Desa Batu Tua berdiri terpencil di batas antara hutan kabut dan pegunungan tak bernama, seakan dilupakan oleh langit dan tak dijamah oleh takdir. Tidak ada sumur spiritual yang mengalirkan Qi murni. Tidak tumbuh tanaman pil yang bisa menyelamatkan jiwa. Tak pula ada bijih logam untuk membentuk pedang abadi. Hanya hamparan ladang gandum yang merunduk lesu, ternak yang kurus hingga terlihat tulangnya, dan manusia-manusia yang hidup lebih dekat dengan tanah lumpur daripada bintang-bintang langit.
Di tempat seperti itu, Xu Hao dilahirkan.
Hingga usianya mencapai empat belas tahun, belum pernah sekalipun telapak kakinya melangkah ke luar dari batas desa. Ia tidak tahu seperti apa rupa gerbang sekte. Ia belum pernah mencium harum pil penyembuh. Ia pun tidak tahu seperti apa rasanya ketika Qi yang agung mengalir lembut dalam meridian tubuh.
Yang ia tahu hanyalah diam, bekerja, dan bertahan dari dunia yang seperti tak menginginkan kehadirannya. Ejekan dan pukulan adalah makanan hariannya. Hari ini pun tak berbeda. Anak dari tetua dusun memukulnya dengan tongkat kayu karena alasan sepele. Tidak ada pembelaan. Tidak ada ampunan. Karena begitulah dunia bekerja bagi mereka yang lahir tanpa berkah Qi.
Langit sore itu tampak bersih, tapi terlalu pucat.
Awan menggantung rendah di ujung cakrawala. Tidak bergerak. Tidak berubah. Seolah-olah langit sedang menahan napas.
Xu Hao duduk di belakang rumah, menumbuk kulit kayu kering menjadi bubuk kasar untuk ramuan ibunya. Bahunya masih terasa perih. Memar lebam menghiasi tulangnya, tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya diam, seperti biasanya.
Namun sore itu, dunia mulai berubah.
Bukan dalam keheningan damai, melainkan dalam kesunyian yang begitu tajam, sampai-sampai terasa melukai jiwa. Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada gemerisik angin di ladang. Tidak ada langkah kaki dari jalanan tanah. Hanya detak jantungnya sendiri yang bergema nyaring di dalam kepala.
Lalu... angin berhenti.
Daun-daun yang semula melayang perlahan, kini membeku di udara. Langit memucat sepenuhnya. Cahaya seolah diselimuti lapisan tipis kabut putih.
Xu Hao bangkit berdiri. Dadanya terasa sesak. Ia melangkah perlahan menuju depan rumah, melewati pintu bambu yang longgar dan nyaris runtuh. Dalam satu detik berikutnya, hidupnya terbelah seperti cermin retak.
Di halaman tanah yang kering, ayah dan ibunya berdiri kaku. Mata mereka membelalak. Tangan mereka saling menggenggam erat. Terlalu erat. Tapi tubuh mereka bergetar hebat, seakan sedang menahan sesuatu yang tak terlihat oleh mata fana.
Di hadapan mereka, berdiri satu sosok.
Jubah hitam legam membalut tubuhnya, seperti bayangan yang dipadatkan oleh malam. Wajahnya tersembunyi di balik kerudung tipis berwarna arang. Tapi dari balik kain itu, sepasang mata bersinar putih. Bukan putih susu. Bukan putih cahaya. Tapi putih seperti cahaya bulan yang jatuh ke danau mati. Putih yang membuat darah membeku.
Ia tidak berbicara.
Ia tidak mengangkat tangan.
Ia hanya berdiri di sana. Diam. Menatap. Dan dari pandangannya saja, kematian pun datang.
Ayah Xu Hao tiba-tiba terangkat. Tubuhnya melayang beberapa jari dari tanah, seperti dijerat oleh benang tak kasatmata. Matanya meneteskan darah. Hidung dan telinganya mengalirkan cairan merah pekat. Tapi ia tidak berteriak. Mulutnya terbuka tanpa suara.
Ibu Xu Hao berusaha meraih tubuh suaminya. Tapi tangannya tak sampai. Ia hanya bisa menatap, sebelum tubuhnya sendiri mulai menggigil. Darah meledak dari rongga dadanya, mengalir dari tenggorokan, dari pori-pori di bawah kuku. Seakan ada tangan yang mencengkeram jantung mereka dari dalam.
Xu Hao hanya bisa berdiri.
Tubuhnya kaku. Napasnya tercekat. Lidahnya kelu. Dunia mendadak menjadi dingin. Udara menjadi berat. Tapi ingatannya merekam semua itu dengan jelas. Terlalu jelas.
Ayahnya jatuh terlebih dahulu.
Tubuhnya membentur tanah dengan suara tumpul, seperti karung kosong.
Ibunya menyusul. Tubuhnya jatuh perlahan, mata yang membelalak kini mencari Xu Hao.
Ia melihat ke arah putranya.
Ia tahu anaknya melihat segalanya.
Namun ia tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak memohon. Hanya tersenyum tipis, lembut seperti embun pagi di daun bunga layu.
Itulah senyuman terakhir.
Tubuhnya jatuh menyentuh tanah, begitu pelan seakan bumi menyambutnya. Tidak ada suara dentuman. Hanya keheningan. Seperti daun yang gugur di musim dingin. Seperti harapan yang layu di hadapan dewa.
Sosok berjubah hitam itu belum bergerak.
Ia menoleh pelan ke arah Xu Hao.
Tatapannya tak menyampaikan ancaman, tapi rasa dingin mengalir begitu saja masuk ke dalam tulang-tulang Xu Hao. Ia tahu, ini bukan manusia. Mungkin bukan makhluk dari dunia yang sama dengannya.
Tak ada kata yang terucap.
Tak ada gerakan. Tak ada tanda.
Hanya pandangan itu. Pandangan yang membuat detak jantung Xu Hao berhenti sejenak. Waktu seakan diam.
Lalu... ia menghilang.
Tanpa suara. Tanpa cahaya. Tanpa jejak.
Seolah ia memang tidak pernah benar-benar ada.
Beberapa saat setelah itu, Xu Hao masih berdiri. Kakinya bergetar. Tangannya menggigil. Ia mencoba melangkah, tapi lututnya lemas. Dunia terasa asing, seperti tubuhnya baru saja dilahirkan kembali di tengah penderitaan.
Ia melangkah satu langkah.
Lalu jatuh berlutut di sisi ibunya.
Darah sudah mendingin di tanah. Tapi wajah ibunya tetap lembut, seperti saat ia membacakan lagu pengantar tidur. Tangan ibunya masih menggenggam tangan ayah Xu Hao. Bahkan dalam kematian, mereka tidak saling melepaskan.
Xu Hao menunduk. Ia mulai menangis. Tidak terisak. Tidak meraung. Tangis yang datang dari kedalaman jiwa, bukan dari suara.
Ia memeluk tubuh mereka, berkata dengan suara parau.
"Ayah... Ibu... jangan mati... Kalau kalian tidak ada... aku harus hidup bersama siapa..."
Tangisnya pecah. Sesak. Berat. Ia menangis seperti anak kecil yang kehilangan seluruh dunianya. Karena memang, bagi Xu Hao, dunia telah runtuh di sore itu. Tanpa suara. Tanpa alasan. Tanpa ampun.
Dan di bawah langit pucat yang kembali diam, seorang anak tanpa Qi, tanpa nama, dan tanpa masa depan… kehilangan satu-satunya cahaya dalam hidupnya.
Langit belum sepenuhnya menghitam saat Xu Hao menyeret langkahnya ke belakang rumah. Angin yang tadi membeku kini kembali bergerak perlahan, namun masih membawa hawa kematian. Cahaya senja berubah menjadi bayangan lembayung yang menyelimuti ladang-ladang sepi. Di tanah keras dan dingin, ia berdiri sendirian. Tak ada suara, tak ada pelukan, tak ada kata-kata penghiburan dari siapa pun.
Tangannya gemetar saat mengambil cangkul tua yang disandarkan pada dinding rumah. Besinya sudah karatan. Pegangannya kasar. Namun itulah satu-satunya alat yang dimiliki keluarga miskin yang tidak pernah mengenal Qi atau teknik spiritual.
Xu Hao mulai menggali.
Tanah belakang rumah mereka keras. Kering. Ada akar-akar tua yang membelit dan menghalangi setiap hentakan cangkulnya. Tapi ia tidak mengeluh. Tidak bersuara. Ia hanya menggali. Peluh membasahi wajahnya. Darah merembes dari telapak tangannya yang lecet. Cahaya matahari pelan-pelan ditelan langit malam, namun Xu Hao tetap menggali.
Ia menggali dua lubang. Satu di sebelah kiri, satu lagi di sebelah kanan. Ia mengukur dengan matanya sendiri, memastikan keduanya cukup dalam dan cukup luas. Satu untuk ayahnya. Satu untuk ibunya. Tidak berjauhan. Tidak terpisah. Mereka akan tetap bersama. Bahkan dalam kematian.
Waktu bergulir. Awan menutupi bulan. Dingin mulai meresap masuk ke kulit. Tapi Xu Hao tidak berhenti.
Barulah saat bayangan malam benar-benar turun, dan tubuhnya hampir roboh karena kelelahan, ia meletakkan cangkulnya. Napasnya tersengal. Tubuhnya gemetar. Tapi matanya masih menyala. Bukan karena semangat, tetapi karena cinta dan luka yang belum sempat sembuh.
Ia melangkah ke dalam rumah. Tubuh ayahnya masih terbaring di tempat semula, darahnya sudah mengering. Dengan kekuatan sisa yang nyaris tak ada, Xu Hao berjongkok, lalu mengangkat tubuh itu perlahan. Tubuh yang dulu selalu membawanya di atas bahu. Tubuh yang dulu melindunginya dari dingin, dari hujan, dari kelaparan.
Langkahnya berat saat membawa tubuh ayahnya ke lubang pertama.
Ia tidak menjatuhkannya. Ia menurunkannya perlahan-lahan. Sekuat tenaga, ia memastikan tubuh itu diletakkan dengan hati-hati. Ketika posisi tubuh ayahnya sudah pas di dalam liang, Xu Hao menunduk, lalu mencium kening dingin yang dulu selalu hangat itu.
Suaranya pecah ketika ia berbisik, "Ayah… Xu Hao sangat menyayangimu. Jika nanti aku mati… aku harap kita bisa bertemu kembali di dunia lain."
Tangisnya pecah. Tapi ia tidak membiarkan tubuhnya goyah. Dengan tangan gemetar, ia mulai menimbun liang itu. Tanah demi tanah ia timpa di atas tubuh ayahnya. Setiap genggam terasa seperti belati yang menancap di dadanya sendiri. Air mata mengalir tanpa henti, bercampur dengan tanah dan darah yang menodai wajahnya.
Setelah kubur itu tertutup sepenuhnya, ia berlutut sebentar. Tangannya menekan tanah yang baru saja ia timbun, seakan berharap bisa menyentuh tubuh ayahnya sekali lagi dari balik bumi.
Lalu ia berdiri. Kakinya lemas. Tapi ia masih melangkah.
Ia masuk ke rumah. Kali ini ia menunduk dan mengangkat tubuh ibunya. Lebih ringan dari tubuh ayahnya. Lebih rapuh. Tubuh yang dulu selalu mendekapnya saat demam. Tubuh yang selalu menggandengnya pulang di musim dingin.
Ia membawa ibunya keluar, menuju lubang yang satu lagi.
Perlahan-lahan ia turunkan. Hatinya terasa ditarik turun bersama tubuh itu. Ia menggigil. Tapi ia tetap mencium kening ibunya. Lebih lama dari sebelumnya. Tangisnya tidak bisa lagi ditahan. Suaranya pecah dalam keheningan.
"Ibu… kenapa aku ditinggal sendiri? Aku tidak bisa hidup tanpa Ibu… tanpa Ayah…"
Ia memeluk tubuh ibunya, masih di dalam liang kubur. Hidungnya menempel pada baju ibunya. Aroma samar dari jamu dan ramuan yang sering dibuat ibunya masih tertinggal. Aroma yang selalu menenangkan.
"Ibu… Xu Hao berjanji… Xu Hao akan membalaskan kematian Ibu… Tidak peduli berapa lama… Xu Hao pasti akan membayar hutang darah ini dengan darah."
Tangisnya berubah menjadi bisikan penuh tekad. Dari kelemahan lahir kekuatan. Dari luka lahir niat yang membara.
Setelah beberapa saat, ia naik dari lubang itu. Lalu mulai menutupinya. Perlahan-lahan. Sampai liang itu tertutup sempurna. Tanahnya ditekan hati-hati. Dihaluskan dengan telapak tangannya sendiri.
Ketika semua selesai, Xu Hao sudah terlalu lelah untuk berdiri.
Langit malam gelap gulita. Angin berhembus pelan di antara rumput liar. Tapi di antara dua gundukan tanah itu, Xu Hao merebahkan tubuhnya. Ia tidak masuk ke rumah. Ia tidak mencuci darah di wajah. Ia hanya berbaring di tanah, di antara dua makam yang ia gali dengan tangannya sendiri.
Tubuhnya bergetar. Tapi matanya perlahan tertutup.
Dan di malam sunyi itu, di bawah langit yang tidak memberikan jawaban, Xu Hao tertidur. Di antara kematian dan janji. Di antara cinta dan dendam. Tidur anak lelaki yang telah kehilangan segalanya… kecuali kehendak untuk bertahan hidup dan membalas.
Hujan turun saat fajar baru saja menyentuh cakrawala. Langit masih muram, berwarna kelabu kusam, seakan dunia belum sepenuhnya terjaga. Butiran air mengguyur perlahan, dingin, lembut, namun menyayat.
Xu Hao terbangun ketika tetes-tetes hujan menyentuh wajah dan tubuhnya. Pakaiannya basah kuyup. Rambutnya lepek menempel di kulit. Ia membuka mata perlahan, masih setengah sadar, berharap apa yang ia lihat hanyalah mimpi yang terlalu nyata.
Namun di hadapannya, dua gundukan tanah masih berdiri diam. Basah oleh hujan. Tenang seperti tidur panjang yang tak pernah akan terbangun.
Itu bukan mimpi. Bukan ilusi. Bukan bayangan dari pikiran lelah seorang anak. Itu adalah kenyataan yang tak bisa disangkal. Kenyataan yang menusuk lebih tajam daripada pedang.
Xu Hao menggigil, bukan hanya karena dingin, tetapi karena kekosongan yang merambat ke dalam dadanya. Ia perlahan bangkit, tubuhnya lunglai, langkahnya goyah. Kaki telanjangnya menapaki tanah becek. Ia berjalan ke menuju pintu rumahnya.
Setelah di dalam rumah, Xu Hao menutup pintu perlahan. Seolah takut mengganggu keheningan dunia yang telah kehilangan cahaya. Tangan kecilnya mengganti pakaian basah dengan jubah tipis yang sudah usang. Kain itu bau tanah dan asap dapur, tapi terasa sedikit hangat di tengah hujan yang dingin.
Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah roti kecil yang terletak di atas meja kayu rendah. Roti itu diletakkan ibunya semalam. Roti terakhir. Roti yang seharusnya Xu Hao makan pagi kemarin.
Tangannya mengambil roti itu. Xu Hao duduk di pojok rumah, memeluk lututnya, lalu menggigit roti perlahan.
Tangisnya pecah.
Air mata mengalir deras, jatuh di atas roti. Tapi Xu Hao tetap memakan roti itu. Setiap gigitan terasa seperti menelan masa lalu. Kenangan-kenangan menyeruak dari sudut pikirannya yang hancur.
Xu Hao ingat ketika dirinya berumur sepuluh tahun, berlari keliling rumah sambil tertawa karena mencabut kumis ayahnya yang sedang tidur siang. Ibunya berteriak memanggilnya, lalu mengejarnya sambil membawa sapu, tapi wajahnya penuh senyum.
Xu Hao juga ingat bagaimana ayahnya selalu sabar, bahkan ketika Xu Hao menjatuhkan kendi air atau memecahkan mangkuk satu-satunya. Ayahnya tidak pernah memarahinya. Hanya tertawa kecil dan berkata, "Hati-hati lain kali, Hao'er. Dunia sudah cukup keras. Jangan biarkan hatimu ikut menjadi keras."
Sekarang semua itu tinggal bayangan.
Rumah ini masih berdiri, tapi kosong. Meja masih ada, tapi sepi. Suara tawa sudah menghilang. Kehangatan telah terkubur bersama dua tubuh yang dicintainya.
Xu Hao meremas roti di tangan. Air mata menetes tanpa henti. Mulutnya bergerak, suara lirih keluar seperti bisikan pada angin.
"Ayah… Ibu… dunia ini terlalu sepi sekarang. Aku tidak tahu bagaimana harus hidup. Aku masih empat belas tahun. Aku lemah. Aku tidak tahu arah."
Tangannya gemetar saat ia mengikat ujung kain hitam yang ia gunakan untuk membungkus beberapa potong pakaian lusuh dan selembar selimut tipis. Xu Hao tidak memiliki harta lain. Tidak ada jimat. Tidak ada pil. Tidak ada senjata. Hanya kenangan dan tekad yang tersisa.
Xu Hao kembali ke halaman belakang.
Kedua kuburan itu kini basah oleh hujan. Tanahnya menghitam. Tapi Xu Hao berlutut di antara mereka, mencium tanah yang menutupi tubuh ayah dan ibunya.
"Ayah… Ibu… aku akan pergi sekarang. Putramu ini ingin belajar kultivasi. Aku tahu aku tidak berbakat. Aku tahu tubuhku lemah. Tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan membalas kematian kalian. Meskipun harus memakan waktu bertahun-tahun. Meskipun harus melawan langit sekalipun."
Tangannya menyentuh tanah satu per satu. Lama. Hening. Xu Hao mencoba mengukir wajah ayah dan ibunya dalam hatinya sekali lagi, agar tidak pernah pudar.
"Ayah… Ibu… tunggulah. Aku akan berkunjung lagi jika memiliki waktu. Jika hidupku panjang. Jika takdir mengizinkan."
Xu Hao berdiri perlahan. Sinar matahari mulai menembus celah awan. Langit yang semula kelabu kini menunjukkan warna emas samar. Hujan berhenti. Embun menetes dari daun-daun bambu. Udara terasa segar, tetapi Xu Hao tahu itu bukan kebahagiaan. Itu hanyalah dunia yang terus berjalan, seakan tidak peduli pada luka siapa pun.
Xu Hao melangkah masuk ke dalam rumah sekali lagi. Menatap sudut-sudut rumah yang menyimpan kenangan masa kecilnya. Tangan ibunya yang pernah menenun jubah kecil. Suara ayahnya yang mengucapkan selamat tidur. Dinding bambu itu seakan hidup. Tapi kini semuanya telah menjadi sunyi.
Xu Hao berdiri di depan pintu. Ia menutupnya perlahan, seperti menutup buku kenangan yang telah selesai ditulis. Tidak ada upacara. Tidak ada perpisahan resmi. Hanya satu jiwa kecil yang berpamitan pada dunia lamanya.
Xu Hao melangkah menjauh.
Di tengah jalan tanah yang mulai mengering, ia menoleh ke belakang. Rumah itu masih berdiri. Tapi dalam pandangannya, terlihat ilusi. Ilusi ibunya yang sedang tertawa sambil mengejarnya. Ilusi ayahnya yang menggendongnya tinggi di atas bahu. Xu Hao menatap mereka lama. Lalu menunduk.
Air mata menetes lagi. Ia tidak menyekanya.
Ia hanya berbalik dan berjalan.
Tanpa arah. Tanpa peta. Tanpa tujuan yang pasti.
Xu Hao mengikuti ke mana angin membawa. Meninggalkan desa kecil yang bahkan tidak disebut dalam peta. Meninggalkan rumah yang penuh cinta. Meninggalkan masa lalu yang telah dibakar oleh api takdir.
Dan di dalam dada seorang anak lelaki, perlahan-lahan lahir sesuatu yang belum pernah ada. Bukan kekuatan, Bukan juga ilmu. Tetapi tekad.
Tekad untuk bertahan hidup. Untuk bertumbuh. Untuk menantang dunia yang telah merampas segalanya.
Xu Hao berjalan sendirian. Di antara langit dan bumi. Di antara luka dan harapan. Dan langkah kecil itu… akan mengubah takdir. Suatu hari nanti.
Langkah Xu Hao perlahan menembus hutan yang mengelilingi Desa Batu Tua seperti pagar alami yang penuh dengan kesunyian dan rahasia. Hutan itu tidak memiliki jalan, hanya semak belukar, akar pohon raksasa, dan tanah licin yang belum pernah disentuh kaki manusia kecuali para pemburu tua atau pendeta pengembara.
Tapi tidak ada pilihan lain.
Xu Hao tahu, jika ia ingin keluar dari desa, hanya satu arah yang bisa ia tempuh. Menembus hutan purba yang menjadi batas dunia kecilnya. Dengan tubuh yang lemah dan kaki yang terasa seperti terbuat dari timah, ia tetap melangkah. Napasnya berat. Keringat bercampur dengan air hujan yang masih menetes dari dedaunan. Di punggungnya tergantung kain hitam berisi pakaian lusuh dan sepotong roti yang belum habis.
Sesekali Xu Hao berhenti, bersandar pada batang pohon yang besar, lalu duduk di akar yang menjulur seperti cakar naga. Xu Hao membuka bungkusan kainnya perlahan, mengambil potongan kecil dari roti sisa pagi tadi. Mulutnya kering, tapi ia tetap mengunyah perlahan, tidak berani menghabiskannya.
Hutan di sekelilingnya hidup. Tapi bukan kehidupan yang ramah.
Suara-suara aneh terdengar dari balik semak. Bayangan makhluk melintas cepat di antara pepohonan. Angin membawa aroma tanah basah dan darah yang tertinggal entah dari makhluk apa. Xu Hao menggigil, namun ia tetap menyimpan sisa roti itu kembali ke dalam kain, lalu bangkit berdiri.
Ia melanjutkan perjalanan.
Kaki kecilnya menapaki tanah becek dan batu licin. Daun tajam menggores lengannya. Terkadang ranting mencambuk wajahnya. Tapi ia tidak berhenti. Rasa takut seperti cakar dingin yang terus mencengkeram dadanya.
Saat sore mulai turun, suara geraman terdengar dari kejauhan.
Xu Hao menoleh. Di balik semak, sepasang mata kuning menyala dalam kegelapan. Seekor serigala hitam muncul, tubuhnya besar, bulunya berdiri, dan air liurnya menetes dari taring panjang. Xu Hao berlari. Kakinya terpeleset. Ia hampir terjatuh. Tapi nalurinya membawa tubuhnya mendekati pohon.
Dengan tenaga yang tersisa, Xu Hao memanjat. Tangan kecilnya meraih dahan. Kakinya tergores. Tapi ia berhasil naik ke atas.
Serigala itu mengaum dari bawah. Tidak meloncat, tapi terus menatap. Setelah beberapa saat, makhluk itu pergi, meninggalkan jejak cakar di tanah.
Xu Hao menangis. Bahunya bergetar. Wajahnya ditutupi oleh lengan, mencoba menahan suara tangis yang bisa memancing makhluk lain datang. Ia mengingat ayahnya. Jika ayah masih hidup, ayah pasti sudah berdiri di depan serigala itu, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. Ia mengingat ibunya, yang selalu memeluknya ketika ketakutan.
Sekarang… Dia sendiri.
Perjalanan terus berlanjut. Hutan semakin gelap. Kabut turun dari celah pepohonan tinggi. Xu Hao bersembunyi beberapa kali, kadang di balik batu, kadang di bawah akar pohon. Suara binatang buas terus terdengar. Setiap kali ia selamat, ia menangis lagi.
Hari mulai berubah menjadi malam.
Langit tertutup penuh oleh daun-daun besar. Cahaya hanya berasal dari cecah rembulan yang menembus celah, seperti pedang tipis dari langit.
Xu Hao berjalan tersandung, lututnya berdarah. Tiba-tiba dari balik kabut, terdengar suara langkah kaki. Berat. Teratur. Bukan langkah anak kecil. Tapi, langkah kaki manusia dewasa.
Dari antara pohon, muncul tiga pria bertubuh besar. Wajah mereka kotor, jubah mereka compang-camping, namun di pinggang mereka tergantung pisau-pisau melengkung yang telah dipenuhi bekas darah kering. Sorot mata mereka liar. Tawa mereka keras. Salah satu dari mereka memiliki bekas luka panjang dari pelipis hingga dagu.
Xu Hao berdiri membatu.
Salah satu pria meludah ke tanah lalu tertawa. Suaranya berat seperti kayu tua yang retak. "Hey, anak kecil. Apa yang kau lakukan di dalam hutan begini?"
Xu Hao tidak menjawab langsung. Napasnya pendek. Matanya menatap tanah. Ia menggenggam kain hitam erat-erat, seolah itu satu-satunya harta yang ia miliki.
"Aku… aku ingin pergi ke kota," jawabnya lirih.
Ketiga pria itu saling berpandangan. Wajah mereka terkejut sejenak, lalu tertawa.
"Ke kota? Dari sini? Ha! Anak ini pasti gila," kata pria bermata sipit sambil mengelus perutnya yang besar.
Pria yang paling tinggi melangkah lebih dekat. Tatapannya tajam seperti pisau. "Kota masih sangat jauh. Kau tidak akan sampai dengan tubuh seperti itu. Tapi… siapa tahu kau punya sesuatu yang bisa membuat perjalanan kami lebih mudah."
Tangan mereka mulai mendekat. Xu Hao menggenggam kainnya lebih erat.
"Aku tidak punya apa-apa. Hanya pakaian… dan roti sisa."
Salah satu dari mereka menyambar kain hitam dari tangannya. Xu Hao mencoba menahan, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dalam satu tarikan, bungkusan itu terbuka.
Mereka melihat isinya. Hanya beberapa pakaian lusuh dan sepotong roti kering.
"Hahaha! Ini semua? Ini saja? Kau miskin sekali!" seru pria bertubuh gendut sambil menendang Xu Hao ke tanah.
Xu Hao terjatuh. Dagu dan lututnya menghantam batu. Darah keluar dari bibirnya. Ia menunduk, menangis diam-diam. Tapi tidak memohon.
Pria bermata sipit mendekat dan memukul wajah Xu Hao dengan punggung tangannya. Pandangan Xu Hao mulai kabur. Kepalanya berdenyut. Lalu semuanya gelap.
Tubuh kecilnya tergeletak di tanah. Tidak bergerak.
Salah satu pria membungkuk, menyentuh leher Xu Hao. Ia masih hidup.
"Dia masih bernapas. Kita bisa menjualnya."
"Anak seperti ini… mungkin bisa laku di pelelangan bawah tanah. Atau dijual ke bangsawan tua yang mencari pelayan anak."
"Harga tubuh seperti ini cukup untuk makan seminggu. Hahaha!"
Mereka tertawa puas.
Lalu salah satu dari mereka mengangkat tubuh Xu Hao, meletakkannya di atas pundaknya seperti karung gandum. Tubuh itu lemas, tidak sadarkan diri. Kepala kecilnya terayun mengikuti langkah kasar mereka.
Dan malam hutan kembali sunyi.
Di tengah kabut dan suara burung malam, Xu Hao dibawa pergi oleh para perampok. Takdir mulai mengukir jalan baru. Jalan yang gelap, terjal, dan penuh bahaya. Tapi dari kegelapan ini, benih dendam, ketekunan, dan kekuatan mulai tumbuh.
Malam itu menjadi saksi. Bahwa Xu Hao, anak dari desa terpencil, akan berjalan jauh melewati batas yang belum pernah disentuh oleh siapa pun dari desanya.
Langkah kaki ketiga pria bertubuh besar itu menggema di sepanjang jalanan berbatu kota. Xu Hao masih tergeletak di pundak salah satu dari mereka, tubuh kecilnya terayun-ayun seperti karung gandum tak bernyawa. Kepalanya menghadap ke bawah, rambutnya kusut dan meneteskan darah kering di ujung pelipis. Kota itu sendiri terlihat sibuk, dengan para pedagang berteriak menawarkan barang dagangan, dan para pembeli berlalu-lalang dengan wajah lelah oleh hiruk pikuk kehidupan. Namun perhatian beberapa orang justru tertuju pada pemandangan tak biasa itu.
Beberapa ibu-ibu tua yang sedang membawa keranjang buah berhenti. Salah satu dari mereka menggeleng pelan sambil bergumam, “Kasihan sekali anak itu... seperti boneka rusak yang dibuang.” Seorang anak kecil yang menggenggam tangan ibunya mencoba bertanya, namun ibunya segera menariknya menjauh, takut terlibat dengan urusan gelap dunia bawah kota.
Namun tiga pria itu tidak menggubris. Mereka terus berjalan menuju lorong sempit yang tak banyak dilalui orang. Lorong itu gelap, lembap, dan berbau anyir seperti darah lama yang belum mengering sempurna. Di ujung lorong, berdiri seorang pria berjubah hijau, wajahnya tertutup kain tipis yang hanya menyisakan sepasang mata tajam dan penuh kecurigaan. Di tangannya tergenggam sebuah tasbih batu roh yang berkilau samar dalam cahaya lentera gantung.
Salah satu pria bertubuh besar itu berkata dengan suara serak. “Tuan, kami ingin melelang bocah ini. Tolong buka pintunya.”
Pria berjubah hijau memandangi Xu Hao yang tak sadarkan diri. Matanya mengamati dengan cermat luka di pelipis dan kondisi tubuh bocah itu yang kurus dan kotor. Setelah beberapa helaan napas panjang, ia berkata pelan, “Dari mana kalian mendapatkan bocah ini?”
Pria kedua menjawab sambil terkekeh, “Hutan tanpa nama. Kami menemukannya sendiri. Tak ada jejak keluarga atau pembimbing kultivasi. Anak ini seperti daun jatuh, terbang tanpa arah.”
Pria berjubah hijau akhirnya mengangguk. Ia meraih sebilah besi panjang dan menusukkannya ke dinding batu. Suara mekanik terdengar, dan sebuah pintu tersembunyi mulai terbuka. Di baliknya, tampak tangga batu yang melingkar ke bawah tanah. Cahaya lentera menyala perlahan dari dinding ke dinding, seperti menyambut tamu yang tak diinginkan ke perut dunia.
Ketiganya turun menapaki tangga batu itu. Setiap langkah menghasilkan suara gema yang seperti jeritan makhluk-makhluk yang dahulu pernah dibawa ke tempat itu. Lorong bawah tanah dipenuhi tikungan seperti labirin. Suasana di sana sunyi, namun terasa penuh tekanan spiritual. Aura gelap seperti menyelimuti setiap sisi, membuat pernapasan terasa berat.
Akhirnya mereka berhenti di sebuah pintu kayu besar dengan ukiran naga mati yang terbelah dua. Salah satu pria mengetuk keras. “Buka pintunya. Kami membawa barang lelang.”
Pintu itu berderit terbuka. Seorang gadis muda muncul. Ia mengenakan pakaian hijau kusam, rambutnya dikepang sederhana ke belakang. Namun mata gadis itu tajam, seperti ular yang bisa menilai nilai hidup seseorang hanya dari tatapan pertama.
“Apa yang kalian jual?” tanyanya singkat.
“Ini,” jawab pria pembawa Xu Hao sambil meletakkan tubuh bocah itu di lantai.
Gadis itu menunduk, memperhatikan wajah Xu Hao yang masih memucat. Setelah beberapa detik ia berdiri dan membuka pintu sepenuhnya. “Masuklah.”
Ketiganya masuk dan duduk di kursi panjang yang telah disediakan. Di sudut ruangan, seorang pria tua duduk di kursi kayu tinggi. Jubahnya berwarna kelabu, dan rambutnya yang memutih terurai tak terawat. Di depannya terdapat meja batu dengan beberapa gulungan catatan, botol pil, dan batu roh.
Pria tua itu mengangkat satu alis lalu berkata, “Anak itu tampak lemah. Kurus, luka, dan tampaknya tidak memiliki akar spiritual. Bakat kultivasinya mungkin nyaris nol.”
Salah satu pria menjawab sambil terkekeh. “Kami tidak berharap banyak, tuan. Kami tahu anak ini bukan calon kultivator. Tapi dia bisa dijadikan pelayan, atau dijual ke keluarga bangsawan sebagai anak penggembira.”
Pria tua itu mengangguk pelan. “Sepuluh ribu batu roh. Itu harga yang berlebihan untuk anak seperti ini, tapi kami sedang butuh pekerja kasar.”
Ketiganya saling berpandangan dan mengangguk. “Itu sudah cukup,” jawab mereka serempak.
Gadis muda itu lalu berjalan ke rak dan mengambil kantong kain berisi batu roh. Suara gemerincing terdengar ketika ia menjatuhkan kantong itu ke tangan pria bertubuh besar. Batu roh berwarna biru kehijauan menyala lembut dari dalam kain.
“Ambil dan pergilah. Jangan ganggu urusan kami,” ucap gadis itu datar.
Ketiga pria itu tertawa kecil, lalu berdiri dan keluar dari ruangan itu. Pintu tertutup kembali, suara gerendel berat mengunci jalur mereka.
Gadis itu berbalik dan menatap tubuh Xu Hao yang masih tak bergerak. Pria tua itu berkata, “Masukkan dia ke kandang. Jangan biarkan siapa pun melihatnya sebelum lelang. Kita munculkan dia terakhir. Kadang yang tampak hina bisa menjadi rebutan jika dibuat langka.”
Gadis itu mengangguk, lalu meraih tubuh Xu Hao dan mengangkatnya dengan kedua tangan. Dengan langkah mantap ia membawa Xu Hao ke sisi lain ruangan, di mana terdapat deretan kandang besi. Seperti sangkar binatang, kandang itu cukup besar untuk satu manusia, namun tidak memberikan kenyamanan sedikit pun.
Ia meletakkan Xu Hao di dalamnya, menyelimutinya dengan kain gelap. Wajah Xu Hao tak terlihat, hanya suara napas lemah yang masih tersisa di antara desahan hening ruangan itu.
“Tidurlah... mungkin ini malam terakhirmu sebagai manusia bebas,” gumam gadis itu sebelum menutup kandang dengan gembok hitam dan kembali ke samping pria tua itu.
Lorong bawah tanah itu kembali sunyi. Hanya suara tetesan air dari langit-langit dan napas Xu Hao yang terus melemah, seperti bara yang hendak padam sebelum api baru terlahir.
Waktu pelelangan pun tiba.
Kegelapan yang memeluk tubuh kecil Xu Hao perlahan mulai memudar. Kesadaran yang sempat tenggelam kini kembali naik ke permukaan, bagai kabut tipis yang tersibak angin pagi. Kelopak matanya bergetar pelan, lalu terbuka, namun pandangannya tetap tertutup gulita. Xu Hao mengedarkan pandang ke sekeliling, namun hanya dinding kain hitam yang menyekat dunia luar. Suara gaduh dan samar terdengar dari luar, teriakan-teriakan, sorakan, dan derai tawa bercampur menjadi satu.
Xu Hao menggeliat perlahan. Tubuhnya terasa lemas, seolah semua tenaga telah dicuri oleh malam-malam panjang yang kelam. Ia menyentuh jeruji di sekelilingnya dan terkejut saat menyadari bahwa dirinya terkurung. Jeruji-jeruji logam melengkung membentuk sangkar sempit, dengan lantai kasar yang keras dan dingin. Wujudnya aneh, bukan seperti sel tahanan yang pernah digambarkan oleh ayahnya, melainkan lebih menyerupai sangkar burung besar yang pernah ia lihat tergantung di beranda rumah Kepala Desa. Ia menggigit bibirnya. Hatinya mulai bergetar.
Tangis pelan pecah dari bibir mungilnya. Suara tangis itu teredam oleh kain hitam yang menutupi seluruh sangkar, membuatnya terdengar seperti rintihan kecil dari makhluk yang terbuang.
"Ayah... Ibu..." bisiknya lemah. "Aku takut... aku tidak ingin hidup lagi... dunia ini terlalu mengerikan."
Air mata menetes satu per satu, membasahi pipinya yang kotor. Luka di pelipisnya masih terasa perih, dan perutnya kosong seperti lubang tanpa dasar. Setiap detik terasa seperti seumur hidup dalam penantian yang menyiksa.
Tiba-tiba, suara nyaring seorang gadis muda memecah kegaduhan.
"Baiklah, tuan-tuan sekalian! Kini kita sampai pada barang terakhir dalam lelang malam ini!" teriak gadis itu dengan suara lantang, penuh semangat dan gairah dagang. "Persiapkan batu roh kalian. Barang ini... sangat unik."
Kerumunan di luar mendadak terdiam. Xu Hao mengangkat kepala, jantungnya berdegup kencang. Lalu, cahaya menyilaukan menerobos masuk. Kain hitam yang menutupi sangkar ditarik dengan satu gerakan cepat, dan dunia luar kembali terlihat.
Xu Hao memicingkan mata, cahaya lentera dari langit-langit gua bawah tanah membuatnya sulit melihat jelas. Namun, ia melihat banyak wajah yang memandang ke arahnya. Wajah-wajah asing dengan tatapan mencemooh, penasaran, dan jijik.
"Ha! Aku kira itu senjata spiritual! Ternyata hanya anak kecil kurus dan kotor!"
"Apakah ini semacam lelucon?"
"Begitu lemah... bahkan angin bisa membunuhnya."
Xu Hao menunduk, memeluk lututnya. Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk ke dalam hatinya yang rapuh.
Namun gadis lelang itu tetap tersenyum, bahkan kini matanya berkilat seperti pedagang yang melihat emas.
"Jangan meremehkan anak ini, tuan-tuan!" katanya sambil melangkah ke depan sangkar. "Dia ditemukan di hutan tanpa nama. Sendirian, tanpa pengawal, tanpa pelindung. Tidak ada guru, tidak ada orang tua. Namun... dia bertahan hidup."
Suasana seketika berubah. Beberapa orang saling memandang, lalu terdengar bisik-bisik penuh keheranan.
"Hutan tanpa nama? Itu tempat berkumpulnya binatang buas peringkat tinggi..."
"Aku dengar bahkan kultivator tingkat menengah pun jarang bisa kembali dari sana..."
"Bagaimana mungkin anak kecil ini bertahan?"
Gadis lelang mengangkat tangan, menenangkan kerumunan.
"Karena itulah... kami membuka harga mulai dari sepuluh ribu batu roh. Setiap kenaikan tidak boleh kurang dari seribu batu roh. Jika kalian melihat lebih dalam... mungkin anak ini menyimpan rahasia."
Ruangan itu kembali sunyi sesaat, lalu gadis itu mengangkat palu kecil.
"Lelang dimulai!"
Suara pertama langsung terdengar.
"Sebelas ribu batu roh!" teriak seorang pria gemuk di kursi depan.
"Limabelas ribu batu roh!" suara berat seorang lelaki tua berkumis panjang.
"Duapuluh ribu batu roh!" jerit seorang nenek tua dengan kulit keriput, suaranya tajam seperti burung elang.
"Akanku bayar tiga puluh ribu!" suara menggelegar datang dari seorang pria bertubuh kekar yang duduk di bangku tengah. Lengan besarnya berotot, dan di pinggangnya tergantung kapak raksasa.
Sorak sorai mulai terdengar. Suasana memanas. Gadis lelang tersenyum puas, matanya berkilat penuh gairah. Di belakangnya, pria tua berjubah abu-abu mengangguk perlahan. Raut wajahnya senang, seolah telah memperkirakan semuanya dengan tepat.
Namun kemudian, suasana mendadak senyap. Suara halus namun tegas terdengar dari belakang ruangan.
"Lima puluh ribu batu roh."
Semua mata menoleh ke arah suara itu. Di antara bayangan temaram, terlihat seorang pria berjubah biru berdiri anggun. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya tenang namun memiliki aura yang menekan. Ia membawa tongkat kayu putih yang dihiasi pola awan dan petir.
"Itu... Tuan Cuyo...!"
"Patriark klan He...!"
"Kenapa dia tertarik pada anak ini?"
Bisik-bisik kembali memenuhi ruangan. Beberapa orang menatap dengan kagum, yang lain dengan iri. Gadis lelang tampak kaget, namun segera tersadar saat pria itu melangkah maju.
"Jangan hanya tertegun, nona," kata Cuyo dengan nada lembut namun tegas. "Umumkan hasilnya."
Gadis itu tergagap lalu segera mengangkat palu.
"Apakah ada yang ingin menaikkan tawaran?" tanyanya.
Tidak ada yang menjawab.
"Apakah ada yang ingin menaikkan tawaran?" ulangnya, suaranya sedikit tegang.
Keheningan.
"Apakah... masih ada yang ingin menaikkan tawaran?"
Semua tetap diam. Bahkan pria berkepala botak yang sebelumnya hampir berdiri, kini hanya menggeleng kecil.
Gadis lelang menarik napas, lalu berkata dengan suara lantang. "Baiklah! Anak ini menjadi milik Tuan Cuyo dari klan He!"
Palu kayu diketukkan tiga kali ke meja. Suara itu menggema di seluruh ruangan. Kandang logam itu segera ditarik kembali ke belakang panggung. Beberapa petugas menariknya ke dalam ruang penyimpanan, menunggu sang pembeli untuk mengambil barangnya.
Xu Hao hanya duduk diam. Ia tidak mengerti semua yang terjadi. Wajahnya masih basah oleh air mata. Suasana riuh, harga yang tinggi, dan perhatian orang-orang... semua itu tak berarti apa-apa bagi dirinya.
Hidupnya... tidak memiliki arti.
Ia menunduk, memeluk lututnya lagi.
Yang menemaninya malam itu hanyalah air mata. Tidak ada harapan. Tidak ada mimpi.
Hanya sangkar. Hanya kesepian.
Dan dunia yang terlalu kejam bagi seorang anak berusia empat belas tahun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!