3. Bercanda Ya

Yue duduk di kursi kerja yang sudah disiapkan di sudut ruangan, bukan cubicle terbuka seperti yang dia bayangkan saat mendaftar magang, tapi kursi eksekutif berlapis kulit yang terlalu empuk untuk ukuran seorang karyawan baru.

Bahkan meja kerjanya sendiri, terbuat dari kayu mahoni dengan finishing glossy, lengkap dengan set perlengkapan kerja branded yang masih baru, laptop model terbaru, dan satu set pena emas yang sepertinya lebih pantas dipakai tanda tangan kontrak merger, bukan mencatat ide presentasi.

"Apa ini meja kerja atau singgasana?" batinnya, gelisah.

Dia melirik Raymon yang duduk santai di meja utamanya, sibuk membaca dokumen atau pura-pura sibuk, siapa yang tahu?

Mungkin saja pria itu sedang mengawasinya kan?

Yue tidak percaya pria ini bisa bersikap santai setelah menculik kariernya di hari pertama.

Huhu, siapa saja tolong keluarkan dia dari situasi ini!?

Dia mencoba membuka laptop, jari-jarinya kaku. Bahkan wallpaper-nya sudah dipasang.

Lambang Ethelbert Group bersanding dengan namanya di pojok kanan atas.

[Yue Lanhart – Special Assistant to CEO.]

"Astaga, namaku bahkan sudah dicetak. Cepat sekali. Sudah seperti aku lahir untuk kerja di sini."

Dia sebenarnya ingin bertanya.

Apa pekerjaanku? apa aku supposed to membuat laporan? Menenjadwalkan rapat? Menyalakan mesin kopi? Atau jangan-jangan pembersih kaca?

Oke yang terakhir itu terlalu dramatis, tapi bisa saja kan?

Tapi mulutnya tak kunjung terbuka.

Dia hanya bisa duduk dengan postur tegang, seperti murid baru yang duduk di ruang kepala sekolah setelah meninju temannya.

Akhirnya dia memberanikan diri.

"Jadi... ehm..." suaranya pelan, sedikit bergetar.

"Apa yang harus saya kerjakan, Pak?"

Raymon mengangkat wajah dari dokumen, menatapnya seolah baru sadar dia ada di sana, padahal dari tadi pasti mengawasi.

"Kau duduk di sana." jawabnya tenang, membuat Yue mengerutkan alis. Itu saja?

"Itu bukan pekerjaan." bantahnya membuat Raymon berdiri, berjalan perlahan ke arahnya.

Setiap langkahnya terdengar seperti ketukan waktu yang mendekat pada kekacauan.

"Yue."  katanya sambil bersandar santai di meja kerjanya, memandangnya dari atas.

"Tugas pertamamu adalah... mempelajari setiap langkahku, dengarkan saat aku bicara. Perhatikan bagaimana aku memimpin, kau akan berada di setiap rapat penting, melihat bagaimana keputusan diambil." jelasnya panjang lebar membuat Yue menelan ludah.

"Dan tugas keduamu." sambung Raymon, suaranya lebih dalam.

"Adalah memastikan aku tidak kehilangan fokus. Karena kehadiranmu, bisa sangat mengganggu."

"APA!?" Yue nyaris berdiri, wajahnya memerah seketika.

Raymon hanya tersenyum, tenang dan bahaya.

"Tenanglah, anggap ini... pelatihan pribadi. Intensif dan sangat dekat."

Lalu dia kembali ke mejanya, seolah baru saja tidak menjatuhkan bom di atas kepala Yue.

Yue membenamkan wajahnya di telapak tangan.

"Satu hari kerja, dan aku sudah mau resign. Tapi resign dari apa? Dari karier atau dari hidup?"

Saat waktu rapat tiba, Marian mengetuk pelan pintu ruang kerja Raymon, lalu bicara.

"Meeting dengan tim pengembangan dimulai lima menit lagi, Tuan." ucapnya.

Raymon mengangguk, lalu menoleh pada Yue yang masih duduk gelisah di kursinya dengan laptop terbuka tapi halaman kosong karena dia bahkan tak tahu apa yang harus diketik.

"Bawa catatanmu." ucap pria itu sambil mengambil jas dan mengenakannya.

"Kau ikut." putus Raymon membuat Yue hampir menjatuhkan pulpen dari tangannya.

Yang benar saja bung! Dia bahkan belum ada setengah hari bekerja di sini!?

"Aku? Ikut rapat eksekutif?" tanyanya, siapa tahu dia salah dengar.

Raymon menatapnya sebentar. "Tentu saja, apa kau pikir tugasmu hanya duduk manis di ruangan ini?" kata Raymon.

Haha, bagusnya sih begitu kan?

Yue ingin menjawab "Iya" tapi dia memutuskan menahan diri. Karena satu-satunya hal yang lebih menyeramkan dari pria itu adalah rasa penasaran dunia, tentang kenapa dia bisa duduk di ruangan itu.

Dengan langkah canggung tapi anggun, Yue berjalan mengikuti pria itu keluar dari ruangan.

Lorong kantor terasa lebih panjang dari biasanya, dengan tatapan karyawan-karyawan yang memicing penasaran namun takut terlalu terang-terangan.

Apakah besok wajahnya akan ada di forum gosip perusahaan ini?

Begitu masuk ruang rapat, semua orang berdiri dan menunduk hormat. Bukan hanya pada Raymon, tapi juga padanya membuat Yue nyaris tersedak udara lagi.

Raymon duduk di kursi utama, dengan tubuh tegap dan aura dingin yang tak terbantahkan. Lalu dia menepuk sandaran kursi kosong di sebelahnya.

"Duduk di sini." katanya pada Yue, tanpa basa-basi.

Yue ragu, semua kepala menoleh padanya. Napasnya tercekat, tapi dia tak punya pilihan. Akhirnya dia duduk dan rapat dimulai.

Diskusi mengalir dengan cepat. Tentang strategi global, angka penjualan, ekspansi, dan rencana investasi ratusan juta dolar.

Wah sekali kan.

Yue mencatat secepat yang dia bisa, meski sebagian istilah masih asing. Tapi yang paling membuatnya terpana bukan materi rapat, melainkan cara Raymon berbicara.

Tenang, tegas. Tidak banyak bicara, tapi setiap kalimatnya menghentikan argumen dan menggerakkan keputusan.

Orang-orang takut padanya, tapi juga menghormatinya. Dan beberapa kali, Raymon menoleh padanya, bertanya.

"Menurutmu bagaimana, Yue?"

Yue nyaris terpental dari kursinya.

"Eh, aku?" dia melirik berkas dan mencoba membaca ulang catatan yang bahkan belum selesai.

Raymon menatapnya, bukan untuk menguji. Tapi seolah dia sungguh ingin tahu jawabannya.

Yue mengatur napas. "Saya rasa, pendekatan tim marketing bisa lebih adaptif, bukan terlalu agresif. Dunia digital berubah cepat. Mungkin akan lebih baik kalau kita gunakan pendekatan berbasis komunitas, bukan hanya angka." jawabnya.

Hening, membuat Yue berdebar. Apa jawabannya salah?

Sampai akhirnya salah satu manajer tertua mengangguk perlahan.

"Itu... masuk akal, Tuan."

Huh, untung saja.

Raymon tidak berkata apa-apa. Tapi matanya, menyipit sedikit. Seolah berkata.

"Bagus, kau bisa lebih dari yang kau pikirkan."

Setelah rapat, Yue pikir semuanya akan selesai tapi ternyata tidak.

Raymon keluar ruangan, berjalan cepat dan dia melambaikan tangan pada Yue.

"Temani aku, ada klien yang harus kutemui. Kau juga harus lihat cara aku bernegosiasi." ucapnya membuat Yue terdiam.

"Astaga… aku bahkan belum makan siang."

Dan begitulah...

Bahkan saat pria itu bertemu klien penting, Yue ikut. Duduk di sisi pria yang sama dingin dan penuh rahasia seperti gedung ini sendiri.

Seperti bayangannya akan terus membayangi langkah Yue, ke mana pun dia pergi.

"Ini bukan pekerjaan biasa. Ini penjeratan level dewa."

Yue mulai menyuapkan makanannya perlahan. Lidahnya bahkan tak benar-benar merasakan rasa makanan yang tadi dia pilih sembarangan.

Apakah ini ayam? Atau tahu? Entahlah.

Tapi entah kenapa, tetap terasa lumayan enak atau mungkin itu karena dia terlalu stres sampai segala hal rasanya hambar dan manis sekaligus.

Huhu...

Dia mengunyah, lalu mendesah panjang, seperti membawa seluruh beban dunia ke dalam satu napas.

"Apa aku bisa resign di hari pertama, ya." gumamnya pelan, setengah bicara ke nasi, setengah ke Tuhan.

Tangannya mencolek saus di pinggir piring, lalu menghentikannya.

"Tapi ini gajinya terlalu wow." lanjutnya sambil menatap kosong ke depan.

Tiba-tiba bayangan wajah Raymon muncul di kepalanya, lengkap dengan senyum tipis yang membuat urat lehernya ingin meledak.

"Kau di sini untuk belajar dariku, setiap saat. Setiap langkah."

Yue mendecak kesal, menusuk-nusuk potongan daging dengan garpu. Seolah itu wajah Raymon Sanchez.

"Belajar apanya?! Bagaimana caranya membuat seluruh kantor ketakutan?" bisiknya penuh kekesalan.

Beberapa karyawan yang baru masuk melirik ke arahnya lalu cepat-cepat mengalihkan pandangan. Yue tak peduli!

Dia sudah terlalu lelah secara emosional untuk pura-pura santai. Seketika ponselnya bergetar, notifikasi masuk.

Psikopat

Rapat mendadak, kau ikut. Sekarang. Lokasi: ruang konferensi lantai atas.

Yue hampir tersedak kuah supnya. Dia menatap ponselnya lama, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Oke, Tuhan. Kalau ini bukan ujian hidup, mungkin ini, wahana horor versi korporat."

Dia berdiri, membereskan nampan, dan melangkah keluar dari kantin.

Bahunya tegak, hatinya hancur. Tapi setidaknya dia kenyang.

Tbc

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!