Pipi Gendis sampai berpaling. Rasa panas pada permukaan pipinya seakan membuat Gendis kembali tertarik pada kenyataan. Sementara itu Ayaka membatu.
Ayaka menatap tangannya yang kini gemetar. Gendis masih terdiam. Perlahan dia mengalihkan pandangan, menatap Ayaka dengan tatapan nanar.
Mata Gendis tak lagi kosong. Akan tetapi, tatapan itu berganti dengan kesedihan yang bertumpuk. Ayaka langsung memeluk Gendis.
"Ma-maafkan aku, Ndis. Aku ...."
"Aya, jadi ... bayiku udah meninggal?" Perlahan Gendis mengangkat wajahnya.
Tatapan Gendis kosong. Ayaka mengangguk perlahan. Mendadak tubuh Gendis lemas, badannya ambruk ke atas lantai.
"Gendis, bangun! Bangun, Ndis! Gendis!" Ayaka berusaha membangunkan sang sahabat.
Akan tetapi, Gendis tetap bergeming. Ayaka berteriak sekuat tenaga untuk menarik perhatian tim medis. Tak lama kemudian, beberapa perawat menghampiri.
Gendis pun langsung dibawa ke ruang IGD. Sejak hari itu, Gendis mendapatkan perawatan dari dokter jiwa untuk memulihkan kondisi mentalnya. Perlahan kondisinya pun membaik.
Satu bulan berlalu. Pagi itu Gendis sedang berada di kamarnya. Perempuan tersebut sudah terlihat rapi dalam balutan setelan kemeja formal berwarna biru muda. Riasan tipis dan segar membuat wajah Gendis tampak lebih ceria.
"Kamu yakin bisa handle event ini?" tanya Ayaka.
Gendis menatap cermin riasnya. Kini Ayaka ada di ambang pintu sambil menyandarkan lengannya pada kusen. Tatapannya tampak meragukan kondisi Gendis yang masih belum benar-benar pulih.
"Iya, kamu nggak usah khawatir, Ya. Aku sudah merasa lebih baik, kok." Gendis tersenyum tipis.
Perlahan Ayaka masuk dan duduk di tepi ranjang. Dia menatap bayangan Gendis yang terpantul melalui cermin. Perempuan tersebut mengembuskan napas kasar.
"Perusahaan kita sangat menggantungkan hal ini kepadamu. Jika kamu belum sanggup bekerja, aku akan menggantikanmu, Ndis. Kamu istirahatlah," ucap Ayaka dengan tatapan tak lepas dari Gendis.
"Tenanglah, aku pasti bisa mengatasi semuanya." Gendis tersenyum lembut, kemudian beranjak dari kursi.
"Aku berangkat dulu, doakan semuanya lancar, ya?" Gendis akhirnya berpamitan.
Ayaka tidak bisa mencegah sang sahabat. Meski Gendis mengatakan siap kembali bekerja, Ayaka tetap khawatir mengingat kondisi mental Ge dia yang belum stabil. Dia hanya bisa mendoakan kelancaran acara hari ini.
***
Ballroom Hotel Grand Arcadia sore itu berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal. Deretan kursi penuh oleh arsitek, pengembang, pejabat, dan jurnalis. Di tengah ruangan, panggung besar berdiri megah dengan backdrop bertuliskan “Sustainable Architecture Conference 2025 – Building the Future Responsibly”.
Di belakang panggung, Gendis memegang pointer presentasi sambil mengatur napas.
“Kamu kelihatan sangat siap,” suara wanita di sampingnya terdengar manis, tetapi tajam di ujung. Dialah Clara, salah satu pembicara sesi sebelumnya.
“Walaupun … ya, wajar sih, kan kamu diundang bukan karena jam terbang, tetapi karena perusahaan itu butuh wajah baru yang segar.”
Gendis menoleh, tersenyum tipis. “Kalau segar bisa menarik audiens, kenapa tidak?” Dia tak memberi ruang untuk sindiran itu meresap.
Clara mengangkat alis, lalu memalingkan wajah. “Semoga materimu nggak cuma cantik di slide.”
Perempuan tersebut balik kanan dan meninggalkan Gendis di ruang tunggu. Gendis hanya menatapnya datar, kemudian kembali fokus pada laptopnya.
Tak lama berselang, nama Gendis dipanggil. Gendis beranjak dari kursi, lantas melangkah ke podium. Suaranya tenang, gesturnya mantap.
“Selamat sore. Hari ini, saya ingin mengajak kita melihat bagaimana kearifan lokal dapat berpadu dengan teknologi modern untuk menciptakan arsitektur yang berkelanjutan dan efisien.”
Slide pertama menampilkan rumah bambu modern berpadu panel surya. Gendis menjelaskan detail desain, teknik pengolahan material, dan manfaatnya. Sejumlah peserta mengangguk, mencatat. Bahkan beberapa mengambil foto layar.
Namun saat sesi tanya jawab dimulai, tangan Rendra—kontraktor senior berjas hitam—terangkat tinggi.
“Konsep Anda memang … terdengar manis. Tapi apakah realistis untuk proyek besar? Bukankah biaya akan membengkak, dan risiko konstruksi meningkat?” Nada Rendra begitu nyaring, sehingga memancing perhatian.
Ruangan hening. Clara di barisan depan menyilangkan tangan, ekspresinya seakan menunggu Gendis tersandung. Gendis tetap tersenyum.
“Pertanyaan yang sangat relevan. Jika kita lihat biaya awal, memang ada kenaikan. Namun .…” Gendis mengganti slide ke tabel analisis biaya lima tahun.
“Penghematan energi bisa mencapai 40%, yang artinya biaya operasional lebih rendah. Dengan konstruksi modular, risiko keterlambatan dan pemborosan bisa ditekan.” Suara Gendis begitu mantap dan penuh keyakinan.
Rendra menahan komentar. Gendis melanjutkan dengan contoh proyek di Maluku yang tahan cuaca ekstrem. Beberapa peserta bertepuk tangan. Clara bersandar di kursinya, menyipitkan mata.
Gendis pun bisa menjelaskan slide demi slide dengan sangat lancar. Hampir semua peserta terpukau akan presentasi yang dibawakan oleh Gendis. Mereka tak pernah tahu, di balik kehebatan yang ditunjukkan perempuan tersebut terdapat sisi lemah yang sedang berusaha disembunyikan dari orang lain.
Usai konferensi, para peserta mendekat untuk bertanya. Salah satunya, lelaki muda dengan name tag “Leo – Arsitek Independen”, dia tersenyum setengah mengejek.
“Keren sih, Mbak … tapi, jujur, saya agak heran konsep ini dibawa ke forum besar. Terlalu idealis. Pasar nggak selalu mau bayar untuk idealisme, kan?” ejek Leo.
Gendis menatapnya langsung. “Kalau kita tidak mencoba, pasar tidak akan pernah berubah.”
Leo tersenyum miring. “Semoga investor perusahaan kamu sepemikiran.”
Leo pun melangkah pergi meninggalkan Gendis. Gendis masih berdiam di ruangan itu sambil menebarkan senyum kepada beberapa kolega yang masih menghargainya dengan memberi salam dan menyapa.
Setelah kerumunan berkurang, Gendis merasa dadanya mulai nyeri. Dia tahu ini tanda ASI mulai penuh. Namun dia bertahan, berbasa-basi dengan panitia dan sponsor.
Dari kejauhan, Hiro berdiri di pintu. Matanya mengikuti Gendis. Begitu suasana agak longgar, dia melangkah mendekat.
“Apa kabar, Ndis? Bagaimana rasanya menjadi pusat perhatian?” sapa Hiro dengan senyum lembut.
“Pusat perhatian apanya? Aku cuma kerja.” Gendis tertawa kecil, kemudian melangkah meninggalkan ruangan.
Mereka berjalan ke lobi. Namun langkah Hiro terhenti. Dia melihat noda lembap di bagian depan kemeja satin biru muda Gendis. Warna kainnya menjadi sedikit transparan di bawah lampu.
“Gendis .…” Suara Hiro rendah, nyaris berbisik. “Bajumu basah.”
Gendis menunduk, wajahnya memerah. Ia cepat menutup dada dengan map. “Astaga … ASI-nya keluar.”
Hiro tanpa ragu melepas jas dan menyampirkannya di bahu Gendis. “Kita keluar lewat pintu samping.”
Di parkiran basement, mereka berhenti di samping mobil. Hiro membukakan pintu. Gendis pun segera masuk ke mobilnya.
“Kamu luar biasa tadi. Bahkan waktu ada yang nyerang di forum, kamu tetap tenang. Dan …” Hiro menghela napas, “…aku nggak suka lihat orang memandangmu dengan cara meremehkan.”
Gendis tersenyum tipis. “Kalau semua orang setuju, artinya aku nggak membuat perubahan. Lagipula, ada yang lebih penting sekarang.” Gendis melirik kemejanya dan semakin basah.
"Itu ... ASI? Apa kamu sudah menikah? Kamu sedang memiliki bayi?" cecar Hiro tanpa basa-basi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
AlikaSyahrani
semanģat gendis🦾🦾🦾 tunjukkan bahwa kamu mampu
2025-10-26
1
Ida Nur Hidayati
semangat Gendis...tunjukkan bahwa kamu mampu.
iya Gendis apa kamu sydah menikah
2025-09-15
1
Ida Nur Hidayati
semangat Gendis...tunjukkan bahwa kamu mampu.
iya Gendis apa kamu sydah menikah
2025-09-15
1