Nateya duduk di tepi ranjang yang begitu empuk hingga tubuhnya nyaris tenggelam di dalamnya. Jemarinya meraih helaian rambutnya sendiri, mengacaknya dengan frustrasi.
Rambut itu kini terasa tebal, kasar, sama sekali berbeda dengan rambut halus beraroma bunga yang biasa ia rawat setiap hari. Napasnya tercekat. Bagaimana mungkin ia berubah menjadi gendut, kusut dan kacau seperti ini?
Jika diberi pilihan, ia lebih suka beristirahat manis di surga ketimbang terjebak dalam tubuh tokoh jahat gendut dari novel. Namun, tiba-tiba kepalanya berdenyut. Membuat pandangan Nateya berkunang-kunang.
Rasa sakit itu menyusup cepat, seperti gelombang yang menyeretnya ke kedalaman laut. Nateya memejamkan mata, dan di balik kelopak matanya, ingatan yang bukan miliknya mulai bermunculan.
Ia melihat seorang gadis muda dengan pipi sedikit tembam dan mata yang berbinar-binar, menatap seorang pria gagah berseragam militer. Pria itu adalah Jenderal Elias, pria yang dingin, tinggi, dengan sorot mata tajam yang seperti menembus jiwa.
Ingatan itu menceritakan bahwa Seruni, pemilik tubuh ini, telah dijodohkan dengan Elias sejak kecil karena persahabatan erat antara kedua ayah mereka.
Sayangnya, hati Elias bukan milik Seruni. Ia mencintai Amara, adik tiri Seruni yang langsing, jelita, dan berperangai lembut. Namun Seruni, yang telah lama jatuh cinta pada Elias, memilih jalan licik. Malam itu ia menjebaknya, membuat Elias mabuk, lalu menidurinya.
Sejak saat itu, Elias terpaksa menikahinya demi menjaga kehormatan. Tetapi pernikahan itu hanya membawa dingin. Tidak ada sentuhan hangat, tidak ada tatapan cinta.
Dan Amara… wanita itu selalu berada di dekat Elias. Ia sering tersenyum manis pada pria itu, dan Elias pun selalu membalasnya dengan kelembutan yang tak pernah diberikan kepada istrinya.
Ingatan itu menorehkan perih yang dalam. Sakit hati itulah yang membuat Seruni asli berubah menjadi wanita jahat—galak pada pelayan, memukul anak-anaknya yang seharusnya ia lindungi. Julius, si sulung, selalu dipukul karena membela adiknya, Anelis, yang bisu.
Kilatan kenangan itu meremukkan dada Nateya. Lalu, di antara semua itu, sebuah suara yang bergema di pikirannya berbisik tajam :
“Kau adalah Seruni sekarang. Jalani hidup ini. Pilih jalanmu.”
Kepalanya semakin berat. Peluh dingin membasahi pelipisnya. Dari luar masih terdengar ketukan keras di pintu, diikuti suara seorang wanita.
“Nyonya? Apakah Nyonya sudah bangun?”
Nateya menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa mual. Pelayan itu terus menggedor, membuatnya akhirnya berdiri dan melangkah gontai.
Ketika ia membuka pintu, di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berbalut kebaya sederhana. Wajahnya teduh dan sorot mata penuh pengabdian. Di sampingnya, seorang gadis muda memegang nampan sarapan.
Aroma roti lapis daging, bercampur wangi telur rebus dan susu segar menyeruak ke hidungnya. Nateya spontan terbelalak melihat porsinya—terlalu banyak untuk satu orang.
“Bi Warti…." gumamnya pelan, mengingat nama pelayan setia Seruni ini dari alur novel.
Bi Warti menatapnya heran. “Wajah Nyonya pucat sekali. Saya bawakan sarapan pagi. Kalau masih lapar, nanti saya buatkan nasi goreng dan kroket kesukaan Nyonya.”
Nateya nyaris terbatuk. Sebanyak ini setiap pagi? Tidak heran tubuh Seruni seperti ini.
Namun, yang lebih mengherankan adalah perutnya sendiri. Lapar. Sangat lapar. Mungkin ini memang efek dari tubuh Seruni yang terbiasa makan berlebihan.
Ia menghela napas, memutuskan untuk menerima makanan itu. “Bawa masuk. Kau,” ia menunjuk pelayan muda yang membawa nampan, “boleh kembali. Aku ingin bicara sebentar dengan Bi Warti.”
Pelayan muda itu membungkuk dan pergi. Bi Warti meletakkan nampan di meja dekat jendela, sementara Nateya duduk di kursi, mencoba menenangkan pikirannya.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
“Jam sepuluh pagi, Nyonya,” jawab Bi Warti dengan nada hati-hati. “Anak-anak sudah berangkat sekolah sejak tadi.”
Jam sepuluh? Nateya hampir tersedak udara. Astaga, tubuh ini benar-benar pemalas.
Ia menatap perutnya, lalu menunduk dalam. Kalau dia tidak mengubah kebiasaan buruk ini, dia akan berakhir seperti Seruni dalam novel, mati mengenaskan.
"Apa Nyonya ingin mandi setelah sarapan?" tanya Bi Warti ragu-ragu.
Nateya menelan ludah, “Nanti aku akan mandi sendiri. Kau cukup tunjukkan di mana kamar mandi.”
Bi Warti tertegun, bahkan nyaris menjatuhkan sendok yang baru saja ia pegang. “Nyonya tidak perlu bantuan saya?”
“Tidak.” Nateya menegaskan dengan nada yang membuat Bi Warti semakin heran.
Pelayan itu menunduk. “Baik, Nyonya. Tapi… siang ini Jenderal Elias akan pulang menjemput anak-anak dari sekolah. Biasanya Nyonya akan berdandan secantik mungkin untuk menyambut beliau.”
Nateya tersenyum miris. Dandanan secantik apapun tidak akan membuat Elias melihatku, apalagi dalam tubuh ini. Yang ada, pria itu akan semakin muak dan menganggapnya seperti badut yang mengemis cinta.
Namun di lubuk hatinya, ia bertekad. Jika ini adalah hidup barunya, ia tidak akan menempuh jalan yang sama seperti Seruni.
Ia tidak akan menjadi wanita jahat yang berakhir tragis. Ia akan mengubah takdirnya. Bahkan jika itu berarti menghadapi Jenderal Elias dan tatapan dinginnya setiap hari.
Bagaimanapun, dia adalah Nateya Limantara, dokter muda yang cantik dan berprestasi. Dengan kemampuan medis yang handal serta program diet yang telah ia rancang, ia pasti bisa mengubah itik buruk rupa menjadi angsa yang memesona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments