Pergi Meninggalkan Rumah

Hujan turun saat fajar baru saja menyentuh cakrawala. Langit masih muram, berwarna kelabu kusam, seakan dunia belum sepenuhnya terjaga. Butiran air mengguyur perlahan, dingin, lembut, namun menyayat.

Xu Hao terbangun ketika tetes-tetes hujan menyentuh wajah dan tubuhnya. Pakaiannya basah kuyup. Rambutnya lepek menempel di kulit. Ia membuka mata perlahan, masih setengah sadar, berharap apa yang ia lihat hanyalah mimpi yang terlalu nyata.

Namun di hadapannya, dua gundukan tanah masih berdiri diam. Basah oleh hujan. Tenang seperti tidur panjang yang tak pernah akan terbangun.

Itu bukan mimpi. Bukan ilusi. Bukan bayangan dari pikiran lelah seorang anak. Itu adalah kenyataan yang tak bisa disangkal. Kenyataan yang menusuk lebih tajam daripada pedang.

Xu Hao menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi karena kekosongan yang merambat ke dalam dadanya. Ia perlahan bangkit, tubuhnya lunglai, langkahnya goyah. Kaki telanjangnya menapaki tanah becek. Ia berjalan ke menuju pintu rumahnya.

Setelah di dalam rumah, Xu Hao menutup pintu perlahan. Seolah takut mengganggu keheningan dunia yang telah kehilangan cahaya. Tangan kecilnya mengganti pakaian basah dengan jubah tipis yang sudah usang. Kain itu bau tanah dan asap dapur, tapi terasa sedikit hangat di tengah hujan yang dingin.

Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah roti kecil yang terletak di atas meja kayu rendah. Roti itu diletakkan ibunya semalam. Roti terakhir. Roti yang seharusnya Xu Hao makan pagi kemarin.

Tangannya mengambil roti itu. Xu Hao duduk di pojok rumah, memeluk lututnya, lalu menggigit roti perlahan.

Tangisnya pecah.

Air mata mengalir deras, jatuh di atas roti. Tapi Xu Hao tetap memakan roti itu. Setiap gigitan terasa seperti menelan masa lalu. Kenangan-kenangan menyeruak dari sudut pikirannya yang hancur.

Xu Hao ingat ketika dirinya berumur sepuluh tahun, berlari keliling rumah sambil tertawa karena mencabut kumis ayahnya yang sedang tidur siang. Ibunya berteriak memanggilnya, lalu mengejarnya sambil membawa sapu, tapi wajahnya penuh senyum.

Xu Hao juga ingat bagaimana ayahnya selalu sabar, bahkan ketika Xu Hao menjatuhkan kendi air atau memecahkan mangkuk satu-satunya. Ayahnya tidak pernah memarahinya. Hanya tertawa kecil dan berkata, "Hati-hati lain kali, Hao'er. Dunia sudah cukup keras. Jangan biarkan hatimu ikut menjadi keras."

Sekarang semua itu tinggal bayangan.

Rumah ini masih berdiri, tapi kosong. Meja masih ada, tapi sepi. Suara tawa sudah menghilang. Kehangatan telah terkubur bersama dua tubuh yang dicintainya.

Xu Hao meremas roti di tangan. Air mata menetes tanpa henti. Mulutnya bergerak, suara lirih keluar seperti bisikan pada angin.

"Ayah… Ibu… dunia ini terlalu sepi sekarang. Aku tidak tahu bagaimana harus hidup. Aku masih empat belas tahun. Aku lemah. Aku tidak tahu arah."

Tangannya gemetar saat ia mengikat ujung kain hitam yang ia gunakan untuk membungkus beberapa potong pakaian lusuh dan selembar selimut tipis. Xu Hao tidak memiliki harta lain. Tidak ada jimat. Tidak ada pil. Tidak ada senjata. Hanya kenangan dan tekad yang tersisa.

Xu Hao kembali ke halaman belakang.

Kedua kuburan itu kini basah oleh hujan. Tanahnya menghitam. Tapi Xu Hao berlutut di antara mereka, mencium tanah yang menutupi tubuh ayah dan ibunya.

"Ayah… Ibu… aku akan pergi sekarang. Putramu ini ingin belajar kultivasi. Aku tahu aku tidak berbakat. Aku tahu tubuhku lemah. Tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan membalas kematian kalian. Meskipun harus memakan waktu bertahun-tahun. Meskipun harus melawan langit sekalipun."

Tangannya menyentuh tanah satu per satu. Lama. Hening. Xu Hao mencoba mengukir wajah ayah dan ibunya dalam hatinya sekali lagi, agar tidak pernah pudar.

"Ayah… Ibu… tunggulah. Aku akan berkunjung lagi jika memiliki waktu. Jika hidupku panjang. Jika takdir mengizinkan."

Xu Hao berdiri perlahan. Sinar matahari mulai menembus celah awan. Langit yang semula kelabu kini menunjukkan warna emas samar. Hujan berhenti. Embun menetes dari daun-daun bambu. Udara terasa segar, tetapi Xu Hao tahu itu bukan kebahagiaan. Itu hanyalah dunia yang terus berjalan, seakan tidak peduli pada luka siapa pun.

Xu Hao melangkah masuk ke dalam rumah sekali lagi. Menatap sudut-sudut rumah yang menyimpan kenangan masa kecilnya. Tangan ibunya yang pernah menenun jubah kecil. Suara ayahnya yang mengucapkan selamat tidur. Dinding bambu itu seakan hidup. Tapi kini semuanya telah menjadi sunyi.

Xu Hao berdiri di depan pintu. Ia menutupnya perlahan, seperti menutup buku kenangan yang telah selesai ditulis. Tidak ada upacara. Tidak ada perpisahan resmi. Hanya satu jiwa kecil yang berpamitan pada dunia lamanya.

Xu Hao melangkah menjauh.

Di tengah jalan tanah yang mulai mengering, ia menoleh ke belakang. Rumah itu masih berdiri. Tapi dalam pandangannya, terlihat ilusi. Ilusi ibunya yang sedang tertawa sambil mengejarnya. Ilusi ayahnya yang menggendongnya tinggi di atas bahu. Xu Hao menatap mereka lama. Lalu menunduk.

Air mata menetes lagi. Ia tidak menyekanya.

Ia hanya berbalik dan berjalan.

Tanpa arah. Tanpa peta. Tanpa tujuan yang pasti.

Xu Hao mengikuti ke mana angin membawa. Meninggalkan desa kecil yang bahkan tidak disebut dalam peta. Meninggalkan rumah yang penuh cinta. Meninggalkan masa lalu yang telah dibakar oleh api takdir.

Dan di dalam dada seorang anak lelaki, perlahan-lahan lahir sesuatu yang belum pernah ada. Bukan kekuatan, Bukan juga ilmu. Tetapi tekad.

Tekad untuk bertahan hidup. Untuk bertumbuh. Untuk menantang dunia yang telah merampas segalanya.

Xu Hao berjalan sendirian. Di antara langit dan bumi. Di antara luka dan harapan. Dan langkah kecil itu… akan mengubah takdir. Suatu hari nanti.

Langkah Xu Hao perlahan menembus hutan yang mengelilingi Desa Batu Tua seperti pagar alami yang penuh dengan kesunyian dan rahasia. Hutan itu tidak memiliki jalan, hanya semak belukar, akar pohon raksasa, dan tanah licin yang belum pernah disentuh kaki manusia kecuali para pemburu tua atau pendeta pengembara.

Tapi tidak ada pilihan lain.

Xu Hao tahu, jika ia ingin keluar dari desa, hanya satu arah yang bisa ia tempuh. Menembus hutan purba yang menjadi batas dunia kecilnya. Dengan tubuh yang lemah dan kaki yang terasa seperti terbuat dari timah, ia tetap melangkah. Napasnya berat. Keringat bercampur dengan air hujan yang masih menetes dari dedaunan. Di punggungnya tergantung kain hitam berisi pakaian lusuh dan sepotong roti yang belum habis.

Sesekali Xu Hao berhenti, bersandar pada batang pohon yang besar, lalu duduk di akar yang menjulur seperti cakar naga. Xu Hao membuka bungkusan kainnya perlahan, mengambil potongan kecil dari roti sisa pagi tadi. Mulutnya kering, tapi ia tetap mengunyah perlahan, tidak berani menghabiskannya.

Hutan di sekelilingnya hidup. Tapi bukan kehidupan yang ramah.

Suara-suara aneh terdengar dari balik semak. Bayangan makhluk melintas cepat di antara pepohonan. Angin membawa aroma tanah basah dan darah yang tertinggal entah dari makhluk apa. Xu Hao menggigil, namun ia tetap menyimpan sisa roti itu kembali ke dalam kain, lalu bangkit berdiri.

Ia melanjutkan perjalanan.

Kaki kecilnya menapaki tanah becek dan batu licin. Daun tajam menggores lengannya. Terkadang ranting mencambuk wajahnya. Tapi ia tidak berhenti. Rasa takut seperti cakar dingin yang terus mencengkeram dadanya.

Saat sore mulai turun, suara geraman terdengar dari kejauhan.

Xu Hao menoleh. Di balik semak, sepasang mata kuning menyala dalam kegelapan. Seekor serigala hitam muncul, tubuhnya besar, bulunya berdiri, dan air liurnya menetes dari taring panjang. Xu Hao berlari. Kakinya terpeleset. Ia hampir terjatuh. Tapi nalurinya membawa tubuhnya mendekati pohon.

Dengan tenaga yang tersisa, Xu Hao memanjat. Tangan kecilnya meraih dahan. Kakinya tergores. Tapi ia berhasil naik ke atas.

Serigala itu mengaum dari bawah. Tidak meloncat, tapi terus menatap. Setelah beberapa saat, makhluk itu pergi, meninggalkan jejak cakar di tanah.

Xu Hao menangis. Bahunya bergetar. Wajahnya ditutupi oleh lengan, mencoba menahan suara tangis yang bisa memancing makhluk lain datang. Ia mengingat ayahnya. Jika ayah masih hidup, ayah pasti sudah berdiri di depan serigala itu, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. Ia mengingat ibunya, yang selalu memeluknya ketika ketakutan.

Sekarang… Dia sendiri.

Perjalanan terus berlanjut. Hutan semakin gelap. Kabut turun dari celah pepohonan tinggi. Xu Hao bersembunyi beberapa kali, kadang di balik batu, kadang di bawah akar pohon. Suara binatang buas terus terdengar. Setiap kali ia selamat, ia menangis lagi.

Hari mulai berubah menjadi malam.

Langit tertutup penuh oleh daun-daun besar. Cahaya hanya berasal dari cecah rembulan yang menembus celah, seperti pedang tipis dari langit.

Xu Hao berjalan tersandung, lututnya berdarah. Tiba-tiba dari balik kabut, terdengar suara langkah kaki. Berat. Teratur. Bukan langkah anak kecil. Tapi, langkah kaki manusia dewasa.

Dari antara pohon, muncul tiga pria bertubuh besar. Wajah mereka kotor, jubah mereka compang-camping, namun di pinggang mereka tergantung pisau-pisau melengkung yang telah dipenuhi bekas darah kering. Sorot mata mereka liar. Tawa mereka keras. Salah satu dari mereka memiliki bekas luka panjang dari pelipis hingga dagu.

Xu Hao berdiri membatu.

Salah satu pria meludah ke tanah lalu tertawa. Suaranya berat seperti kayu tua yang retak. "Hey, anak kecil. Apa yang kau lakukan di dalam hutan begini?"

Xu Hao tidak menjawab langsung. Napasnya pendek. Matanya menatap tanah. Ia menggenggam kain hitam erat-erat, seolah itu satu-satunya harta yang ia miliki.

"Aku… aku ingin pergi ke kota," jawabnya lirih.

Ketiga pria itu saling berpandangan. Wajah mereka terkejut sejenak, lalu tertawa.

"Ke kota? Dari sini? Ha! Anak ini pasti gila," kata pria bermata sipit sambil mengelus perutnya yang besar.

Pria yang paling tinggi melangkah lebih dekat. Tatapannya tajam seperti pisau. "Kota masih sangat jauh. Kau tidak akan sampai dengan tubuh seperti itu. Tapi… siapa tahu kau punya sesuatu yang bisa membuat perjalanan kami lebih mudah."

Tangan mereka mulai mendekat. Xu Hao menggenggam kainnya lebih erat.

"Aku tidak punya apa-apa. Hanya pakaian… dan roti sisa."

Salah satu dari mereka menyambar kain hitam dari tangannya. Xu Hao mencoba menahan, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dalam satu tarikan, bungkusan itu terbuka.

Mereka melihat isinya. Hanya beberapa pakaian lusuh dan sepotong roti kering.

"Hahaha! Ini semua? Ini saja? Kau miskin sekali!" seru pria bertubuh gendut sambil menendang Xu Hao ke tanah.

Xu Hao terjatuh. Dagu dan lututnya menghantam batu. Darah keluar dari bibirnya. Ia menunduk, menangis diam-diam. Tapi tidak memohon.

Pria bermata sipit mendekat dan memukul wajah Xu Hao dengan punggung tangannya. Pandangan Xu Hao mulai kabur. Kepalanya berdenyut. Lalu semuanya gelap.

Tubuh kecilnya tergeletak di tanah. Tidak bergerak.

Salah satu pria membungkuk, menyentuh leher Xu Hao. Ia masih hidup.

"Dia masih bernapas. Kita bisa menjualnya."

"Anak seperti ini… mungkin bisa laku di pelelangan bawah tanah. Atau dijual ke bangsawan tua yang mencari pelayan anak."

"Harga tubuh seperti ini cukup untuk makan seminggu. Hahaha!"

Mereka tertawa puas.

Lalu salah satu dari mereka mengangkat tubuh Xu Hao, meletakkannya di atas pundaknya seperti karung gandum. Tubuh itu lemas, tidak sadarkan diri. Kepala kecilnya terayun mengikuti langkah kasar mereka.

Dan malam hutan kembali sunyi.

Di tengah kabut dan suara burung malam, Xu Hao dibawa pergi oleh para perampok. Takdir mulai mengukir jalan baru. Jalan yang gelap, terjal, dan penuh bahaya. Tapi dari kegelapan ini, benih dendam, ketekunan, dan kekuatan mulai tumbuh.

Malam itu menjadi saksi. Bahwa Xu Hao, anak dari desa terpencil, akan berjalan jauh melewati batas yang belum pernah disentuh oleh siapa pun dari desanya.

Terpopuler

Comments

HUOKIO

HUOKIO

Oalah. udah dikasari malah di culik/Cry/

2025-08-09

5

Nanik S

Nanik S

Cerita yang berbeda... bagus sekali Tor

2025-08-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!