Bab 5. Luka yang Terbuka Kembali

Suara sahabatnya itu membuat dinding pertahanan Gendis runtuh. "Ayaka, aku sudah di apartemen. Aya, aku ...." Suaranya pecah, tenggelam oleh isak.

"Aku ke sana sekarang," potong Ayaka cepat.

Ayaka langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Dia bergegas turun ke lobi dan memesan taksi. Sepanjang perjalanan perempuan tersebut terus berdoa agar sang sahabat baik-baik saja.

Tak sampai setengah jam, bel rumah berbunyi. Ayaka berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat karena terburu-buru. Begitu melihat Gendis, dia langsung memeluknya erat. Tubuh Gendis bergetar dalam dekapan.

"Ayo masuk," bisik Ayaka lembut.

Ayaka mengajak sahabatnya kembali masuk. Mereka duduk di ruang tamu. Ayaka menggenggam tangan Gendis, menatap dalam seakan ingin menyalurkan kekuatan lewat tatapan itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku dapat kabar kalau kamu bertemu seseorang dan malah menuju rumah sakit. Apa kamu sakit? Apa kamu terluka?" tanya Ayaka pelan sambil meneliti kondisi Gendis.

Gendis menarik napas panjang, lalu mulai menceritakan segalanya. Tentang Reina yang menangis di pelukan Hiro, tentang sentuhan kecil di pipinya, tentang rasa sesak yang tiba-tiba meledak. Kata-kata itu mengalir seperti banjir yang tak terbendung.

"Aku merasakan sesuatu yang tak bisa kujelaskan, Ayaka," ucap Gendis serak.

"Saat Reina menyentuhku, seolah ... seolah aku diberi kesempatan kedua. Hatiku berteriak, tubuhku merespons. Aku ingin menjadi ibu ... setidaknya bagi dirinya." Suara Gendis masih bergetar di antara isak tangis.

Ayaka terdiam. Kedua alisnya terangkat. Tatapan penuh tanya kini dia berikan kepada Gendis.

"Maksudmu ...?"

"Aku akan menjadi ibu susu untuk Reina," jawab Gendis dengan suara mantap, meski matanya berkaca-kaca.

Sunyi menyelimuti ruangan. Detik jam terdengar begitu jelas. Waktu seperti membeku selama beberapa saat.

"Aku tahu ini keputusan gila. Aku bahkan baru saja kehilangan bayiku. Tapi, Ayaka, aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Reina butuh ASI dan aku ... aku butuh alasan untuk tetap bernapas. Kalau tidak, aku mungkin akan benar-benar hancur."

Gendis menunduk, menatap jemarinya yang saling meremas. "Aku merasa bersalah. Seolah mengkhianati bayiku sendiri. Tapi di sisi lain, aku tahu inilah satu-satunya cara agar ASI-ku tidak terbuang sia-sia. Agar cintaku tidak membusuk dalam dada yang kosong."

Ayaka menatap sahabatnya tanpa berkedip. Bibirnya sempat terbuka, tetapi hanya hela napas yang keluar. Matanya memancarkan keterkejutan sekaligus kekhawatiran.

"Ayaka, aku butuh pendapatmu," pinta Gendis dengan suara bergetar, tetapi harap sekaligus takut yang membaur.

"Apakah aku salah? Apakah aku terlalu lemah, sampai mencari pengganti bayiku pada anak orang lain?"

Ayaka terdiam lama. Ruangan terasa semakin dingin. Gendis menunggu dengan napas terengah, jantungnya berdentam di dada. Namun, sahabatnya itu masih membisu.

Sorot mata Ayaka bergeser ke lantai, lalu kembali menatap Gendis. Ada kilatan rasa iba di sana, tetapi juga keraguan yang sulit disembunyikan.

"Ayaka ...." Suara Gendis melemah. Dia mengulurkan tangan, menggenggam lebih erat sahabatnya. "Tolong katakan sesuatu."

Namun, Ayaka tetap tak bersuara. Bibirnya terkatup rapat, matanya berkaca-kaca, seolah kalimat yang ingin dia ucapkan terlalu berat untuk dilepaskan.

Gendis menatap wajah itu, mencoba membaca jawaban yang tersimpan di balik keheningan. Akan tetapi, yang dia dapat hanyalah bayangan samar serta tanda tanya yang menggantung di udara.

Malam semakin larut. Di luar, hujan turun pelan, menetes di jendela seperti irama detak jantung yang tak menentu. Gendis masih menunggu Ayaka yang masih terdiam. Kini di antara mereka berdua, ada sebuah keputusan besar yang belum menemukan suara.

"Ndis, begini ...." Ayaka tampak menelan ludah sebelum akhirnya kembali bicara.

"Sebenarnya ini hakmu untuk mengambil keputusan. Tapi ...." Bibir Ayaka sedikit berkedut kali ini.

"Jangan terlalu terlibat lebih banyak dengan Hiro dan keluarganya."

Gendis mengusap air mata yang masih terus meleleh membasahi pipi. Perempuan tersebut mengerutkan dahi dan menatap sang sahabat tanpa bertanya. Suasana mendadak hening dan menjadi lebih canggung.

"Apa kamu mengenal Hiro dan keluarganya?"

"Ng-nggak! Bagaimana bisa aku mengenalnya. Bahkan aku tahu nama Hiro baru saja."

Gendis masih terdiam. Bahunya sesekali tersentak karena isak yang enggan berhenti. Dia sesekali melirik curiga ke arah Ayaka.

"Begini, Ndis. Aku hanya merasa kamu akan mendapatkan banyak masalah nanti. Kenapa kamu nggak mencoba memulai hidup baru saja. Jangan kembali terlibat dengan orang-orang dari masa lalumu, Ndis. Aku khawatir kamu akan kembali terluka." Suara Ayaka kini lebih lembut, begitu juga dengan tatapannya.

"Kamu sudah berjuang sejauh ini untuk memulai hidup baru, Ndis. Aku hanya khawatir." Ayaka menggenggam jemari sang sahabat.

Gendis mengangguk dan kembali menghapus air matanya. Dia mulai paham dengan maksud sang sahabat. Malam itu Ayaka menemani Gendis dan memutuskan untuk menginap di sana.

***

"Bagaimana kondisinya?" tanya Gendis ketika menemui Hiro di depan rumah sakit.

"Perlahan membaik, dokter memberikan nutrisi parenteral melalui infus sampai Rei bisa mendapatkan ASI. Di usianya sekarang belum memungkinkan mendapat susu pengganti dari soya karena ada kekhawatiran alergi silang." Hiro terus berjalan sambil menatap lurus ke depan.

Gendis sesekali mendongak untuk melihat ekspresi lelaki tersebut. Wajah Hiro tampak sangat tenang. Namun, di balik kacamata yang membingkai mata Hiro, Gendis bisa melihat banyak kekhawatiran di sana.

Sepanjang perjalanan menuju kamar rawat Reina, Gendis mulai perlahan menceritakan semua. Tentang awal mula dia mengandung, hingga bisa memiliki bayi meski akhirnya harus berpisah bahkan sebelum bayinya berbapas. Hiro hanya diam, tak ada respons apa pun.

Kali ini Hiro hanya menjadi pendengar. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya keduanya sampai di depan kamar inap Reina.

"Ayo, masuk!" Hiro tersenyum tipis kemudian membukakan pintu untuk Gendis.

Saat masuk pengasuh Reina sedang berusaha menenangkan bayi tersebut Gendis melangkah cepat mendekati Reina. Dia menatap bayi itu dengan pupil yang kembali bergetar. Reina perlahan berhenti menangis.

"Sepertinya dia menginginkan sosok ibu," celetuk sang pengasuh dalam bahasa Jepang.

Gendis tak sepenuhnya memahami apa yang diucap oleh wanita tersebut. Dia hanya tersenyum sopan, kemudian kembali menimang Raina. Di sisi lain, Hiro mulai mengeluarkan laptop dalam tas.

Lelaki tersebut membuka sebuah folder dari diska lepas berwarna putih yang ditancapkan. Matanya menatap layar dengan pupil terus bergerak. Mencari-cari sesuatu untuk memastikan satu hal.

Usai mendapat apa yang dia cari, Hiro menekan tetikus dan sebuah dokumen tampil di sana. Pupil matanya melebar seketika. Bibirnya berkedut dengan tenggorokan yang menelan ludah berulang kali.

"Ya Tuhan, apa-apaan ini?" gumam Hiro lirih, sehingga hanya dia yang bisa mendengar.

Terpopuler

Comments

Esther Lestari

Esther Lestari

Siapa Hiro dimasa lalu Gendis ?
Kenapa Ayaka mengatakan Gendis harus hati-hati dengan Hiro

2025-09-06

1

Tri Handayani

Tri Handayani

thorrr...pingin tau masa lalu gendis'

2025-09-06

1

Ida Nur Hidayati

Ida Nur Hidayati

siapa sebenarnya Hiro...

2025-09-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!