2 - Mimpi

Matahari telah naik sedikit lebih tinggi, menembus kabut pagi yang mulai menipis. Di balik rumah sederhana keluarga Wang, terbentang ladang herba yang terawat rapi. Barisan tanaman obat seperti akar jintan, daun bai qing, dan bunga huan shou menghampar di antara petak-petak tanah yang lembap.

“Wu Xie, tolong petikkan tiga tangkai bunga huan shou yang sudah mekar. Yang kelopaknya lima, bukan enam,” kata Yun Mei, sembari menyapu embun dari daun-daun dengan ujung jari.

Wang Wu Xie mengangguk dan mulai memeriksa satu per satu. Ibunya selalu tahu cara mengajarinya tanpa membentak. Setiap kali mereka ke ladang, rasanya dunia melambat. Tidak ada suara selain desiran angin dan nyanyian serangga.

“Kau tahu, Ibu,” kata Wang Wu Xie sambil mengumpulkan bunga ke dalam keranjang rotan, “Bunga ini... baunya aneh, tapi aku suka.”

Yun Mei tersenyum kecil, “Itu karena kau tahu manfaatnya. Segala yang berguna, meski tak indah, tetap pantas dicintai.”

Wang Wu Xie terdiam. Ia menyukai kalimat itu.

Tiba-tiba, terdengar suara riuh dari arah jalan kecil yang mengarah ke sungai. Beberapa anak desa berlari menghampiri.

“Wu Xie! Kami mau lomba lempar batu ke batang pohon pinus, ayo ikut!” seru salah satu dari mereka, seorang bocah kurus bernama Jie Er.

Wang Wu Xie menoleh ke ibunya, ragu-ragu. Yun Mei hanya mengangguk sambil melambaikan tangan, “Pergilah. Tapi kembali sebelum langit memerah.”

“Baik, Ibu!” serunya, meletakkan keranjang dan berlari mengejar teman-temannya. Tawa mereka bergema di sela-sela pepohonan. Sejenak, Wang Wu Xie hanyalah bocah biasa yang tidak peduli pada langit terbelah atau makhluk abadi.

*

*

Malam itu turun dengan keheningan yang dalam. Cahaya rembulan pucat menyentuh atap rumah keluarga Wang. Wu Xie telah tertidur, tubuh kecilnya terbungkus selimut anyaman, napasnya tenang-tetapi di balik kelopak matanya, dunia lain tengah terbuka.

Dalam mimpinya, Wang Wu Xie berdiri di tengah padang kosong, langit terbelah merah. Awan-awan hitam berputar perlahan, seolah langit itu sendiri sedang menahan napas.

Di hadapannya, tiga sosok berjubah agung melayang di angkasa. Aura mereka menekan bumi hingga retak. Mereka adalah pemimpin tiga sekte besar:

Sekte Surga Emas yang menyulut petir dari jari-jarinya,

Sekte Darah Sunyi dengan pedang merah yang meneteskan kabut kematian,

Dan Sekte Es Abadi yang menurunkan hujan salju tajam dari awan.

Namun, satu sosok berdiri melawan mereka semua. Dia seorang pria berambut panjang terurai, jubah hitamnya robek berlumur darah, tapi matanya tajam seperti bintang hitam di malam terakhir dunia. Di tangannya tergenggam Pedang Penentang Langit, dan di punggungnya tergantung Kitab Reinkarnasi yang terikat oleh rantai cahaya kuno.

“Tiga lawan satu, dan kalian masih membawa dendam lama seperti bocah yang kehilangan mainan,” ujar pria itu, darah mengalir di pelipisnya. Suaranya tenang, tapi dunia bergetar setiap ia berbicara.

Pemimpin Sekte Surga Emas, seorang lelaki tua berjubah perak berkilau, menyeringai. “Serahkan Kitab Reinkarnasi dan Pusaka Penentang Langit, maka akan kuampuni nyawamu."

"Hah. Kitab ini bahkan bukan milik Sekte Surga Emas dan juga bukan milik dua orang di sampingmu. Jadi kenapa aku harus menyerahkannya?"

Pemimpin Sekte Darah Sunyi mencibir, “Kau mencuri Kitab Reinkarnasi dari ruang takdir. Dunia kultivasi akan memburumu sampai ke dasar neraka. Kau tidak akan bisa lolos dari kematian!"

Pemimpin Sekte Darah Sunyi menjilat pedangnya yang merah membara. “Dan jangan lupa… kau membantai delapan puluh delapan tetua dalam satu malam. Kau bukan hanya pencuri, tetapi kutukan!”

Pemimpin Sekte Es Abadi, perempuan bermata beku, menatap tanpa emosi. “◾◾Kau adalah serpihan kekacauan. Dunia tidak akan damai selama jiwamu masih mengembara.”

Pria itu tersenyum dingin. “Damai?” Ia mengangkat Pedang Penentang Langit, dan ujungnya membelah awan menjadi jurang cahaya. “Kalian menyebut ini damai, setelah membakar desa tempatku lahir? Setelah membunuh semua yang kupanggil keluarga?”

Tanpa aba-aba, pertarungan pun meledak.

Langit disayat kilat, bumi merekah terbakar, dan dimensi sendiri menjerit saat kekuatan tiga sekte besar bertabrakan dengan satu sosok yang telah melawan dunia terlalu lama.

Tetua Sekte Surga Emas menjatuhkan ribuan tombak petir.

Pria itu membalik tubuh, satu tebasan pedangnya membelah langit, memantulkan serangan kembali hingga menghantam gunung di kejauhan dan melelehkan puncaknya.

Tetua Sekte Darah Sunyi memanggil kabut pembusuk jiwa. Dengan satu hentakan kaki, pria itu menciptakan pusaran cahaya keemasan. Kabut darah mendesis, seperti ular disiram api suci.

Tetua Sekte Es Abadi menurunkan salju yang mengiris dimensi.

Pria yang mereka hadapi hanya menoleh ke langit dan menghunus kitab yang terbelenggu rantai. Cahaya dari kitab itu menahan waktu sesaat, dan di celahnya-ia pun menebas salju itu dengan kekuatan yang menggetarkan delapan penjuru langit.

Wang Wu Xie tidak hanya melihat semua kejadian itu, tetapi merasakan setiap dentumnnya. Bahkan luka-luka yang dialami oleh sosok pria berjubah hitam itu... Terasa nyata, seolah-olah tubuhnya sendiri adalah medan pertempuran tersebut.

Darah bercipratan di udara, tapi bukan darahnya.

Ketiga pemimpin sekte itu terengah. Robekan tampak di jubah-jubah suci mereka. Di tengah kehancuran, pria asing itu berdiri tegak.

Tubuhnya menyala seperti matahari terbalik. Pedang itu menusuk ke tanah dan cahaya melahap segalanya. Dia menancapkan pedangnya ke tanah.

“Kitab ini milikku. Pedang ini milikku. Jika aku tidak bisa memilikinya di dunia ini, maka dunia pun tidak akan memilikinya!”

“Aku akan kembali. Tidak hanya tiga sekte kalian... Bahkan nama keluarga kalian pun akan kumusnahkan. Bersiaplah. Aku akan menjadi kehancuran yang kalian ciptakan sendiri..!"

!!!

Wang Wu Xie terbangun dari mimpi itu dengan mata membelalak, jantungnya berdebar keras seperti genderang perang.

Napasnya terengah, keringat membasahi pelipisnya. Di luar jendela, malam masih diam. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa berubah.

Dia menelan ludah dan berusaha mengatur napas, mencoba untuk menenangkan diri sendiri.

"Apa... itu tadi?"

Mimpi yang Wang Wu Xie lihat... bukanlah sekadar mimpi. Seakan... Ia baru saja mengubur dirinya sendiri dalam masa lalu dan membangkitkan sesuatu yang telah lama tertidur.

Wang Wu Xie masih berusaha menenangkan diri dari mimpi aneh ketika tiba-tiba saja suara debaman keras terdengar.

Tanah bergetar. Gentong air retak. Dari kejauhan, suara jeritan menggema.

Wang Wu Xie tersentak bangkit. Dia berlari keluar rumah dan menyaksikan langit di atas desanya telah berubah.

!!

Kabut hitam menggulung dari puncak gunung. Awan seperti terbakar dari dalam, memancarkan warna merah darah. Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam melayang turun, mata mereka bersinar merah, dan di punggung mereka tergantung bendera robek yang bertuliskan satu karakter besar: 魔 (Mo – Iblis).

******

Terpopuler

Comments

Uchy

Uchy

Xiao Shuxiang kah.....?????
Sepertinya aku memang tergila-gila Xiao Shuxiang 😁😁😁🤪🤣

2025-08-09

4

Uchy

Uchy

Semangat 💪💪💪💪
Lanjut terus,,, jangan kendor updatenya 😁😁😁

2025-08-09

2

maz tama

maz tama

apakah reinkarnasi dr shuxiang??

2025-08-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!