Bab 04 Anak Kandung Atau Anak Pungut

Mobil sport berwarna abu metalik milik Kanaya melaju pelan memasuki gerbang rumahnya. Deru mesin yang lembut segera mereda ketika kendaraan itu berhenti manis tepat di halaman depan. Lampu garasi menyala otomatis, memantulkan kilau cat mobil yang masih terlihat licin, seolah baru keluar dari showroom.

Kanaya mematikan mesin, lalu duduk sejenak, menarik napas panjang. Helaannya berat, seperti menandakan kelelahan yang menumpuk seharian. Baru setelah itu ia membuka pintu dan melangkah keluar. Gerakannya malas, bahunya sedikit turun, langkahnya gontai, dan tas sekolahnya hanya disampirkan di salah satu pundaknya.

Udara sore yang sudah beranjak gelap terasa sedikit dingin, tapi tidak cukup untuk membuatnya segar kembali. Ia hanya ingin cepat sampai ke kamar, berganti pakaian, lalu rebahan.

Ceklek…

Pintu kayu berlapis cat cokelat tua terbuka lebar, memperlihatkan sosok Naomi mama Kanaya yang sedang duduk anggun di sofa ruang tamu. Wanita paruh baya itu memegang koran yang sebagian halamannya sudah terlipat, tanda ia sudah lama menunggu. Tatapan matanya tajam, tapi bibirnya membentuk senyum tipis yang penuh perhitungan.

Melihat sang ibunda ratu, Kanaya menghampiri dengan langkah perlahan. Ia menunduk, mencium punggung tangan mamanya seperti kebiasaannya sejak kecil. Tapi kali ini, tanpa basa-basi, ia berniat langsung menuju tangga untuk naik ke kamarnya.

“Tunggu dulu Naya. Mama mau bicara sama kamu,” ucap Naomi, sambil meraih pergelangan tangan putrinya.

Kanaya memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang, lalu menoleh setengah hati. “Kanaya capek Ma mau istirahat,” jawabnya lirih, berusaha menghindar. Ekspresi wajahnya jelas menggambarkan bahwa ia sudah menebak topik pembicaraan ini.

Ya, ini pasti masih soal perjodohan yang dibahas semalam. Sesuatu yang sejak awal sama sekali tak menarik minatnya.

“Sebentar saja Naya. Ini penting dan harus Mama sampaikan sekarang.” Nada suara Naomi tak memberi ruang untuk perdebatan. Ia menepuk sofa di sebelahnya, memberi isyarat agar Kanaya duduk.

“Duduk dulu. Mama mau bicara serius.”

Kanaya mendecak pelan, tapi tetap menuruti perintah. Ia merapatkan tubuhnya di sisi mamanya, menatap wajah wanita itu yang tampak begitu yakin dengan kata-kata yang akan keluar.

“Begini,” Naomi memulai, suaranya tenang tapi mengandung tekanan, “Mama langsung saja. Tentang perjodohan sama anak temannya Papa yang kemarin Mama bilang mereka akan datang malam ini. Mama tadi dapat kabar katanya anak mereka mau tunangan dulu sama kamu, setidaknya sampai kalian lulus sekolah. Jadi kemungkinan kalian tidak langsung menikah tapi itu belum pasti. Apapun bisa berubah mama cuma mau ingatkan, siap-siap, dandan yang cantik, jam tujuh mereka sudah di sini.”

Kanaya langsung membelalak. Mulutnya terbuka lebar, seperti tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.

“Apa?! Malam ini? Yang benar saja Ma! Semalam Kanaya bahkan belum bilang setuju kok malah jadi secepat ini?!” suaranya meninggi, penuh protes.

Ya Tuhan pikirnya. Badannya saja masih pegal sepulang sekolah, belum lagi kepalanya yang pening gara-gara gosip pagi tadi, sekarang harus menghadapi kabar mengejutkan ini?

“Mama juga tidak mau memaksa,” lanjut Naomi, meski nada suaranya jelas bertolak belakang dengan isi kalimat itu, “tapi ini perjanjian yang harus ditepati. Hubungan kami berempat sudah dekat bahkan sebelum kamu lahir. Ini cita-cita Papamu sejak lama, bahkan sebelum beliau mengenal Mama. Kalau Papamu masih hidup, dia pasti akan tetap menjalankan janji ini setuju atau tidak dari kamu.”

“Tapi Ma...”

“Kamu mau bikin Papamu kecewa?” potong Naomi cepat, tatapannya menusuk. “Mama juga akan merasa bersalah kalau tidak bisa membuatmu menepati janjinya, Kanaya! Mama tidak mau dengar bantahan lagi ini sudah final. Mereka akan datang malam ini dan Mama harap kamu tidak mengecewakan Mama.”

Tanpa memberi kesempatan bagi Kanaya untuk membalas, Naomi bangkit dan melangkah pergi.

“Ma… Mama!” panggil Kanaya, merasa terhimpit antara rasa kesal dan rasa bersalah. Ia yang biasanya patuh pada orang tua, kini seperti terjebak di persimpangan.

Ia menyandarkan kepala di sandaran sofa, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. “Menikah bahkan belum pernah kepikiran sedikitpun,” gumamnya lirih.

“Setidaknya sampai lulus kuliah, kerja, mapan, bisa beli apa saja sendiri, dan membahagiakan orang tua. Tapi kenapa harus seperti ini? Apa memang ini jalan yang harus gue jalani demi berbakti?”

Suasana rumah terasa semakin sunyi, tapi bukan sunyi yang menenangkan lebih seperti tekanan yang menghimpit dari segala arah.

Masih di kota yang sama, waktu sudah berganti malam. Sebuah rumah besar dua lantai bergaya Eropa tampak ramai. Di ruang keluarga yang luas, belasan remaja sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Di pojok ruangan, Angga, Rafa, dan Arya sedang duduk lesehan, fokus menatap layar ponsel masing-masing. Jemari mereka bergerak cepat, sesekali terdengar teriakan kecil atau umpatan saat permainan daring mereka memanas.

Angga yang duduk bersandar di sofa, awalnya fokus penuh. Namun, ponselnya tiba-tiba berdering keras.

Drrtt… Drrtt… Drrtt…

“Ck!” Ia menghela napas kesal begitu melihat nama yang muncul di layar. Nama sang ibunda ratu.

Mau tak mau ia mengangkat panggilan itu.

“Kamu ini bagaimana sih Angga!” suara maminya langsung membahana, bahkan tanpa salam pembuka.

“Mami sudah bilang habis sekolah langsung pulang, kenapa sampai malam begini belum juga pulang?!”

Refleks Angga menjauhkan ponsel dari telinga. “Ban motor bocor tadi Mi ini di rumah Rafa. Memangnya sepenting itu? Paling nanti jam satu aku pulang. Demi mami deh pulang lebih awal,” katanya mencoba bernegosiasi.

“Jam satu?!” nada suara maminya naik. “Mau mami sunat lagi kamu hah! Pulang sekarang! Kalau setengah jam lagi belum sampai, mami bakar motor dan mobil kamu!”

Tut! Panggilan diputus sepihak.

“Ck! Tiap hari ada saja ancamannya,” gumam Angga, menatap layar ponsel yang sudah gelap.

“Kenapa lo? PMS?” tanya Rafa sambil melirik, separuh heran separuh menggoda.

“Pinjem motor. Nanti gue balik,” jawab Angga singkat, sambil berdiri.

“Lah lo gak jadi balapan? Jam sebelas loh!” protes Arya.

“Nanti gue balik. Ban motor gue urusin ya,” ucap Angga sambil mengambil kunci motor Arya. Tak menunggu jawaban, ia langsung melesat keluar.

Kurang dari 20 menit, motor sport hitam mengkilap milik Arya sudah sampai di rumah Angga. Ia parkir sembarangan di halaman lalu berjalan cepat masuk.

Ceklek…

“Nah ini anaknya! Hampir mami panggil dukun sunat kalau kamu telat sepuluh menit lagi!” suara Silvia menyambut dari balik pintu.

Astaga. Maminya ini memang punya bakat alami bikin jantung anaknya deg-degan. “Ngapain sih Mi! Mau bikin jantung anak copot?” protes Angga.

“Cepat ganti baju kita mau berangkat. Baju sudah mami siapkan di kamar. Lima belas menit mami tunggu di sini,” kata Silvia, suaranya penuh instruksi.

Angga mengernyit. “Mau kemana? Ngapain harus ganti baju?” tanyanya. Ia menatap maminya yang sudah berdandan rapi seperti mau menghadiri pesta pernikahan.

“Ke rumah calon istri kamu buruan. Papi kamu sudah ngantuk nungguin!” jawab Silvia santai, sambil menunjuk sofa tempat sang papi duduk menonton TV.

Angga spontan melotot. “Calon istri apaan! Mami jangan ngaco! Aku lagi sibuk. Kalau gak penting aku mau keluar lagi!”

Tapi belum sempat ia berbalik, ujung jaketnya sudah ditarik Silvia. “Mami sudah siapin korek mau mami bakar mobil kamu? Papi juga siap coret nama kamu dari keluarga,” ancamnya setengah bercanda, tapi matanya serius.

“Aku ini anak kandung atau anak pungut sih?” tanya Angga dengan dramatis.

“Udah buruan. Tadi pagi yang bilang siap tunangan dulu siapa?” sindir Silvia.

“Aduh! Tapi kan gak harus malam ini juga! Angga tuh sibuk! Bisa besok atau tahun depan kan!” protes Angga sambil mengangkat tangan, seolah menyerah.

“Mau tunggu mami meninggal dulu?” balas Silvia ketus.

“Ck! Ngomongnya kenapa sampai situ!” keluh Angga.

“Kamu pikir kelakuan kamu gak bikin mami stres? Sampai darah tinggi rasanya!” kata Silvia, sambil mendorong Angga menaiki tangga.

“Anak muda Mi! Kayak gak pernah muda aja,” gumam Angga.

Silvia hanya memutar bola mata. “Mandi. Ganti baju. Lima belas menit, mami tunggu di sini!” ujarnya, lalu menyeret telinga anaknya sampai ke kamar.

Angga melongo. “Kenapa gak tunggu di luar? Mami pikir aku balita?” protesnya.

“Siapa tau kamu kabur kalau mami tinggalin,” jawab Silvia datar.

Angga terdiam. Dalam hati ia mengakui, tebakan maminya benar.

“Cepat Ga!”

Dengan kesal, Angga mengacak rambutnya, mendengus, lalu masuk ke kamar mandi. “Gue harus bisa kabur. Tapi lewat mana? Muka sekeren ini dijodohin? Rugi banget Tuhan bikin gue seganteng ini…” gumamnya, sambil menatap bayangannya di cermin.

Terpopuler

Comments

Siti Nina

Siti Nina

Padahal cerita nya bagus banget tapi yg like baru saya doang apa blm pada tau x ya 🤔 tapi ttp semangat thor cerita mu keren baca juga enak ga belibet 👍👍👍

2025-08-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!