Pengkhianat Harus Disingkirkan

Begitu Nateya keluar dari kamarnya, aroma kayu jati tua yang memenuhi lorong rumah kolonial itu menyambut langkahnya. Ia menarik napas panjang, lalu memanggil lantang.

"Bi Warti!"

Suara panggilannya menggema hingga ke ruang belakang. Tak lama, perempuan paruh baya itu muncul dengan wajah sedikit pucat, napasnya agak tersengal karena tergesa.

"Ya, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya bergetar seperti orang yang takut membuat kesalahan.

Nateya menatapnya dengan tatapan tenang. "Ambilkan alat tulis."

Alis Bi Warti berkerut. "Alat tulis? Untuk apa, Nyonya?"

Nateya tersenyum miring. "Tentu saja untuk menulis. Masa untuk dimakan?"

Perkataan itu membuat Bi Warti terbelalak, seperti baru mendengar hal yang mustahil.

"Biasanya, kalau Nyonya ingin menulis… Nyonya tinggal memanggil Tuan Victor. Beliau bisa menuliskannya untuk Nyonya, supaya tangan Nyonya tidak pegal. Tuan Victor sekarang sedang berjaga di depan rumah. Saya bisa memanggilnya."

Nama itu—Victor—menyentak ingatan Nateya. Potongan kisah dari novel yang ia baca berkelebat di benaknya.

Seruni, wanita yang tubuhnya kini ia huni, memang memiliki seorang ajudan pribadi bernama Victor. Konon, Victor adalah tangan kanan yang setia, pelindung yang selalu siap di sisi. Namun, Nateya tahu kebenaran pahitnya.

Victor hanyalah mata-mata berhati dingin, lelaki yang menyimpan cinta diam-diam pada Amara. Lelaki itu tak hanya berkhianat, tapi juga menjadi salah satu dalang yang menjerumuskan Seruni ke penjara.

Pikirannya berputar cepat. Suatu hari, ia harus menyingkirkan pengkhianat seperti Victor. Menggantinya dengan orang yang benar-benar setia. Tapi itu bukan urusan hari ini.

Sekarang, ia hanya perlu fokus membenahi dirinya, membangun kekuatan dari dalam sebelum menghadapi musuh.

"Tidak usah panggil dia," ujar Nateya mantap. "Ambilkan saja alat tulis. Aku akan menulis sendiri. Tangan ini tidak akan patah hanya karena memegang pena."

Bi Warti tampak ingin bertanya lagi, tetapi ragu. Akhirnya ia hanya mengangguk cepat dan bergegas pergi.

Tak lama kemudian, perempuan itu kembali dengan sebuah papan tulis kayu kecil, beberapa lembar kertas krem bertekstur kasar, sebatang pensil arang, dan sebuah botol tinta hitam lengkap dengan pena celup bermata baja. Itu semua adalah alat tulis khas zaman Hindia Belanda.

Dengan hati-hati, Bi Warti meletakkan semua alat tulis di meja marmer ruang tengah.

Nateya menerima, merasakan dingin logam pena di tangannya. Ia duduk, membetulkan posisi kertas, lalu mulai menulis. Jemarinya bergerak luwes, membentuk huruf demi huruf yang tegas.

Baris demi baris ia isi dengan menu sehat yang pernah ia rancang sebagai dokter di dunia modern. Sarapan tinggi protein, sayuran beraneka warna untuk makan siang, camilan rendah gula, dan porsi karbohidrat terukur untuk malam. Program dietnya bukan sekadar untuk menurunkan berat badan, melainkan untuk menyehatkan tubuh dari dalam.

Setiap tarikan tinta di kertas itu menjadi doa kecil agar pengetahuannya tidak luntur, meski ia terjebak di tubuh orang lain. Dalam hati, Nateya berjanji tidak akan membiarkan diri ini bergantung pada orang lain. Ia harus melatih Seruni supaya menjadi wanita yang rajin dan mandiri.

Di tengah keseriusannya, bunyi mesin mobil tua berhenti di depan rumah. Deru mesinnya padam, meninggalkan keheningan sesaat yang segera dipecahkan oleh langkah tergesa di teras.

Pintu ruang tengah terbuka, dan Bi Warti masuk tergopoh-gopoh. "Nyonya, Nona Amara dan si kembar sudah datang."

Tanpa mengangkat wajah dari kertas, Nateya berkata santai, "Biarkan mereka masuk sendiri. Aku masih sibuk."

Bi Warti menatapnya dengan raut bingung. "Eh… Baik, Nyonya."

Ia melangkah mundur dengan wajah yang penuh tanda tanya. Dalam hatinya, ia tak habis pikir. Biasanya, jika Amara datang, Seruni akan meledak bagai api disiram minyak, bergegas keluar untuk menyambut dengan kata-kata tajam dan pandangan penuh permusuhan.

Akan tetapi hari ini, yang duduk di hadapannya adalah seorang wanita yang setenang air danau di pagi hari. Menulis dengan jemari mantap, seolah kedatangan adik tirinya hanyalah angin lewat.

Nateya tetap membungkuk di atas kertasnya, senyum tipis menghiasi bibirnya. Ini hanyalah permulaan. Ketika nanti ia mengangkat wajahnya untuk menatap Amara, permainan yang sebenarnya akan dimulai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!