5.Yang Tahu Dirimu Nona

"Ayo pulang, kamu bikin malu saja," Bima menarik tangan Nurma dengan keras. Suaranya terdengar tajam, memotong udara pagi yang tenang di depan rumah Tiara. Bima sudah tidak peduli lagi apa kata tetangganya saat ini. Wajahnya merah padam karena amarah dan rasa malu yang mendera. Ia hanya ingin segera sampai ke rumah ibunya agar bisa memberi pelajaran pada istri barunya ini.

Nurma meronta-ronta, mencoba melepaskan cengkeraman tangan Bima yang kuat. "Mas lepas! Saya mau tinggal di rumah itu! Wanita mandul itu tidak berhak atas semua hartamu!" teriak Nurma, suaranya melengking. Bima tak menghiraukan perkataan Nurma. Sesampainya mereka di rumah ibunya, Bima langsung melayangkan tamparan keras di pipi Nurma.

"Sekali lagi kamu buat ulah, saya ceraikan kamu," hardik Bima. Nurma terhenyak, matanya berkaca-kaca, namun tidak ada air mata yang jatuh. Ia tahu ancaman Bima tidak main-main. Namun, ia juga memiliki senjata andalan yang ia yakini akan membuat Bima tunduk.

"Kamu tidak sayang sama aku? Kalau begitu, saya gugurkan anak ini," ancamnya, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Ancaman itu berhasil membuat Bima kalang kabut. Pikirannya dipenuhi kegelisahan. Perceraiannya dengan Laras saja sudah membuat hidupnya kacau, ditambah lagi tuntutan dari Nurma yang tak berkesudahan. Bima tidak menjawab, dia langsung masuk ke dalam kamarnya, membiarkan Nurma bertindak sesuka hatinya.

"Kamu darimana bukannya masak buat sarapan malah keliaran tidak jelas," omel Bu Wina, ibu Bima, saat melihat Nurma berdiri termangu di ruang tamu. Nurma menatap mertuanya dengan jengah. Ia datang ke rumah ini bukan untuk menjadi babu. "Ibu, saya menantu Ibu, saya lagi hamil, bagaimana kalau saya keguguran," ucap Nurma menggunakan kandungannya sebagai tameng. Namun, strategi itu tidak berhasil untuk Bu Wina.

"Kandungan kamu itu sehat-sehat saja, bahkan di rumah ini tinggal bertiga sudah wajar kalau kamu memasak dan saya yang beres-beres rumah. Bukan mau makan terus keluyuran!" omel Bu Wina lagi. Mau tidak mau, Nurma melangkah ke dapur, mendumel sepanjang jalan. Ia mendumel sambil memasak, menyesuaikan diri dengan bahan masakan yang ada di dapur.

"Kalau saya tahu begini, saya gugurkan saja anak ini. Menikah bukan untung, malah buntung," gumamnya dalam hati, penuh penyesalan.

Selesai sarapan, semua kembali ke kamar masing-masing, termasuk Bima dan Nurma. Lagi-lagi Nurma berulah. "Mas, ayo kita pindah saja. Saya tidak mau tinggal serumah dengan ibumu. Saya dijadikan babu di sini."

Bima tak habis pikir. Padahal di rumah ini Nurma hanya masak dan mencuci pakaian, sementara Bu Wina yang melakukan semua pekerjaan lainnya, termasuk membersihkan rumah. "Saya tidak mau," tolak Bima. "Di rumah ini hanya kita bertiga, lagian kamu cuma masak dan cuci pakaian, itupun mencuci pakai mesin cuci."

Semakin hari, Bima semakin melihat bahwa Nurma berbanding terbalik dengan Tiara yang tidak banyak protes. Tiara selalu menurut dan tidak pernah membantah. "Kamu itu maunya apa sih, Nurma?" tanya Bima, putus asa. "Maunya hidup tenang, Mas. Tanpa omelan ibumu dan tanpa bayang-bayang istrimu yang mandul itu!" jawab Nurma sinis, membuat Bima semakin geram.

Sementara itu, Tiara yang lagi bad mood ingin memanjakan dirinya di salon kecantikan yang ada di dekat rumahnya. Entahlah kenapa, pelakor sekarang begitu berani menginjak-injak harga dirinya di depan umum.

"Tunggu saja, kalian akan saya balas satu per satu. Saya diam bukan berarti kalian bisa menginjakku seenaknya," gumamnya. Di rumah, ia sendirian. Kesunyian membuat pikirannya melayang-layang. "Apakah benar saya mandul?" tanyanya pada diri sendiri. "Jika saya mandul, pantaskah aku dimadu?"

Pikirannya entah kemana. Cukup lama ia berdiam diri. "Ah, sudahlah. Semua skenario Tuhan," bisiknya, bangkit dari sofa.

Tiara keluar rumah menggunakan dress well yang modis dan kekinian, mencuri perhatian banyak orang. "Eits, memang ya calon janda itu auranya mematikan," celetuk seseorang.

Tiara pergi ke salon menggunakan motor miliknya. Sesampainya di salon, ia disambut ramah. "Halo, Kak Tiara! Mau perawatan apa hari ini?" "Yang paket lengkap, Kak. Saya sudah reservasi." "Baik, Kak. Silakan ikut kami."

Tiara menghabiskan waktu berjam-jam untuk perawatan. Saat sedang menikmati maskernya, ia tak sengaja mendengar sebuah obrolan yang membuatnya bertanya-tanya.

"Puas banget istri barunya bokap saya jadiin pembantu, walaupun lagi hamil." "Njir, jahat banget lu. Nggak takut kualat sama orang tua?" "Apaan sih, dia itu bocah ingusan, sok-sokan jadi pelakor sih, ingin kaya mendadak kayaknya." "Yang kamu labrak di kafe itu ya?" "Iya lah! Berawal dari situ saya nggak dikasih uang jajan, tapi uang bulanannya saya rampas," ucapnya sambil terkekeh.

Tiara mengingat adik iparnya yang masih SMA. Entah bagaimana kabarnya sekarang, ia sudah tidak ingin mengetahuinya lagi. Tapi Tiara tetap kepo, ia penasaran bagaimana rasanya hamil dengan suami orang, apalagi anaknya lebih dewasa darinya. "Takdir manusia kadang tidak bisa ditebak," gumamnya dalam hati.

Tak terasa, sudah berjam-jam ia menghabiskan waktu untuk perawatan. Sekarang sudah siang, bahkan hampir sore. Setelah nyalon, Tiara menuju rumah makan Padang untuk makan siang menjelang sore.

"Bu Tiara, ya?" "Iya, Bu," jawab Tiara dan mencari meja kosong.

Tiara memesan nasi rendang, makanan favoritnya. Ia makan dengan lahap, tanpa peduli pada orang di sekitarnya.

"Rakus amat jadi orang, nggak bisa makan enak ya?" Sebuah suara melengking menginterupsi. Laras menoleh dan melihat Nurma datang bersama sekelompok temannya. Tiara melanjutkan makannya, mengabaikan mereka.

"Mandul! Serakah!" teriak Nurma. Tiara meletakkan sendoknya. Ia menatap Nurma dengan tatapan tajam. "Pelakor kampung bisa nggak diam? Mulutmu bau tahu," jawab Tiara dengan sarkas. Nurma terdiam, terkejut dengan keberanian Tiara.

"Kamu itu pelakor, tidak usah sok-sokan mau jadi ratu, kamu tidak pantas," tuding Tiara. "Kok saya jadi ragu, apakah benar itu anaknya Pak Bima?" celetuk Tiara sambil pura-pura berpikir.

"Apa maksudmu?! Kalau ini bukan anaknya Bima, lalu anak siapa?" teriak Nurma, panik. Tiara tersenyum misterius. "Mana kutehe, kan yang tahu dirimu, Nona," jawab Tiara, berjalan ke kasir untuk membayar semua makanannya.

Tiara berjalan keluar dari rumah makan dengan senyum puas. Ia merasa seolah-olah beban berat di pundaknya telah terangkat. Informasi yang ia dapatkan dari Dinda, ditambah dengan konfrontasi barusan, memberinya kekuatan baru. Ia tidak lagi menjadi Tiara yang pasif dan penurut. Ia sekarang adalah Tiara yang berani, yang tidak akan membiarkan siapa pun menginjak-injak harga dirinya. Tiara melaju dengan motornya, meninggalkan Nurma yang masih berdiri mematung di depan rumah makan, pikirannya kalut dan dipenuhi rasa takut. Sebuah babak baru dalam hidupnya telah dimulai.

Terpopuler

Comments

Kiyo Takamine and Zatch Bell

Kiyo Takamine and Zatch Bell

Lanjutin dong, penasaran banget!

2025-09-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!