Gendis terdiam. Dia menatap Hiro dengan pupil bergetar. Tanpa sadar dia menggigit bibir bawah bagian dalam.
"Apa ... pertanyaan ini wajib kujawab?" tanya Gendis sambil menatap sendu Hiro.
Hiro mengalihkan tatapannya. Dia tersenyum tipis dan mulai menggenggam roda kemudi. Hiro tak lagi bertanya karena dia sebenarnya sudah tahu jawabannya dari apa yang terlihat.
Mobil melaju keluar dari basement, meninggalkan cahaya panggung dan tepuk tangan di belakang. Bagi Gendis, hari ini adalah ujian tentang keberanian, keteguhan, dan sedikit rahasia yang hanya Hiro yang tahu.
Gedung pencakar langit di ibukota seakan tengah mengantarkan Gendis pada kenyataan yang kembali harus dia hadapi. Keheningan di antara dua insan Tuhan itu pecah karena jeritan ponsel. Hiro meraih ponsel dalam saku dan menekan tombol pengeras suara.
"Pak, Nona Kecil badannya panas." Suara panik dari ujung telepon tak serta merta membuat Hiro ikut cemas.
"Sudah diberi obat penurun panas?" tanya Hiro tenang.
"Sudah, Pak. Tapi justru semakin naik tiap jam."
Dari ujung telepon mulai terdengar tangisan bayi. Mendengar suara itu entah mengapa membuat Gendis merasa teriris. Matanya mulai sebak dan napas perempuan tersebut putus-putus.
Keringat dingin mengucur dan tangan Gendis mulai dingin. Wajahnya pun mendadak pucat. Dadanya semakin terasa sesak sehingga membuat Gendis tanpa sadar mencengkeram lengan Hiro.
"Aku akan segera pulang. Coba tenangkan Reina dulu." Hiro bergegas menepikan mobilnya.
Lelaki tersebut melepaskan sabuk pengaman dan langsung mendekatkan tubuh pada Gendis. Bibir Gendis perlahan terbuka. Ada sesuatu yang hendak diucapkan olehnya.
"Ndis, kamu kenapa?" Hiro perlahan panik.
Sulit dicerna dengan akal sehat. Namun, ini kenyataannya. Ketika Hiro mendengar kabar bayi yang sedang panas dan menangis di ujung telepon, dia tetap bisa tenang.
Akan tetapi, saat melihat Gendis terlihat sesak dan menderita malah Hiro tampak begitu panik. Lelaki tersebut mulai mencondongkan tubuh ke arah Gendis. Dia membantunya melepaskan sabuk pengaman.
"Sedikit membungkuk, Ndis. Ayo, atur napas perlahan. Tarik napas ... buang ... ayo ulangi." Hiro mencoba untuk menenangkan Gendis.
Gendis pun mengikuti instruksi dengan baik. Keringat dingin perlahan berhenti mengalir. Napasnya pun tak lagi sesak.
Hiro bisa sedikit mengembuskan napas lega. Dia kini menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Sementara itu, Gendis masih mengatur napas.
"Sudah lebih baik?" tanya Hiro dan dijawab dengan sebuah anggukan oleh Gendis.
"Kalau begitu, aku antar kamu pulang."
Ketika baru saja Hiro kembali memakai sabuk pengaman, sebuah panggilan kembali masuk. Pengasuh Reina kali ini menangis. Hiro langsung panik.
"Bawa ke rumah sakit! Aku akan menyusul kalian sekarang!" ujar Hiro.
Gendis yang mendengar percakapan itu pun mengerutkan dahi. Dia hendak bertanya kepada Hiro, tetapi berusaha tak ingin tahu lebih banyak. Dia menekan rasa ingin tahunya.
"Ikut aku dulu ke rumah sakit, ya? Jika kamu enggan ikut masuk, sampai sana akan kupesankan taksi."
Gendis terdiam. Rumah sakit ke rumahnya tentu berlawanan arah. Akan tetapi bisa, ditempuh dalam waktu bersamaan.
Situasi Hiro terlihat lebih mendesak dari pada jika Gendis pulang ke rumah. Jadi, dia hanya mengangguk dan bersedia mengikuti Hiro. Bukan karena menggantungkannya untuk mengantar ke rumah, melainkan ingin tahu siapa itu Reina dan kenapa bocah itu bisa membuat lelaki tersebut panik.
Mobil Hiro kembali melaju dengan cepat, tetapi tenang dan stabil di jalanan. Tak terburu-buru, apalagi ugal-ugalan. Di tengah situasi itu, Hiro masih bisa dikatakan tenang.
"Maaf, karena harus menunda mengantarmu pulang. Setelah sampai di sana aku akan memesankan taksi."
"Nggak usah, Pak. Aku akan menemanimu menemui ... Re---" Ucapan Gendis menggantung di udara.
"Reina, dia putriku," sahut Hiro sambil tersenyum tipis.
Gendis hanya mengangguk sekilas. Dia memainkan jemari di atas tas yang ada pada pangkuannya. Hiro kembali fokus pada jalanan, sementara Gendis melamun.
Tangisan Reina masih terngiang jelas di telinganya. Saat mendengar tangisan itu, rasa tak nyaman muncul. Dia teringat bayi yang dilahirkan, tetapi tak pernah mendengar tangisnya sekali pun.
Tanpa Gendis sadari, mereka sudah sampai di rumah sakit. Hiro segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke rumah sakit. Bahkan dia melupakan Gendis yang masih ada di dalam mobil.
"Sepertinya dia sangat panik. Pantas menjadi ayah yang baik," ucap Gendis sebelum akhirnya keluar dari mobil.
Hiro terlihat buru-buru kali ini, seolah sedang mengejar sesuatu. Dia tidak berlari, tetapi langkahnya begitu panjang demi mempersingkat waktu menuju IGD. Gendis yang menggunakan sepatu hak tinggi berusaha mengimbangi langkahnya dengan tertatih.
Sesekali Gendis kehilangan keseimbangan karena hak sepatu yang sedikit rusak. Ya, lemnya mulai tidak kuat karena sudah lama tak dipakai. Ketika sampai di IGD, dia melihat Hiro sedang berbincang dengan dokter.
Gendis menahan diri untuk tidak langsung menghampiri. Dia memperhatikan dari kejauhan dan mengamati ekspresi Hiro. Lelaki itu sekilas terlihat tenang, tetapi bahasa tubuhnya tidak bisa dibohongi.
"Dia sedang panik," gumam Gendis ketika melihat Hiro yang tak benar-benar berdiri tenang.
Setelah dokter pergi, Gendis mulai mendekati Hiro. Lelaki itu menoleh ke arah Gendis dan memaksakan senyum. Lelaki tersebut mendaratkan tubuh pada sebuah bangku yang ada di depan IGD.
"Maaf, aku terlalu panik sampai lupa kalau harus memesankanmu taksi." Hiro menunduk sambil menatap layar ponselnya.
"Iya, nggak apa-apa. Aku paham kenapa kamu bersikap demikian." Gendis perlahan duduk di samping Hiro.
Lelaki tersebut hendak memesankan taksi. Namun, dia mengurungkan niat. Kini tatapannya tertuju pada kaki Gendis.
Alih-alih memesan taksi, Hiro malah menghubungi orang lain. Setelah selesai menelepon sekretarisnya, dia kembali berbincang dengan Gendis. Tatapannya masih tertuju pada ruang IGD tempat Reina masih mendapatkan penanganan.
"Reina memiliki alergi susu sapi. Dia tak memiliki ibu, jadi aku mengganti susu formula dengan ASIP dari bank ASI yang ada di Jepang. Stok kami hampir habis, dan ASIP belum sampai lagi. Entah apa yang terjadi, dokter mengatakan Reina dehidrasi parah." Hiro mengusap wajah kasar.
"Aku bukanlah ayah yang baik." Kali ini suara Hiro penuh dengan rasa putus asa.
"Kamu pasti ayah terbaik bagi Reina. Kamu segera menemuinya begitu mendengar kabar buruk. Tidak apa-apa, pasti akan ada jalan keluar. Sepertinya kamu bosa memberinya ...."
"Bisakah kamu menjadi ibu susu untuk Reina?" potong Hiro.
Bibir Gendis terbuka lebar, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Hiro perlahan menoleh. Matanya mulai sebak.
"Maaf, tapi ... aku rasa sayang sejali jika ASI-mu yang berlimpah itu disia-siakan. Mungkin ini jalan yang Tuhan berikan untuk kami."
"Hiro, kamu salah paham. Maksudku jalan keluar lain adalah, kamu bisa memberinya susu kedelai. Atau susu khusus lainnya." Gendis menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Tapi, apa salahnya jika dia justru mendapatkan ASI dari kamu? Dia bisa menjadi saudara sepersusuan dengan anakmu. Nggak masalah, kan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Esther Lestari
daripada asi nya dibiarkan....lebih baik diberikan ke Reina. anggap aja kamu lagi memberi anakmu asi Gendis
2025-09-06
1
Ida Nur Hidayati
udah Gendis kasihkan saja dari pada air susumu kebuang mending untuk Reina
2025-09-15
1