"Ngapa muke lo bengep begitu, Jo?" tanya Hanum saat dia melihat wajah adiknya bonyok seperti abis di kroyok masa.
"Di pukul Si Aldo sama temen-temennya, Kak."
Hanum mengernyit. "Lo di keroyok?"
"Iya lah, Kak. Kalau cuma Si Aldo doang aku juga berani."
Hanum berdecak. "Mentang- mentang anak ketua RW berani banget dia. Obatin sono. Jelek muka lo!" Hanum memalingkan wajahnya tak mau lebih lama melihat wajah adiknya yang babak belur.
"Kamu sudah pulang, Num?" Hanum menoleh dan menemukan Bapaknya keluar dari kamar.
"Bapak ngapain keluar kamar. Udah istirahat aja."
"Bapak denger adik kamu berantem lagi?"
"Iya, udah biasa, Pak. Biarin aja lah, biar Johan makin kuat." Hanum bersikap acuh, seolah itu memang bukan apa- apa. Padahal sebenarnya Hanum merasa kasihan pada adiknya. Hanya karena mereka dari keluarga miskin banyak yang mencela dan meremehkan mereka.
"Bapak mau kalian hidup tenang, tanpa ada gangguan. Kita memang hidup miskin tapi jangan sampai di rendahkan orang."
"Ya makanya biarin aja Johan lawan. Asal jangan dia yang cari gara- gara duluan."
"Ya sudah, kalau gitu. Oh, ya Num besok Bapak mau mulai kerja," ucap Suryanto.
Hanum mengernyit. "Emang Bapak udah sehat?"
"Bapak udah mendingan, bapak juga kasihan liat kamu kecapekan tiap hari."
Hanum melipat bibirnya. "Sebenarnya ada yang mau Hanum bilang sama Bapak."
"Apa?"
"Ada yang tawarin Hanum kerja jadi pembantu, Pak."
Suryanto mengernyit. "Pembantu?"
"Iya, gajinya sepuluh juta."
"Sepuluh juta?" Suryanto nampak terkejut. "Pembantu apa yang gajinya gede begitu, Num?"
"Kagak tahu."
"Jangan dah, Num. Nanti kena tipu kamu di jual lagi. Banyak tuh penjual manusia kayak gitu, yang di jual ke luar negeri diiming-imingi gaji besar."
"Hanum juga takut, Pak. Tapi kan dimana lagi yang bisa kasih duit gede. Apalagi cuma lulusan SMP kayak Hanum."
"Pokoknya enggak. Bapak takut kamu kenapa- napa.“
"Tapi, Pak-" baru saja Hanum akan bicara suara gaduh di luar rumah mereka terdengar.
"Heh, Yanto keluar lo!" suara teriakan seorang ibu- ibu membuat Hanum dan Suryanto mengernyit.
"Siapa, Pak?"
Suryanto mengedikkan bahu dan bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang sambil teriak- teriak.
"Mpok Hani? Kenape Mpok?" tanya Hanum
"Mana tuh Si Johan. Sialan tuh adek lo, Num. Liat nih muka Si Aldo jadi kayak gini." Mpok Hani menunjuk wajah anaknya yang tadi siang berantem sama Si Johan.
Si Aldo mencebik meledek ke arah Hanum yang menatapnya. Seolah ada yang membela, bocah itu berani menatap Hanum dengan remeh.
"Yakin Si Johan yang mukul Si Aldo? Bukannya anak Mpok yang mukulin Si Johan, di keroyok lagi adek gue."
"Hanum. Bicara yang sopan sama orang tua." Hanum berdecak mendengar suara Bapaknya yang memang kerap memintanya bicara lemah lembut layaknya seorang perempuan.
"Gue gak mau tahu lo harus tanggung jawab, gue abis dua ratus ribu ngobatin Si Aldo."
Hanum menaikan alisnya. "Yakin, Mpok dua ratus ribu?" Hanum bahkan tak melihat luka berarti di wajah Aldo.
"Iya, kalau enggak gue laporin tuh si Johan ke Pak lurah."
"Oke, gue ganti tuh dua ratus rebu. Sebaliknya Mpok juga harus ganti rugi soalnya Johan juga luka."
"Kagak bisa begitu dong, orang Si Johan yang mukul Si Aldo."
"Gini aja, Mpok. kita bandingin banyakan mana lukanya Aldo sana Johan, abis itu kita itung- itungan."
Hanum melihat ke arah rumah. "Johan, sini lo!" panggil Hanum.
Johan keluar dengan wajah menunduk sebenarnya dia sudah dengar suara teriakan ibunya Aldo, tapi dia tak berani keluar.
"Mpok liat muka Si Johan." Hanum mengangkat dagu Johan sampai mendongak membuat wajah babak belurnya terlihat. "Kira- kira kalo di duitin jadi berapa nih? Yang kayak gitu aja dua ratus rebu," tunjuknya pada wajah Aldo yang sontak saja menunduk. "Apalagi yang ini?"
"Harusnya gue yang minta ganti rugi sama Mpok. Jangan mentang-mentang keluarga gue miskin, kalian bisa seenaknya, ya!" Hanum menunjuk Aldo. "Kalau lo berani satu lawan satu jangan main ngeroyok aja." Wajah Aldo ketakutan.
"Keterlaluan lo, Num. Lo nuduh anak gue."
"Denger ya, Mpok. Yang datang terus minta ganti rugi duluan Mpok. Teriak- teriak bikin semua orang datang. Mpok kira gue bakalan diem. Sekarang Mpok gak terima gue ngomong begitu sama Si Aldo. Terus Mpok kira gue terima gitu Mpok perlakukan begitu!" Hanum maju dua langkah membuat Mpok Hani mengkerut mundur.
"Kalau mau tahu yang salah sama yang bener tanya dua- duanya, Mpok. Jangan mentang-mentang dia anak Mpok main bela aja. Mpok kira anak Mpok selalu bener? Lagian ketua RW harus adil. Kasih contoh warganya yang bener."
"Lo- lo kurang ajar, Num." Mpok Hani berkata gugup, apalagi dia melihat para warga yang sejak tadi berkumpul mulai berbisik- bisik tentangnya.
Hanum mendengus saat Mpok Hani menarik Aldo pergi menjauh.
"Apa lo semua liat- liat!" teriak Hanum. "Baru tahu gue marah!"
Suryanto menghela nafasnya. "Sudah Num, malu. Ayo masuk." Suryanto menarik Hanum menjauh.
Hanum masih terlihat marah, nafasnya bahkan terengah. Sementara Suryanto menatap Johan.
"Kamu lihat. Kakak kamu sudah capek bekerja seharian. Sekarang malah harus ngurusin masalah kamu. Minta maaf sana!" titah Suryanto tegas.
"Maaf, Kak. Johan salah." ucap Johan dengan menghampiri Hanum. Reva sejak tadi mengkerut di pojokan karena takut melihat Hanum marah- marah pun menghampiri.
"Reva gak nakal kok, Kak." Reva memeluk Hanum hingga Hanum memejamkan matanya. Dia bersedih hati, bagaimana adiknya di perlakukan tidak adil oleh orang sekitar hanya karena miskin. Namun Hanum berusaha agar tak menangis dan terlihat lemah.
"Udah, pada tidur sono." Hanum memalingkan wajahnya.
Soryanto membawakan segelas air lalu menyodorkannya pada Hanum. "Minum Num, biar tenang."
Hanum meraih gelas di tangan Bapaknya lalu meneguknya. "Makasih, Pak."
Suryanto duduk di sebelah Hanum. "Lain kali harus bisa lebih menahan amarah, Num. Berkata baik dan sopan biar kamu juga di hormati, apalagi kamu perempuan."
"Maaf, Pak."
Suryanto menepuk punggung Hanum. "Kamu inget gak yang almarhumah Mamamu ajarin?" Hanum mengangguk.
"Hanum inget, tapi kehidupan kita terlalu keras, Pak. Dan Hanum bosen terus di injak- injak."
"Yang menentukan derajat seseorang itu Tuhan. Bukan manusia kayak kita."
Hanum menghela nafasnya. Dia tak bisa melawan ucapan Bapaknya karena dia selalu benar.
"Hanum mau terima kerjaan itu, Pak."
Suryanto tertegun. "Hanum mau merubah hidup kita. Gaji itu besar banget, dan Hanum mau adik- adik Hanum gak kekurangan kayak Hanum."
"Terserah kamu. Bapak cuma bisa berdoa, semoga kamu baik- baik saja."
Di dalam kamar Johan dan Reva duduk mendengarkan ucapan Hanum, kedua bocah itu melamun dengan tatapan kosong.
...
Hanum menatap rumah besar di depannya, rumah megah bak istana dengan gerbang tinggi menutupinya.
Rumah ini benar-benar besar. Pantas saja gaji yang di tawarkan sangat besar karena rumahnya juga besar. Bisa- bisa dia gempor bekerja disana. Tapi bekerja memang selalu berat, kan? Jadi tak masalah dia sedikit lelah asalkan gajinya sepadan.
Hanum menatap lubang kecil di depannya hingga suara seorang pria terdengar. "Cari siapa, kamu?"
"Maaf, Saya cari Bu Ningsih."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Siti Dede
Aku juga maulah jadi pembantu kalau gajinya 10.000.000
2025-08-18
2