Loker Ajaib

Malam itu, suasana kontrakan kecil Juwita terasa berbeda. Biasanya hanya ada ia dan ayahnya, tapi kali ini Desi ikut menginap. Setelah drama panjang soal hutang, Desi dengan wajah prihatin langsung bilang, “Udah, aku di sini aja malam ini. Kamu nggak bisa sendirian, nanti malah kebayang debt collector nongol dari bawah kasur.”

Mereka pun sibuk berdua Desi mandi duluan, lalu keluar kamar mandi dengan daster pinjaman milik Juwita. Daster yang kebesaran membuatnya terlihat seperti memakai karung goni motif bunga. “Wit, ini daster atau tenda nikahan?” protes Desi sambil menahan tawa.

“Udah syukur ada, Des. Dasterku emang ukurannya one size fit all tragedi hidup,” jawab Juwita sambil merebus mie instan.

Tak lama kemudian, mereka duduk lesehan di ruang tengah, masing-masing memegang mangkuk mie panas. Uap mie mengepul, aroma bawang goreng seadanya menyeruak, dan sesekali mereka menyeruput sambil mendesah puas, seolah mie itu makanan paling mahal di dunia.

“Ah, nikmat. Walau hutangmu seratus dua puluh juta, tapi mie tetap mie,” ujar Desi sok bijak.

Juwita mendelik. “Iya, tapi kalau aku mati gara-gara hutang, tolong taruh mangkuk mie di nisanku. Biar jelas ini penyebab kebahagiaan terakhirku.”

Mereka pun tertawa, walaupun jelas hati Juwita masih penuh sesak. Setelah makan, keduanya rebahan santai, masing-masing sibuk main HP. Juwita hanya scroll-scroll tak jelas, pikirannya berputar soal hutang, soal ayahnya yang kabur, dan soal nasibnya yang makin nelangsa.

Saat Juwita hendak membuka mulut untuk mengeluh, Desi tiba-tiba menjerit kecil. “Woi, Wit! Liat deh, ada loker.”

Juwita menoleh malas. “Loker apaan? Jangan-jangan loker utang lagi.”

Desi cengar-cengir. “Bukan, ini beneran loker kerja. Jadi pengasuh bayi. Nih, baca.” Ia langsung menghadapkan ponselnya tepat ke muka Juwita.

Dengan malas Juwita mendorong HP itu. “Hm, sama aja lah. Sama-sama kayak pembantu. Lagian aku mana bisa ngurus bayi. Beranak aja belum pernah. Jangan kan beranak, skidipapap pun belum pernah!”

Desi langsung ngakak, sampai hampir tersedak ludahnya sendiri. “Astaga Wit, skidipapap! Aku capek ketawa. Tapi serius lho, Wit. Gajinya gede banget.”

“Ah, paling dua juta lagi,” sahut Juwita sinis.

“Nih, liat sendiri.” Desi kembali menyodorkan HP, kali ini Juwita benar-benar menatap layarnya.

Matanya langsung melotot. “Sepuluh juta sebulan?! Gila ini beneran kah? Ngasuh bayi raja atau apa?”

Desi menunjuk alamat yang tertera di postingan. “Tuh kan, di perumahan elit. Bisa lah. Kamu harus coba, Wit. Kalo keterima, hidupmu bisa naik level. Dari nyuci piring ke nyusuin bayi.”

Juwita mendesah panjang. “Nyusuin? Lah, aku bukan sapi perah, Des.”

Desi makin ngakak. “Maksudku ngurusin, bukan nyusuin. Ya ampun, Wit, logikamu ini lho.”

Juwita kembali menatap layar HP, kali ini lebih lama. “Des ini serius gaji sepuluh juta? Aku kerja setahun aja bisa nutup setengah hutang. Tapi ya takutnya aku malah salah gendong, bayinya jatuh, langsung gaji dipotong seumur hidup.”

Desi menepuk pundaknya. “Tenang, Wit. Kamu nggak akan salah gendong. Yang penting yakin dulu. Lagian siapa tau bonusnya kamu dapet bapaknya sekalian. Kan bisa jadi istri kedua, yang penting kaya, Wit.”

“Eh, mulutmu itu lho!” Juwita menoyor kepala Desi. “Udah miskin jangan ngajarin temen jadi pelakor!”

Mereka berdua kembali tertawa. Meski masalah belum selesai, malam itu setidaknya Juwita menemukan secercah harapan atau minimal bahan ketawaan baru di balik daster longgar dan mie instan.

Pagi pun tiba. Matahari baru nongol separuh, tapi suara ayam tetangga sudah bikin kepala Juwita pening. Dengan mata masih setengah lengket, ia menatap motor matic bututnya yang parkir miring di halaman kontrakan. Catnya sudah kusam, spionnya cuma sebelah, dan knalpotnya berisik kayak toa masjid rusak.

“Apa pulang kerja ada nggak sih aku ke sana. Lagian orang ini pun aneh, udah jaman serba online masih aja wajib datang langsung interview. Mana kurang lebih dua jam jaraknya. Sanggup nggak ya motor butut ini? Mana bensin lagi,” gumamnya sambil menyibakkan rambut berantakan.

Desi, yang masih setia menemaninya pagi itu, duduk santai sambil menyeruput kopi sachet. “Kalau nggak mau, ya naik bus aja. Tapi kamu tau sendiri, naik bus mampir sana-sini, entar malah telat. Coba aja dulu, Wit. Mana tau rezeki kamu. Masih ada kan uang bensin? Kalau nggak, pinjam sama aku.”

Juwita mendengus sambil mengikat rambutnya. “Des, kalau duitku habis, duitmu juga habis. Nanti kita bukan sahabat lagi, tapi jadi pasangan pengemis duet. Aku nyanyi, kamu joget.”

Desi langsung ketawa sampai hampir nyembur kopi. “Astaga, Wit. Udah-udah, jangan kebanyakan ngelawak. Serius! Ini kesempatan loh. Kamu harus coba.”

Diam-diam, Juwita terharu juga. Dalam hati, ia bersyukur punya teman kayak Desi. Walaupun sama-sama melarat, Desi masih mau bantu dan dukung dirinya. Tidak semua orang rela repot demi orang lain.

“Ya udah, Des. Aku masih ada duit kok. Tapi bilangin bos ya aku sakit, walaupun kepotong gaji hari ini. Cuma yah, sayang banget juga sih gaji sehari. Bisa buat beli beras sama kerupuk.”

Desi menepuk bahunya. “Nggak apa-apa, Wit. Kadang buat dapat yang besar, kita harus relain yang kecil.”

“Lah iya, tapi gaji kecil kayak gini kan nggak kecil buat aku. Itu udah gede banget, Des,” balas Juwita dengan muka masam.

Akhirnya, setelah berdebat setengah jam, Juwita menyerah. Ia mengganti baju dengan kemeja lusuh satu-satunya yang ada di lemari. Celananya jeans belel yang warnanya sudah pudar. Ia berdiri di depan kaca retak, mencoba tersenyum.

“Halo, calon bos kaya raya. Ini aku, Juwita. Tenang aja, kalau bayinya nangis, aku bisa joget TikTok biar diem. Kalau masih nangis, ya udah, aku nangis bareng dia,” ocehnya sendiri sambil berkaca.

Desi hampir jatuh dari kursi mendengar itu. “Ya Tuhan, Wit. Jangan sampai pas interview kamu ngomong gitu. Bisa-bisa kamu langsung diusir satpam!”

Setelah tawa reda, Juwita pun benar-benar siap berangkat. Ia menyalakan motor bututnya dengan doa panjang. Mesin matic itu meraung seperti dinosaurus asma. “Ya Allah, semoga motor ini kuat sampe sana. Jangan mati di jalan, kalau mati jangan pas turunan, jangan juga pas tanjakan. Kalau bisa matinya di depan bengkel aja.”

Desi melambai. “Good luck, Wit! Jangan lupa update aku ya!”

Dengan perasaan campur aduk antara harapan, cemas, dan lapar Juwita akhirnya melaju. Satu hal pasti, perjalanan hari itu bukan sekadar menuju interview, tapi bisa jadi pintu awal untuk membayar hutang atau menambah bahan tawa baru dalam hidupnya.

Bersambung

Terpopuler

Comments

Zainab Ddi

Zainab Ddi

author makasih Uda update ditunggu selalu kelanjutannya nih gan yg

2025-08-21

2

Zainab Ddi

Zainab Ddi

semoga diterima ya Juwita

2025-08-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!