlihat sudah tidak muda, mereka masih tampak energik dan yang bikin heran, tetap berkelas. Bahkan keringat mereka pun kayaknya wangi parfum mahal.

Wanita itu mendekat sambil tersenyum ramah.

“Kenapa, Dek? Motornya mogok ya? Jarang-jarang loh ada motor begini masuk kompleks sini.”

Juwita langsung pengen menelan tanah saking malunya. Motornya sudah tua, body lecet, spion cuma satu, jok robek ditutup lakban, knalpotnya bunyi gerrr kayak knalpot truk. Dan sekarang ada ibu-ibu kelas atas yang menegurnya.

Dia tersenyum kecut. “Iya, Bu motor saya mogok. Kayaknya emang udah saatnya masuk museum, bukan jalan-jalan lagi.”

Pria di samping wanita itu mengangguk sambil menambahkan, “Iya, Mi, motornya mogok. Untung masih bisa didorong. Kamu mau ke mana, Dek?”

“Oh, ini, Pak, Bu. Saya sebenarnya mau interview kerja. Mau ke rumah keluarga Tanubrata. Katanya mereka lagi cari pengasuh bayi. Jadi ya saya coba melamar. Karena yah, kebetulan saya sangat berpengalaman menjaga bayi.”

Bohongnya mengalir deras bagai air sungai. Dalam hati ia tahu, jangankan jaga bayi orang lain, dirinya sendiri waktu bayi bahkan gak pernah dijaga ibunya karena ibunya meninggal saat melahirkannya.

“Wah, kalau begitu pas sekali,” ujar wanita itu. Senyumannya ramah, seperti tidak keberatan mendengar Juwita yang berpakaian seadanya kemeja lusuh, celana hitam belel, dan sepatu murahan yang sudah miring ke kiri.

“Biar kami tunjukkan jalannya. Memang agak ke dalam, takutnya kamu bingung.”

Juwita langsung sumringah. “Wah, terima kasih banyak ya, Bu, Pak. Baik banget kalian. Jadi tenang aku kalau ada yang nunjukin.”

Tapi kemudian ia melirik motornya, lalu bertanya bodoh, “Tapi motor saya gimana, ya?”

Pria itu tiba-tiba nyeletuk santai, “Ya dibawa lah, masa ditinggal? Kayak lagi sayang-sayangnya malah ditinggal.”

Wajah Juwita langsung merah padam. Sayang-sayangnya? Motor itu bahkan kalau dijual pun paling dihargai lima ratus ribu. Mana ada yang bisa disayang. Tapi entah kenapa ucapan bapak itu membuatnya kikuk sendiri. “Eh, iya juga sih, Pak. Hehe.”

Akhirnya dengan penuh rasa malu, Juwita mulai mendorong motornya. Ia berjalan pelan mengikuti pasangan itu. Si ibu berjalan dengan anggun, langkahnya tegap, tubuhnya ramping seperti masih berusia tiga puluhan. Si bapak meski sudah agak beruban, tetap terlihat berwibawa dengan gaya sederhana namun elegan.

Dalam hati, Juwita menggerutu. “Ck ck ck, gila ya orang kaya. Udah agak tua begini pun masih keliatan seger. Kalau bapakku? Udah miskin, berutang pula. Malah ninggalin anaknya sendiri. Dan aku? Masih gadis, tapi melamar jadi pengasuh bayi. Hidupku kayak gadis rasa janda. Ngenes bener.”

Mereka berjalan sampai sebuah rumah besar. Halamannya luas, pagar tinggi dengan ukiran besi yang mengkilat. Cat dindingnya putih bersih, jendela besar-besar dengan tirai elegan. Kontras sekali dengan kontrakan kecil Juwita yang pintunya udah miring.

Pasangan itu masuk membuka pagar, lalu menoleh ke Juwita. “Silakan, Dek, masuk.”

Juwita berhenti, bingung. “Eh, Pak, Bu ... maaf sebelumnya. Saya mau ke rumah Tanubrata. Bukannya ini rumah kalian?”

Wanita itu tersenyum, lalu menepuk lengan suaminya. “Nah, ini suamiku, Pak Herman Tanubrata.”

Pria itu mengangguk singkat. “Iya, saya Herman. Dan ini istri saya, Marlina.”

Mata Juwita langsung melotot, hampir saja menjerit.

“HAH? Jadi sedari tadi aku dorong motor bareng calon majikan?! Ya Allah, malu banget aku. Dari tadi aku ngomel-ngomel, ngerasa kayak gadis rasa janda, eh ternyata didengar sama mereka?!” pikirnya kalut.

Juwita langsung canggung, berdiri kaku dengan wajah merah. Otaknya penuh pertanyaan aneh. “Tunggu dulu mereka udah lumayan tua. Masa punya bayi? Aku ini disuruh ngasuh bayi apa? Anak mereka? Tapi anaknya pasti lebih tua dari aku! Atau jangan-jangan anaknya cacat? Lumpuh? Kayak novel tuan muda lumpuh-lumpuh itu? Hadeuh apa lagi nasibku.”

Marlina tersenyum lagi, menyadari wajah bingung Juwita. “Ayo masuk, Nak. Anak saya sudah menunggu di dalam. Kamu kan mau interview, ya?”

Dengan hati deg-degan, Juwita akhirnya melangkah masuk. Motornya ditinggal di depan pagar, berdiri dengan miring, seakan siap ambruk kapan saja.

Di dalam rumah, suasananya begitu berbeda dari dunia Juwita. Lantai marmer mengkilap, vas bunga segar di setiap sudut, lampu kristal menggantung indah. Sofa empuk tampak begitu nyaman sampai Juwita yakin kalau duduk di sana, ia bakal ketiduran pulas.

Tapi yang paling bikin dia minder adalah dirinya sendiri.

“Kemeja lusuhku kayaknya hina banget kalau dibandingkan sama karpet mereka. Bisa-bisa karpet ini minta ganti rugi kalau kena debu bajuku,” gumamnya lirih.

Marlina menunjuk ke arah ruang tamu. “Silakan duduk dulu, Nak. Nanti anak saya akan keluar sebentar lagi. Namanya Zergan.”

Nama itu terdengar asing di telinga Juwita. “Zergan? Nama apa itu? Kayak nama tokoh anime. Jangan-jangan anaknya masih bocah SMP, eh disuruh aku asuh. Atau malah bayi beneran? Aduh, gimana kalau aku disuruh ganti popok? Aku kan gak pernah nyentuh bayi. Bahkan boneka bayi aja aku trauma, takut matanya tiba-tiba melek.”

Sambil menunggu, Juwita mengusap keringat di dahinya. Tangannya gemetar, pikiran berkecamuk. Sialnya, perutnya kembali berbunyi kencang. Kruuuukkkk.

Dia langsung menutupinya dengan batuk-batuk palsu.

“Eh-hem! Eh-hem! Ahahahaha maaf ya, tenggorokan saya agak kering.”

Padahal Marlina jelas mendengar suara perut itu. Wanita itu hanya tersenyum simpul, maklum. Tapi bagi Juwita, itu sudah jadi aib nasional.

Tak lama kemudian, suara langkah mendekat dari arah tangga. Dan dari situlah calon “bos bayi” yang selama ini ia pikir masih kecil atau cacat, akhirnya muncul.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Zainab Ddi

Zainab Ddi

author makasih Uda update ditunggu selalu kelanjutannya 💪🏻😍😍

2025-08-21

0

Zainab Ddi

Zainab Ddi

🤣🤣🤣🤣laper ya kasian banget deh

2025-08-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!