Malam harinya, pertengkaran tak terhindarkan.
“Aku capek dengan semua ini Mas,” suara Nindya pecah.
“Aku capek menanggung semua ini sendiri mari kita akhiri dan permudah!.”
Arman menyulut rokok, matanya sinis.
“Permudah?,apa yang di permudah jangan ngacau kamu.”
Nindya terdiam, dadanya sesak. Kata-kata itu seperti mengiris nadinya.
“Permudah jalanmu menemui perempuan itu , tidak perlu lagi alasan meeting dan lain lain.Tukas Nindya.
Arman mengangkat bahu.
“Kamu itu maunya apa Nindya hmm?, kamu itu istri yang tidak bersyukur.”
“Tidak bersyukur, apa yang harus aku syukuri Mas? Bersyukur punya suami tukang selingkuh maksud kamu?.” suara Nindya bergetar.
“ Wanita manapun tidak sudi,suaminya tidur dengan perempuan lain Mas!.”
Armand berdiri, wajahnya mendekat.
“Kamu punya bukti aku tidur dengan perempuan lain?, buktikan Nindya!”Tantang Armand berang.
Dan di titik itu, Nindya tak bisa lagi menahan. Kata yang selama ini berputar-putar di kepalanya, akhirnya pecah keluar dari mulutnya.
“Kurang bukti apalagi?, aku permudah jalanmu ceraikan aku Mas.”
Ruangan mendadak sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar. Armand terdiam beberapa detik, lalu tertawa pendek.
“Cerai?” Ia mendekat, menatap mata istrinya. “Itu yang kamu mau?, baik aku kabulkan keinginanmu.”Sahut Armand sambul mengulaskan senyum sinis.
Air mata Nindya jatuh, tapi suaranya mantap. “Terima kasih, maaf kalau selama jadi banyak kekurangan.”
Arman menghela napas, lalu meraih jaketnya. “Baiklah...siapkan alasanmu menggugat cerai kita bertemu di pengadilan”
Pintu rumah terbanting keras.
Di ruang tamu yang sunyi, Nindya berdiri dengan tubuh lemas. Matanya menatap kosong, air matanya tak berhenti mengalir. Sekalipun penuh luka, ada sesuatu yang aneh menyeruak dalam dadanya: rasa lega.
Untuk pertama kali, ia benar-benar jujur pada dirinya sendiri.
Malam itu, ia masuk ke kamar putrinya. Menatap wajah kecil yang tertidur pulas, pipinya lembut, bibirnya sedikit terbuka.
“Maafkan Mama Nak, jika jalan ini yang Mama tempuh” bisiknya lirih.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Nindya merasa bahwa keputusannya, seberapa pun pahitnya, adalah awal dari sesuatu yang baru.
Beberapa minggu setelah keputusan itu, rumah yang dulu terasa sesak dengan pertengkaran kini justru terlalu sunyi.
Ruang sidang itu dingin pendingin ruangan bekerja terlalu keras, membuat Nindya merapatkan Blazer di bahunya.
Ia tampak menonjol diantara para pengunjung sidang dengan blazer warna cream dan celana warna hitam, riasan tipis tidak mampu menahan beban yang ia tanggung selama ini.
Kursi-kursi kayu berjajar, penuh orang asing yang sama-sama membawa luka rumah tangga mereka. Bau kertas, tinta, dan sedikit debu bercampur jadi aroma yang asing di hidungnya.
Di ujung ruangan, hakim duduk dengan toga hitam, wajahnya datar. Di sisi kanan, Arman tampak rapi dengan jas abu-abu. Ia datang dengan langkah tegap, seakan ini hanya rapat kerja biasa. Tatapannya lurus ke depan, sama sekali tidak menoleh pada Nindya.
Hati Nindya tercekat. Orang yang dulu menatapnya dengan penuh cinta, kini duduk beberapa meter darinya, seperti orang asing.
“Sidang perkara perceraian atas nama penggugat Nindya Swardhani melawan tergugat Armand Alamsyah, dibuka,” suara hakim menggema, tegas.
Nindya menarik napas panjang. Tangannya bergetar ketika ia merapikan berkas di pangkuannya. Dalam hati ia bertanya, bagaimana mungkin hidup yang dulu dibangun dengan cinta, kini hanya tersisa setumpuk kertas berlogo pengadilan.
Hakim mulai membaca berkas alasan perceraian, bukti-bukti, kesaksian. Kata-kata itu meluncur kaku, nyaris tanpa emosi, tapi tiap kalimat menusuk jantung Nindya.
Perselingkuhan Kekerasan verbal hilangnya tanggung jawab. Semua yang dulu hanya jadi bisik-bisik di kepalanya, kini terucap lantang di ruang publik.
Arman akhirnya diminta bicara Ia berdiri, suaranya tenang, terlalu tenang.
“Yang Mulia, rumah tangga kami memang sudah tidak harmonis. Saya akui banyak kesalahan. Tapi saya tidak ingin anak kami jadi korban. Saya berharap hak asuh bisa dibagi.”
Kata-kata itu membuat darah Nindya mendidih.
Dibagi? Seperti membagi barang di gudang? Ia menoleh sekilas, menatap Arman. Wajahnya tetap dingin, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Ketika gilirannya tiba, suara Nindya bergetar. “Yang Mulia… saya harap pertimbangkan hak asuh anak kami tetap bersama saya,"
Hakim mengangguk, mencatat.
Nindya melanjutkan, kini lebih mantap,
“Saya tidak ingin anak saya tumbuh melihat ayahnya berganti-ganti pasangan. Saya tidak ingin mental dan moral anak saya rusak.”
Suasana ruang sidang mengeras. Beberapa orang di kursi belakang menunduk, ikut larut.
Arman berdeham, lalu berkata,
“Saya tidak keberatan anak ikut ibunya, tapi saya ingin tetap punya hak bertemu. Saya ayahnya.”
Untuk pertama kali, mata mereka bertemu. Nindya menatap lekat-lekat, berusaha mencari sedikit saja bayangan Armand yang dulu ia kenal. Tapi yang ia temukan hanya pantulan dingin, seperti kaca.
Air mata menumpuk di pelupuk, tapi ia tahan. Ia tidak mau menangis di depan pria itu lagi.
Hakim akhirnya mengetuk palu.
“Dengan ini, perkara perceraian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah. Hak asuh anak jatuh kepada Ibu, dengan hak kunjung bagi ayah. Sidang ditutup.”
Tiga ketukan palu itu terdengar seperti gong kematian sebuah mimpi. Nindya memejamkan mata. Sudah selesai. Tidak ada jalan kembali.
Setelah sidang, orang-orang keluar satu per satu. Armand berdiri duluan, menyalami kuasa hukumnya, lalu berjalan ke pintu. Ia tidak menoleh sedikit pun ke arah Nindya.
Nindya tetap duduk di kursinya, membiarkan ruangan sepi dulu. Baru ketika hanya tersisa suara langkah satpam, ia berdiri. Kakinya gemetar, tapi hatinya anehnya lebih ringan.
Di luar gedung pengadilan, langit Batam mendung. Angin membawa aroma laut yang samar. Nindya menatap ke atas, lalu menarik napas dalam-dalam.
“Tegakkan dagumu Nindya sambut dunia baru.” bisiknya pada diri sendiri.
Di dadanya masih ada sisa sakit, tapi ada juga sesuatu yang baru: harapan tipis bahwa hidup bisa dimulai ulang.
Dan entah kenapa, meski wajah Armand masih menempel di kepalanya, ia merasa perlahan pintu lama sudah benar-benar tertutup.
Malam itu, ketika menidurkan putrinya, Nindya mencium kening kecil itu lebih lama dari biasanya.
“Kita mulai dari awal, ya, Nak,” katanya pelan.
Si kecil menggumam dalam tidur, seakan menjawab.
Nindya tersenyum samar. Untuk pertama kali setelah sekian lama, senyum itu lahir tanpa dipaksa.
Batam sore itu basah oleh hujan.Jalanan berkilau, lampu-lampu toko memantul di aspal licin. Nindya berjalan cepat melewati lobi hotel tempatnya bekerja sementara waktu sebagai staf administrasi lepas. Kemeja putihnya sudah agak lembap, rambut panjangnya menempel di pipi.
Ia menunduk, sibuk merapikan map berisi dokumen yang harus ia serahkan ke bagian manajemen. Hujan, kerjaan yang menumpuk, dan pikiran tentang biaya sekolah anaknya membuat kepalanya berat.
Lalu ia menabrak seseorang.
Map di tangannya jatuh, kertas-kertas berhamburan di lantai marmer yang mengilap. Nindya buru-buru jongkok, memungut satu per satu sambil meminta maaf.
“Aduh maaf sekali, saya terburu buru.”
Sebuah tangan besar ikut meraih kertas yang tercecer. Suara berat, tenang, berkata,
“It's okay.”
Nindya mendongak. Lelaki itu berdiri tegap, tinggi, dengan setelan jas biru gelap yang pas di tubuh. Rambut hitamnya disisir rapi, rahangnya tegas, ada aura percaya diri yang sulit diabaikan. Tatapan matanya tajam tapi tidak kasar.
“Terima kasih,” kata Nindya cepat-cepat, meraih dokumen dari tangannya. Ia merasa pipinya panas, bukan karena terik matahari.
Lelaki itu tersenyum tipis.
“Andrew,” katanya sambil sedikit menunduk, memperkenalkan diri tanpa diminta.
“Saya baru ditempatkan di sini, untuk proyek galangan.”
Nindya hanya mengangguk.
“Saya Nindya.” Ia tak berniat menjelaskan lebih jauh. Baginya, percakapan singkat sudah cukup. Tapi entah kenapa, nama itu—Andrew—menempel di kepalanya.
Hari-hari berikutnya, wajah itu kembali muncul. Andrew ternyata sering berada di hotel yang sama, tempat rapat dengan klien atau sekadar transit sebelum ke Singapura. Setiap kali bertemu, ia selalu menyapa, seakan benar-benar mengingat.
“Pagi, Nindya.”
Sapaan sederhana, tapi berbeda dengan sikap Armand dulu yang makin lama makin dingin.
Awalnya, Nindya membalas dengan basa-basi kaku. Tapi perlahan, ia mulai membuka sedikit ruang. Bukan karena ingin, tapi karena Andrew seakan tahu cara berbicara tanpa menekan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments