Hanum memasuki rumah dengan senyum cerianya. Melihat adik- adiknya sedang belajar senyum Hanum semakin lebar.
"Nah, begitu dong. Belajar yang rajin." Hanum mengusak kepala Reva.
"Kak, Reva laper belum makan." Hanum mengernyit melihat ke arah Johan.
"Lo gak masak Jo?"
"Beras abis Kak. Mau beli juga gak ada duit. Mpok Titin juga gak kasih ngutang katanya utang kita udah banyak."
Hanum menghela nafasnya. "Ya udah, Kakak beli dulu." Hanum yang baru masuk pun segera keluar untuk membeli beras.
Dalam perjalanan ke warung Hanum mengingat kembali pertemuannya dengan ibu- ibu ningrat yang Hanum kira memang orang kaya. Tadi setelah mengantarkan Si Ibu yang cantik jelita ke seberang jalan Hanum yang akan kembali tiba-tiba mendengar kembali suara halus Si Ibu.
"Kamu punya pekerjaan?" tanya Si Ibu dengan pelan.
"Oh, iya Bu. Saya kerja di pasar." Hanum menunjuk ke arah pasar.
"Kamu mau bekerja sama saya?" tanya Si Ibu masih dengan wajah tenangnya.
Hanum mulai tertarik, Ibu- Ibu di depannya memang terlihat seperti orang baik, tapi Hanum tidak boleh sembarangan. Banyak penipu yang juga berpenampilan baik tapi nyatanya dia adalah orang jahat.
Bagaimana kalau Si Ibu ini sindikat perdagangan manusia.
"Kamu bisa pikirkan dulu." Si Ibu menyerahkan kartu namanya.
"Saya akan gaji kamu sepuluh juta sebulan." Hanum tak bisa tak membelalakan matanya. Jangankan sepuluh juta, satu juta pun Hanum belum pernah memilikinya. Gajinya menunggu kios ikan Bang Hasan saja dia hanya mendapat 6 sampai 7 ratus ribu saja perbulan.
Hanum kembali menatap si Ibu. "Gede banget, Bu. Emang kerjaannya apa?"
"Pembantu."
....
Dan sampai sekarang Hanum masih memikirkan apa Ibu bernama Ningsih itu bisa di percaya atau tidak. Sebab Hanum masih takut Si Ibu benar-benar penipu.
Tapi mengingat lagi gaji yang di tawarkan Hanum benar-benar menginginkannya. Bagaimana pun dengan uang sebesar itu tentu saja Hanum tak perlu lagi memikirian biaya sekolah Johan dan Reva, dia juga tidak akan membiarkan bapaknya kerja lagi jadi tukang panggul di pasar.
Tiba di warung Hanum segera melakukan niatnya untuk membeli beras. "Mpok beli berasnya sekilo," ucap Hanum dengan menyerahkan uangnya.
"Eh, Elo, Num. Oh iya utang lo yang kemarin juga belum di bayar, kan? Kapan nih lo bayar."
"Yah Empok gua bayar entar kalau gua gajian, ya," ucap Hanum meyakinkan.
"Gajian yang mana, Num. Tiap gajian lo bilang duitnya udah abis."
"Ya, Mpok kan tahu gaji gue berapa." Hanum terkekeh.
"Pokoknya kalau lo belum bayar yang kemaren, lo jangan ngutang lagi." Hanum mendengus sambil menerima kantung berisi beras yang dia beli.
"Mana kembaliannya, Mpok?" Hanum menengadahkan tangannya.
"Ya ampun Num, hutang lo masih kurang banyak, lagian kembalian delapan rebu masukin ke bon aja biar utang lo berkurang."
"Yah Mpok, buat jajan Johan ama Reva tuh besok."
"Heh, Hanum. Kalau gak punya duit ya gak usah jajan. Yang penting tuh bayar utang." Hanum hanya bisa cemberut dan pergi dari warung tersebut.
"Dasar nenek- nenek udah bau tanah juga bukannya banyak sedekah malah jadi orang pelit."
Dan akhirnya Hanum pulang dengan berasnya, hanya saja Johan dan Reva tak punya uang jajan buat besok.
...
"Num, kenape lo, ngelamun aje?" Jono menghampiri dengan memegang buku setorannya.
"Kagak." Hanum menyerahkan uang dua ribu yang dia ambil dari kantung hasil dagangannya.
"Lo bisa cerita ke gue kalau lagi galau," tawar Jono. "Sape tahu gue bisa bantu."
Hanum tersenyum. "Liat senyum lo, roman- romannya masalah duit ya?" Jono meringis menyesal bertanya.
"Iya, Jon. Adek gue kagak gue kasih duit jajan tadi, duit gue abis. Bisa kagak lo pinjemin seratus?"
Jono mencebik lalu merogoh sakunya. "Seratus kagak ada Num, ada juga lima puluh nih. Kita bagi dua aja gimana?"
Hanum menghela nafasnya Jono juga sama sepertinya, bukan orang berada dan kesusahan. "Kagak lah, Jon. Gak tega gue, nanti kasbon aja sama Bang Hasan."
"Serius lo, Num?" Hanum mengangguk, dan Jono pun kembali memasukan uangnya ke dalam saku. "Sorry ya, Num. Lo tau kan, gue juga punya adek." Hanum kembali mengangguk. "Ya udah deh Num. Gue nagih duit setoran lagi, ya."
Hanum tak bisa tak mengingat adik- adiknya yang pergi ke sekolah tanpa uang jajan. "Nasib, nasib. Apa gue terima aja ya, tawaran Bu Ningsih?" Gaji sepuluh juta akan sangat cukup untuk hidup Hanum dan keluarganya. Bahkan bisa memperbaiki kehidupan mereka.
....
Hanum duduk di pelataran sebuah mall. Malam yang dingin karena hujan tak membuat Hanum berdiam diri di kamarnya dan tidur dengan berselimut.
Justru saat hujan begini adalah rezeki bagi orang- orang seperti Hanum yang bekerja mengandalkan payung demi uang beberapa ribu saja.
Melihat orang yang keluar dari Mall Hanum segera menawarkan payungnya. "Ojek payung Bu?"
"Pak ojek payungnya?"
....
Hanum duduk lesehan di trotoar basah untuk menghitung berapa uang yang dia dapatkan dari ngojeknya. Dan senyum terukir saat dia melihat dia mendapat tiga puluh tiga ribu. "Lumayan, ada buat beli beras sama jajan Reva sama Johan."
Hanum akan bangkit saat mendengar suara- suara tak jauh darinya. Dia mengernyit saat melihat dua preman tengah menodongkan pisau ke arah Ibu- ibu yang berdiri dengan sedikit ketakutan.
"Mau apa kalian?" ucapnya dengan sedikit bergetar.
"Gue mau duit, serahkan duit lo. Perhiasan lo juga!"
Hanum berdecak saat si Ibu akan menyerahkan tasnya pada dua orang itu. Dengan wajah kesal dia menghampiri. "Heh, mau duit usaha dong. Jangan main nodong orang sembarangan." Suasana di sana memang cukup sepi karena itu memang sedikit rawan bagi orang yang tak mengenal kawasan tersebut.
"Ngapain lo ikut campur? Sok- sokan lagi. Pergi sono!"
"Ya, entar gue pergi kalau lo berdua juga pergi." Hanum menggulung lengan bajunya.
"Sialan lo cewek, sekali sabet lo koit, mampus lo! Sok- sokan mau jadi pahlawan." Satu orang pria mengayunkan pisaunya namun Hanum dengan cepat menghindar.
"Koit kalau lo bisa. Coba aja kalau bisa?" Hanum bergerak menangkis pisau di tangan si penodong, hingga pisau itu terjatuh. Tanpa menunggu lama Hanum langsung memberi tendangan di hidung si penodong hingga terjengkang dengan berteriak karena hidungnya mengucurkan darah. Kini tersisa satu orang lagi yang malah mundur saat Hanum mendekat.
"Kenape, lo?"
"Sialan, lo. Awas ya, ini belum selesai!" Dia berteriak setelah menggandeng temannya yang tak berdaya.
Hanum menoleh pada Si Ibu yang masih menatapnya. "Hati- hati Bu. Jangan jalan sendirian. Disini rawan," ucap Hanum sambil berlalu pergi.
"Kamu lagi?" Hanum menoleh dan mengernyit.
"Bu Ningsih?"
"Bagus kamu ingat saya." Hanum tersenyum meringis. "Jadi, bagaimana tawaran saya kemarin?"
Hanum meremas tangannya erat. "Ibu ... bukan sindikat perdagangan manusia, kan?"
Si Ibu terkekeh lembut, memang benar-benar seperti bangsawan yang tertawa pun harus memakai nada yang tidak terlalu tinggi.
"Kamu bisa datang ke alamat saya, besok. Kamu akan tahu saya siapa." Hanum tertegun bahkan saat seorang pria berpakaian hitam menghampiri mereka.
"Maaf, Nyonya saya kesulitan mengeluarkan mobil." ucapnya dengan sopan.
"Tidak apa. Bagaimana Hanum?" Bu Ningsih kembali menatap Hanum.
"Saat kamu setuju saya akan jelaskan apa saja pekerjaan kamu. Tenang saja, pekerjaan kamu bukan sesuatu yang melanggar hukum."
Hanum mengangguk.
Wanita anggun itu masuk ke dalam mobil setelah menyerahkan tas tangannya pada supir.
Saat mobil sudah melaju, Sang supir menoleh dari kaca spion. "Nyonya yakin dengan gadis itu?"
Wanita itu tersenyum angkuh. "Aku hanya butuh gadis yang tangguh."
....
Hallo, ada orang???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Patrish
baru ketemu malam ini... langsung cuuzz.. sampai part ini aku syuuka.... bahasanya enak dinikmati.... terus menulis ya.... semangaat.. 💪💪💪
2025-09-20
0
Merlani Hidayat
wah ada nih butuh cewek tangguh
2025-08-19
0
Miu Miu 🍄🐰
bagus ceritanya
2025-09-14
0