NovelToon NovelToon

Istri Bayangan

Bab1

“Jelaskan sama aku Mas! ,Kamu masih mau mengelak? aku lihat sendiri kamu duduk dengan perempuan itu di kafe!.”

Suara Nindya pecah, seperti kaca dilempar ke lantai.Ia berdiri di ruang tamu sempit, kedua tangannya mengepal.

Arman mendesah berat, lalu meletakkan ponsel ke meja dengan gerakan kasar. Wajahnya tenang, nyaris dingin.

“Aku muak Nindya !semua orang kamu curigai itu cuma rekan kerja.” Sangkal Armand.

“Rekan kerja jam sebelas malam?.Tangannya melingkar di pinggangmu?.” Nindya menahan napas, suaranya bergetar.

“Kamu pikir aku bodoh?!.”

Sekilas tatapan Armand berubah. Ada kilatan kesal, bercampur rasa terpojok.Tapi ia cepat menutupinya dengan senyum tipis.

“Kamu memata matai aku Nind?.”Tanya Armand dengan tatapan menyelidik.

Keheningan mendadak jatuh di antara mereka. Dari kamar kecil di samping, terdengar napas teratur putri mereka yang tertidur. Nindya menoleh ke arah pintu kamar, lalu kembali menatap suaminya. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan mati-matian.

Bukan pertama kali ini. Bukan pula yang terakhir.

Pagi harinya, dapur penuh aroma roti bakar dan kopi hitam. Nindya menyiapkan bekal anaknya ke sekolah.

Tangan sibuk,pikiran masih berkecamuk. Kata-kata Armand semalam terngiang, menusuk seperti jarum.

Armand muncul dengan kemeja rapi, dasi sudah terpasang.Ia menyalakan televisi, duduk,lalu menyuap roti bakar tanpa menoleh pada istrinya.

“Kamu pulang jam berapa malam ini?”,tanya Nindya, lirih.

“Entahlah ..ada rapat jangan tunggu,” jawabnya singkat.

Ia bahkan tak menoleh ketika berkata begitu. Hanya meneguk kopi,lalu berdiri,mengambil kunci mobil.

“Aku pergi dulu.”

Pintu menutup dengan suara keras.Dapur kembali hening, hanya suara sendok yang dijatuhkan Nindya ke meja. Rasanya ia bukan lagi seorang istri, melainkan asisten rumah tangga yang mengurus segalanya tanpa dihargai.

Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola serupa. Armand pulang larut, sering beralasan ada lembur atau rapat. Nindya tahu sebagian besar alasan itu bohong, tapi ia terlalu lelah untuk terus bertengkar.

Suatu malam, ponsel Armand tertinggal di meja makan. Layarnya menyala, pesan singkat masuk.

“I miss you much.”

Dada Nindya berdegup keras jari-jarinya bergetar ketika membaca nama pengirim seorang perempuan yang sama sekali tak ia kenal.

"Tidak mungkin ini rekan kerja."Ucap Nindya dalam hatinya

Armand keluar dari kamar mandi,handuk masih melilit leher. Begitu melihat ponselnya di tangan istrinya, wajahnya menegang.

“Apa yang kamu lakukan?, kamu tidak ada hak memeriksa ponsel ku itu privasi!.”Dengus Armand dengan mata berkilat karena marah.

“Tidak berhak katamu Mas?,status ku masih istrimu, privasi?sejak kapan ada privasi diantara pasangan?!"suara Nindya serak, tapi matanya tajam.

“I miss you? ini jelas bukan rekan kerja Mas”

Armand meraih ponselnya dengan kasar

"Lancang kamu! kembalikan kamu tidak ada hak."Bentak Armand.

.

"Tidak ada hak?” Nindya hampir tertawa, tapi pahit.

“Look at this!” pekik Nindya sambil menunjukan cincin pernikahan bermata berlian yang melingkar di jari manisnya

Armand terdiam sejenak, Lalu,bukannya menjawab, ia malah berjalan ke kamar, menutup pintu dengan dentuman.

Nindya berdiri sendirian di ruang makan. Perasaan kosong menelannya. Ia ingin menjerit, tapi anak mereka sudah terlelap di kamar.

Beberapa minggu berikutnya, hubungan mereka kian membeku. Hampir tak ada percakapan selain soal kebutuhan rumah. Armand memilih keluar rumah setiap malam. Nindya mengurus anak seorang diri, memadamkan pertanyaan polos si kecil tentang mengapa ayahnya jarang di rumah.

Suatu sore, Nindya mencoba bicara lagi. “Armand, kita tidak bisa terus begini, kita harus tentukan mau di bawa kemana arah rumah tangga ini—”

“Cukup!. ..jangan teruskan apalagi bicara soal cerai, itu tidak akan pernah terjadi ingat itu Nindya!."Arman memotong tajam.

Kata itu menggantung di udara.

“Cerai.” Baru disebut, tapi rasanya sudah lama menghantui mereka.

Nindya menarik napas panjang.

“Kenapa? kamu takut reputasi mu hancur karena cerai ?,tapi kamu tidak malu dengan perselingkuhan?!.” cecar Nindya dengan berapi api

Arman menggeleng, wajahnya penuh kejengkelan.

“Kamu selalu menyalahkan aku ,tanpa kamu pernah introspeksi mengapa semua itu bisa terjadi Nindya.”

“Memangnya aku kenapa? aku lakukan tugasku sebagi istri ,aku bekerja ,aku juga jadi ibu buat anak kita, apa itu tidak cukup!”

Kali ini, Armand tidak menjawab ia mengambil jaket, lalu keluar rumah tanpa pamit.

Malam itu, Nindya duduk di kamar sendirian. Lampu kamar padam, hanya cahaya dari jalan menembus jendela. Ia memandangi putrinya yang tertidur pulas.

Air mata jatuh tanpa bisa dibendung. Semua pengorbanan, semua kesabaran… rasanya sia-sia.

Untuk pertama kali, ia mulai serius mempertimbangkan kata yang tadi hampir ia ucapkan cerai.

Namun di hatinya, ada suara kecil yang berbisik sanggupkah ia menghadapi dunia sendirian bersama anaknya?

Pertanyaan itu menggantung, seperti pintu yang terbuka sedikit, menunggu keberanian untuk benar-benar dilangkahi.

Hari-hari berjalan seperti siksaan yang berulang. Pagi datang, Nindya menyiapkan sarapan sambil menahan hati yang retak. Malam tiba, rumah hanya berisi keheningan dan suara televisi yang ia nyalakan sekadar untuk menipu sepi.

Armand semakin jarang pulang bahkan saat pulang, tubuhnya ada di rumah, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Nindya berhenti berharap ada percakapan hangat atau sekadar senyum. Ia sudah terlalu sering kecewa.

Suatu malam, suara notifikasi ponsel Armand kembali memecah sunyi. Ia tertidur di sofa ruang tamu, dasi longgar, kemeja kusut. Nindya yang sedang membereskan mainan anak mereka, tanpa sengaja melihat layar ponsel itu menyala.

Pesan singkat muncul.

“Miss you, besok kamu jadi ke Bandung kan sayang?.”

Nindya menutup mulut dengan tangannya. Bandung?.Ia sendiri lahir dan besar di kota itu, tapi selama ini jarang pulang.Kini nama kota itu seperti duri.

“Jadi tugas keluar kota itu, hanya kamuflase?” bisiknya pelan.

Armand terbangun, mengucek mata.Begitu sadar ponselnya di tangan Nindya, wajahnya berubah tegang.

“Kamu lagi-lagi mengacak-acak privasiku!.”

“Privasi?” suara Nindya meninggi.

“Bagus! jadi yang kamu bilang rapat di Bandung itu bohong?,kamu sebenarnya menemui perempuan itu kan Mas?!”

Arman bangkit,matanya merah karena marah

.“Aku muak dengan tuduhanmu!.”

“Ini bukan tuduhan ini bukti.” Nindya melempar ponsel ke sofa.

“Kamu ingin ke Bandung menemui perempuan itu, apa aku salah lihat?.”

Armand menatapnya lama, lalu berjalan ke arah pintu.

“Aku butuh napas .”

“Jangan mengelak!” teriak Nindya.

“Kalau kamu lelaki, hadapi aku masihkah kamu anggap aku istrimu? Jawab aku!."pekik Nindya

Armand berhenti di ambang pintu, lalu menoleh dengan senyum tipis yang menusuk.

“Kamu pikir saja sendiri, apakah kamu layak di sebut istri.”

Kalimat itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Nindya berdiri terpaku, kakinya gemetar.

Esoknya, Nindya berusaha bersikap biasa demi putrinya. Ia mengantar anaknya ke sekolah, lalu duduk di kantin Ia butuh udara, butuh ruang untuk menangis tanpa ada yang melihat.

Di sana, ia mendengar obrolan dua Ibu Ibu sesama wali murid ,tengah bergunjing tentang seorang pria yang juga salah satu wali murid di sekolah itu, yang tertangkap basah sedang jalan di mall demgan wanita lain.

" Eeh Mama Fio ada gosip panas nih.., Satu diantara ibu ibu itu membuka Percakapan diantara mereka.

"Gosip apa?, "Ujar Rekannya penasaran

"Kemarin aku lihat papa Yudith bersama.." si ibu tidak melanjutkan ucapannya setelah salah seorang diantara mereka menyikut lengannya saat melihat kehadiran Nindya di kantin itu.

Keduanya mengangguk canggung kearah Nindya

Hatinya hancur sekali lagi. Bahkan tanpa ia cari, kabar buruk itu datang sendiri. Dunia seakan ingin menelanjangi semua luka di depan wajahnya.

Bab 2

Malam harinya, pertengkaran tak terhindarkan.

“Aku capek dengan semua ini Mas,” suara Nindya pecah.

 “Aku capek menanggung semua ini sendiri mari kita akhiri dan permudah!.”

Arman menyulut rokok, matanya sinis.

“Permudah?,apa yang di permudah jangan ngacau kamu.”

Nindya terdiam, dadanya sesak. Kata-kata itu seperti mengiris nadinya.

“Permudah jalanmu menemui perempuan itu , tidak perlu lagi alasan meeting dan lain lain.Tukas Nindya.

Arman mengangkat bahu.

“Kamu itu maunya apa Nindya hmm?, kamu itu istri yang tidak bersyukur.”

“Tidak bersyukur, apa yang harus aku syukuri Mas? Bersyukur punya suami tukang selingkuh maksud kamu?.” suara Nindya bergetar.

 “ Wanita manapun tidak sudi,suaminya tidur dengan perempuan lain Mas!.”

Armand berdiri, wajahnya mendekat.

“Kamu punya bukti aku tidur dengan perempuan lain?, buktikan Nindya!”Tantang Armand berang.

Dan di titik itu, Nindya tak bisa lagi menahan. Kata yang selama ini berputar-putar di kepalanya, akhirnya pecah keluar dari mulutnya.

“Kurang bukti apalagi?, aku permudah jalanmu ceraikan aku Mas.”

Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Armand terdiam beberapa detik, lalu tertawa pendek.

“Cerai?” Ia mendekat, menatap mata istrinya. “Itu yang kamu mau?, baik aku kabulkan keinginanmu.”Sahut Armand sambul mengulaskan senyum sinis.

Air mata Nindya jatuh, tapi suaranya mantap. “Terima kasih, maaf kalau selama jadi banyak kekurangan.”

Arman menghela napas, lalu meraih jaketnya. “Baiklah...siapkan alasanmu menggugat cerai kita bertemu di pengadilan”

Pintu rumah terbanting keras.

Di ruang tamu yang sunyi, Nindya berdiri dengan tubuh lemas. Matanya menatap kosong, air matanya tak berhenti mengalir. Sekalipun penuh luka, ada sesuatu yang aneh menyeruak dalam dadanya: rasa lega.

Untuk pertama kali, ia benar-benar jujur pada dirinya sendiri.

Malam itu, ia masuk ke kamar putrinya. Menatap wajah kecil yang tertidur pulas, pipinya lembut, bibirnya sedikit terbuka.

“Maafkan Mama Nak, jika jalan ini yang Mama tempuh” bisiknya lirih.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Nindya merasa bahwa keputusannya, seberapa pun pahitnya, adalah awal dari sesuatu yang baru.

Beberapa minggu setelah keputusan itu, rumah yang dulu terasa sesak dengan pertengkaran kini justru terlalu sunyi.

Ruang sidang itu dingin pendingin ruangan bekerja terlalu keras, membuat Nindya merapatkan Blazer di bahunya.

Ia tampak menonjol diantara para pengunjung sidang dengan blazer warna cream dan celana warna hitam, riasan tipis tidak mampu menahan beban yang ia tanggung selama ini.

Kursi-kursi kayu berjajar, penuh orang asing yang sama-sama membawa luka rumah tangga mereka. Bau kertas, tinta, dan sedikit debu bercampur jadi aroma yang asing di hidungnya.

Di ujung ruangan, hakim duduk dengan toga hitam, wajahnya datar. Di sisi kanan, Arman tampak rapi dengan jas abu-abu. Ia datang dengan langkah tegap, seakan ini hanya rapat kerja biasa. Tatapannya lurus ke depan, sama sekali tidak menoleh pada Nindya.

Hati Nindya tercekat. Orang yang dulu menatapnya dengan penuh cinta, kini duduk beberapa meter darinya, seperti orang asing.

“Sidang perkara perceraian atas nama penggugat Nindya Swardhani melawan tergugat Armand Alamsyah, dibuka,” suara hakim menggema, tegas.

Nindya menarik napas panjang. Tangannya bergetar ketika ia merapikan berkas di pangkuannya. Dalam hati ia bertanya, bagaimana mungkin hidup yang dulu dibangun dengan cinta, kini hanya tersisa setumpuk kertas berlogo pengadilan.

Hakim mulai membaca berkas alasan perceraian, bukti-bukti, kesaksian. Kata-kata itu meluncur kaku, nyaris tanpa emosi, tapi tiap kalimat menusuk jantung Nindya.

Perselingkuhan Kekerasan verbal hilangnya tanggung jawab. Semua yang dulu hanya jadi bisik-bisik di kepalanya, kini terucap lantang di ruang publik.

Arman akhirnya diminta bicara Ia berdiri, suaranya tenang, terlalu tenang.

“Yang Mulia, rumah tangga kami memang sudah tidak harmonis. Saya akui banyak kesalahan. Tapi saya tidak ingin anak kami jadi korban. Saya berharap hak asuh bisa dibagi.”

Kata-kata itu membuat darah Nindya mendidih.

Dibagi? Seperti membagi barang di gudang? Ia menoleh sekilas, menatap Arman. Wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

Ketika gilirannya tiba, suara Nindya bergetar. “Yang Mulia… saya harap pertimbangkan hak asuh anak kami tetap bersama saya,"

Hakim mengangguk, mencatat.

Nindya melanjutkan, kini lebih mantap,

“Saya tidak ingin anak saya tumbuh melihat ayahnya berganti-ganti pasangan. Saya tidak ingin mental dan moral anak saya rusak.”

Suasana ruang sidang mengeras. Beberapa orang di kursi belakang menunduk, ikut larut.

Arman berdeham, lalu berkata,

“Saya tidak keberatan anak ikut ibunya, tapi saya ingin tetap punya hak bertemu. Saya ayahnya.”

Untuk pertama kali, mata mereka bertemu. Nindya menatap lekat-lekat, berusaha mencari sedikit saja bayangan Armand yang dulu ia kenal. Tapi yang ia temukan hanya pantulan dingin, seperti kaca.

Air mata menumpuk di pelupuk, tapi ia tahan. Ia tidak mau menangis di depan pria itu lagi.

Hakim akhirnya mengetuk palu.

“Dengan ini, perkara perceraian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah. Hak asuh anak jatuh kepada Ibu, dengan hak kunjung bagi ayah. Sidang ditutup.”

Tiga ketukan palu itu terdengar seperti gong kematian sebuah mimpi. Nindya memejamkan mata. Sudah selesai. Tidak ada jalan kembali.

Setelah sidang, orang-orang keluar satu per satu. Armand berdiri duluan, menyalami kuasa hukumnya, lalu berjalan ke pintu. Ia tidak menoleh sedikit pun ke arah Nindya.

Nindya tetap duduk di kursinya, membiarkan ruangan sepi dulu. Baru ketika hanya tersisa suara langkah satpam, ia berdiri. Kakinya gemetar, tapi hatinya anehnya lebih ringan.

Di luar gedung pengadilan, langit Batam mendung. Angin membawa aroma laut yang samar. Nindya menatap ke atas, lalu menarik napas dalam-dalam.

“Tegakkan dagumu Nindya sambut dunia baru.” bisiknya pada diri sendiri.

Di dadanya masih ada sisa sakit, tapi ada juga sesuatu yang baru: harapan tipis bahwa hidup bisa dimulai ulang.

Dan entah kenapa, meski wajah Armand masih menempel di kepalanya, ia merasa perlahan pintu lama sudah benar-benar tertutup.

Malam itu, ketika menidurkan putrinya, Nindya mencium kening kecil itu lebih lama dari biasanya.

“Kita mulai dari awal, ya, Nak,” katanya pelan.

Si kecil menggumam dalam tidur, seakan menjawab.

Nindya tersenyum samar. Untuk pertama kali setelah sekian lama, senyum itu lahir tanpa dipaksa.

Batam sore itu basah oleh hujan.Jalanan berkilau, lampu-lampu toko memantul di aspal licin. Nindya berjalan cepat melewati lobi hotel tempatnya bekerja sementara waktu sebagai staf administrasi lepas. Kemeja putihnya sudah agak lembap, rambut panjangnya menempel di pipi.

Ia menunduk, sibuk merapikan map berisi dokumen yang harus ia serahkan ke bagian manajemen. Hujan, kerjaan yang menumpuk, dan pikiran tentang biaya sekolah anaknya membuat kepalanya berat.

Lalu ia menabrak seseorang.

Map di tangannya jatuh, kertas-kertas berhamburan di lantai marmer yang mengilap. Nindya buru-buru jongkok, memungut satu per satu sambil meminta maaf.

“Aduh maaf sekali, saya terburu buru.”

Sebuah tangan besar ikut meraih kertas yang tercecer. Suara berat, tenang, berkata,

“It's okay.”

Nindya mendongak. Lelaki itu berdiri tegap, tinggi, dengan setelan jas biru gelap yang pas di tubuh. Rambut hitamnya disisir rapi, rahangnya tegas, ada aura percaya diri yang sulit diabaikan. Tatapan matanya tajam tapi tidak kasar.

“Terima kasih,” kata Nindya cepat-cepat, meraih dokumen dari tangannya. Ia merasa pipinya panas, bukan karena terik matahari.

Lelaki itu tersenyum tipis.

“Andrew,” katanya sambil sedikit menunduk, memperkenalkan diri tanpa diminta.

“Saya baru ditempatkan di sini, untuk proyek galangan.”

Nindya hanya mengangguk.

“Saya Nindya.” Ia tak berniat menjelaskan lebih jauh. Baginya, percakapan singkat sudah cukup. Tapi entah kenapa, nama itu—Andrew—menempel di kepalanya.

Hari-hari berikutnya, wajah itu kembali muncul. Andrew ternyata sering berada di hotel yang sama, tempat rapat dengan klien atau sekadar transit sebelum ke Singapura. Setiap kali bertemu, ia selalu menyapa, seakan benar-benar mengingat.

“Pagi, Nindya.”

Sapaan sederhana, tapi berbeda dengan sikap Armand dulu yang makin lama makin dingin.

Awalnya, Nindya membalas dengan basa-basi kaku. Tapi perlahan, ia mulai membuka sedikit ruang. Bukan karena ingin, tapi karena Andrew seakan tahu cara berbicara tanpa menekan.

Bab 3

Lobi hotel sore itu ramai oleh lalu-lalang tamu yang baru turun dari kapal feri Singapura. Suara roda koper beradu dengan lantai marmer, bercampur dengan dering telepon di meja resepsionis.

Nindya berdiri tegak di balik meja, seragam putih dan blazer hitamnya rapi, senyumnya profesional—senyum yang sudah terlatih bertahun-tahun, bahkan ketika hatinya masih penuh dengan sisa luka perceraian.

Ia baru saja menyelesaikan proses check-in untuk sepasang turis ketika seorang pria tinggi dengan langkah mantap masuk. Dari cara ia melangkah, dari potongan jasnya yang pas badan, jelas ia bukan wisatawan biasa. Aura eksekutif terpancar dari tiap geraknya. Mata Nindya sempat menangkap siluetnya sekilas, sebelum ia kembali menunduk pada komputer di depannya.

“Good evening, sir. May I help you?” suara salah satu staf resepsionis junior terdengar sopan.

Pria itu—Andrew—menyodorkan paspor dan konfirmasi pemesanan. Nindya tidak berniat ikut campur, sampai ia melihat ekspresi ragu staf junior yang tampak kebingungan.

Ada masalah di layar sistem reservasi atas nama Andrew tampak ganda, satu untuk single room, satu lagi suite, dengan tanggal berbeda. Jika salah ditangani, bisa berakibat buruk—terlebih untuk tamu seperti ini.

“Kenapa Nir, boleh saya ambil alih sebentar?”

"Reservasinya ganda Kak."

Nindya mendekat, suaranya tenang. Ia menoleh sekilas pada Andrew dan memberi senyum profesional.

“Mohon maaf, ada sedikit kendala di sistem. Saya akan bantu pastikan kamar Anda tersedia sesuai pesanan.”

Andrew mengangguk singkat. Ia menatap Nindya sekilas, seperti menilai seseorang yang baru ditemuinya. Ada sorot waspada di matanya, tapi juga rasa ingin tahu.

Jari-jari Nindya lincah menari di atas keyboard. Sambil memeriksa, ia menjelaskan dengan tenang,

“Sepertinya ada duplikasi data dari sistem online. Bapak memesan untuk tanggal berbeda, tapi sudah kami pastikan suite yang Bapak inginkan malam ini tersedia.”

Andrew memperhatikan cara Nindya bicara jelas, tanpa bertele-tele, tidak seperti banyak staf yang sering terdengar gugup di hadapan tamu penting. “Efficient,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.

Nindya hanya tersenyum tipis, melanjutkan pekerjaannya. Tak ada alasan untuk larut dalam komentar. Baginya, tamu tetap tamu. Ada aturan tak tertulis di dunia hospitality jangan biarkan jarak profesional itu runtuh.

Setelah beberapa menit, masalah selesai.

“All set, Pak Ini kunci kamar Anda ada kebutuhan khusus yang ingin kami siapkan?.”

Andrew menerima keycard itu, matanya kembali menatap Nindya. Bukan tatapan genit, bukan pula tatapan sekadar basa-basi. Lebih seperti tatapan seseorang yang sedang mengukur siapa perempuan di balik seragam ini, yang bisa tetap tenang bahkan ketika situasi berantakan?.

“Terima kasih… Nindya,Swardhani?” Ia sempat melirik name tag di blazer hitamnya.

"Nama yang indah."

“Terimakasih Selamat beristirahat,” jawab Nindya singkat, tetap dengan senyum formal.

Andrew mengangguk, lalu beranjak pergi bersama bellboy yang membantunya membawa koper.

Bagi Nindya, itu hanya satu dari sekian banyak interaksi hari itu. Ia tidak menaruh hati, tidak memberi makna apa-apa.

Tapi Andrew, di kamarnya malam itu, sempat mengulang namanya dalam hati. Nindya. Nama yang terdengar sederhana, tapi entah kenapa meninggalkan jejak.

Beberapa hari berikutnya, Andrew sering terlihat di lobi hotel, keluar-masuk untuk urusan bisnisnya dengan klien lokal.

Nindya tetap menjaga sikap: menyapa sekadarnya, memastikan layanan berjalan mulus, tidak lebih.

Tapi justru jarak profesional itulah yang membuat Andrew memperhatikannya lebih jauh. Ia terbiasa dengan wanita yang terlalu berusaha mendekat, entah karena rupanya, jabatannya, atau dompetnya. Nindya berbeda—ada dinding yang tidak mudah ditembus.

Sampai suatu sore, Andrew kembali ke meja resepsionis, wajahnya agak tegang. Ada dokumen penting yang ia butuhkan untuk meeting mendadak, tapi koper yang membawanya tertinggal di pelabuhan. Timnya terlambat mengurus.

“Apakah Anda bisa bantu kontak agen pelabuhan untuk mempercepat pengiriman barang saya?” tanyanya pada staf.

Staf lain tampak bingung. Nindya akhirnya melangkah maju.

“Boleh saya yang bantu,Pak.saya punya kenalan dipelabuhan mungkin bisa lebih cepat kalau langsung dihubungi.”

Andrew menatapnya lagi. Kali ini ada secercah lega di wajahnya.

“Saya akan berterima kasih sekali jika itu bisa diatur.”

Nindya mengangkat telepon, bicara dengan suara tegas tapi sopan. Sepuluh menit kemudian, masalah selesai: koper Andrew dijamin sampai ke hotel dalam satu jam.

“Done, Pak tidak perlu cemas.”

Andrew terdiam sejenak, lalu mengangguk. “You’re… impressive.” Kalimat itu meluncur begitu saja, tanpa basa-basi.

Nindya hanya tersenyum tipis, menunduk sedikit.

“Itu memang bagian dari pekerjaan saya.”

Andrew tahu batas itu, dan tidak mencoba melewatinya. Tapi dalam diam, benih kecil sudah tertanam.

Malamnya, ketika lobi hotel mulai lengang, Nindya berjalan pulang dengan langkah letih. Ia tidak menyadari bahwa dari balkon lounge lantai dua, Andrew sempat memperhatikannya sekilas.

Bagi Andrew, ia hanyalah perempuan dengan seragam hotel. Namun sesuatu dalam keteguhan cara berjalan, dan ketenangan saat menghadapi masalah, membuatnya ingin tahu lebih jauh.

Sedangkan bagi Nindya, hari itu sama saja dengan hari-hari lain. Ia tidak menoleh ke belakang, tidak menyadari bahwa hidupnya baru saja bersentuhan dengan arah baru.

Keesokan paginya, Andrew kembali melewati meja resepsionis, hendak keluar untuk pertemuan bisnis. Kali ini ia tidak buru-buru. Ia berhenti sebentar, menoleh pada Nindya.

“Selamat pagi,” sapanya dalam bahasa Indonesia yang terdengar fasih, meski dengan sedikit aksen inggris.

Nindya mengangguk sopan.

“Selamat pagi, Pak.”

Andrew menambahkan,

“Batam panas ya,”

"Betul Batam panas sekali."

Ucapan sederhana, tapi bagi Nindya, jarang ada tamu yang repot-repot memedulikan staf hotel. Ia hanya menjawab singkat,”

Andrew tersenyum, lalu melangkah keluar.

Nindya menatap punggungnya sebentar sebelum kembali pada layar komputer. Ia tahu batas, ia tahu aturan. Tapi di balik profesionalitas itu, ada sesuatu yang bergerak pelan dalam dirinya—sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa ia tolak.

Andrew, di sisi lain, sudah terbiasa melihat orang menunduk hormat padanya, atau berusaha mengambil perhatiannya dengan cara murahan. Nindya berbeda. Ia dingin, menjaga jarak, tapi justru itulah yang membuatnya semakin penasaran.

Perempuan itu… siapa sebenarnya? pikir Andrew, saat mobil kantor membawanya menuju pertemuan di shipyard.

Siang di Batam selalu sibuk. Kapal feri keluar-masuk pelabuhan, mengangkut pekerja dan turis dari Singapura. Dari jendela kamarnya,

Andrew menatap laut yang berkilau diterpa cahaya matahari. Ia berdiri lama, memikirkan rapat dengan klien galangan kapal sore nanti, tapi pikirannya terus kembali ke meja resepsionis di lantai bawah.

Perempuan itu… Nindya.

Ia menekan pelipisnya, sedikit kesal pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia membiarkan pikiran bercabang hanya karena seorang staf hotel? Tapi justru karena itu, ia semakin penasaran.

Di lobi, Nindya sibuk dengan antrean tamu. Ia memeriksa paspor, menggesek kartu kredit, memberi instruksi pada bellboy. Semua berjalan biasa sampai Andrew muncul. Ia tidak tergesa, hanya berdiri menunggu gilirannya meski jelas ia bisa saja langsung diprioritaskan.

Ketika akhirnya tiba di depan meja, ia meletakkan selembar kertas.

“Saya butuh bantuan, Nindya. Ada perubahan jadwal meeting dengan klien. Bisa tolong cetakkan ulang itinerary saya? Saya tidak terlalu paham dengan sistem cetak di sini.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!