Beberapa saat kemudian, Rosalina mengantar Tania yang ingin berpamitan untuk pulang. Sesampainya didepan pintu, Tania pun berjalan kearah mobilnya dan saat ia sudah berada didalam mobil, tangannya melambai kearah Rosalina yang berdiri diteras.
Setelah itu Rosalina pun masuk kembali kedalam rumahnya.
Namun, saat langkah kakinya berjalan dan hendak masuk kedalam kamar, Rosalina malah melewati Handrian begitu saja. Membuat pria itu meradang dan terlihat marah.
"Lina!" panggil Handrian sambil menatap kearah istrinya.
Namun Rosalina hanya menghentikan langkahnya, tanpa menoleh kearah Handrian.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu sudah sering bersikap tidak sopan padaku? Kalau memang kamu sedang punya masalah, kenapa tidak membicarakannya baik-baik?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut suaminya itu, membuat Rosalina tersenyum sinis.
"Kenapa kamu mempertanyakan hal itu padaku, Mas? Sedangkan kamu tahu jika masalah itu terletak pada dirimu sendiri."
Handrian kembali menatapnya dengan tatapan tajam seperti tadi, lalu ia mendekati Rosalina dan mencengkeram lengannya.
"Lina, kamu masih mempermasalahkan hal itu lagi? Aku sudah bilang padamu, Lina. Aku itu masih membutuhkan waktu untuk mencintaimu, jadi tolonglah mengerti!" ucap Handrian. Kini wajahnya terlihat frustasi.
"Apa kamu bilang Mas? Waktu? Aku sudah memberimu waktu selama satu tahun, Mas! Apa itu belum cukup? Bukan cuma hatimu, bahkan tatapanmu saja tidak pernah ada untukku!"
"Aku heran ya, Mas? Kamu bisa menatap wanita lain dengan tatapan yang lembut, tapi kamu tidak pernah sekalipun menatapku seperti itu."
Mendengar perkataan Rosalina itu, alis Handrian pun mengernyit, karena dirinya merasa keheranan.
"Maksud kamu apa, Lina? Kenapa perkataanmu itu seolah mengarah pada hal-hal yang semakin tidak masuk akal. Dan tatapan apa yang kamu maksud? Kapan kamu memperhatikan aku menatap orang lain?" Handrian kembali bertanya, namun kali ini dengan wajah yang sangat serius.
Sedangkan Rosalina hanya menyunggingkan senyum tipis.
"Kamu tanya kapan, Mas? Apa kamu tidak sadar jika tadi kamu menatap Tania dengan tatapan yang tidak pernah kamu berikan sekalipun untukku?" jawab Rosalina dengan bola mata yang mulai memerah.
Sedangkan Handrian hanya mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu ia kembali menatap istrinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Astaga, Lina! hanya hal itu saja, bisa-bisanya kamu permasalahkan, aku hanya bersikap ramah terhadap sahabat lamamu, Lina? Apa itu juga kamu anggap salah? Aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan fikiranmu. Sebenarnya kamu itu mau apa sih, lin? Tolong jangan membuatku habis kesabaran, dalam menghadapi sikapmu yang sama sekali tidak jelas seperti ini."
Setelah mengatakan hal itu, Handrian langsung melangkah masuk kedalam kamar, dan meninggalkan Rosalina sendirian diruang tengah.
Sementara itu, Rosalina berdiri di ruang tengah cukup lama. Ia membiarkan keheningan meresap dalam hatinya. Matanya menatap kosong ke arah lantai, seolah-olah ia ingin mencari jawaban dari sesuatu yang sejak lama tak pernah ia dapatkan. Beberapa saat kemudian, ia pun berjalan perlahan menuju kamar lain dan memilih tidur di sana, tanpa berkata sepatah kata pun pada suaminya.
Keesokan paginya, sinar mentari sudah menyusup masuk lewat celah tirai. Di dalam kamarnya Handrian baru saja membuka mata. Pria itu terlihat sedikit mengerjap dan menyesuaikan pandangan. namun ia baru menyadari jika semalaman istrinya sama sekali tidak tidur di sampingnya.
Tubuhnya bangkit perlahan sambil menghela nafas berat, lalu berjalan keluar dan menyusuri lorong yang menuju kearah dapur. Di sana, ia melihat Rosalina sedang menyiapkan sarapan dalam diamnya, dan tidak ada senyum sedikitpun yang terpatri diwajah cantik wanita itu. Karena pagi ini wajah Rosalina lebih terlihat cemberut, dan tidak terlihat seperti hari-hari sebelumnya. Hanya gerakan tangannya yang teratur, dan terlihat tenang, namun juga terasa hampa.
"Rosalina," ucap Handrian, ia mencoba membuka percakapan.
Namun, istrinya itu hanya diam. Bahkan tidak menoleh sedikit pun.
"Lina, aku sedang bicara. Tolong jangan diam seperti ini. Kalau kamu memang sedang marah ya bilang saja. Jangan siksa aku dengan diammu yang tidak jelas dan membuatku semakin bosan melihat sikapmu." kata Handrian, kini suaranya terdengar sedikit tertekan.
Namun, dari mulut Rosalina masih tetap tidak ada jawaban. Perempuan itu hanya menyendok nasi ke piringnya sendiri, kemudian duduk di meja makan dan mulai makan dengan perlahan. Handrian yang merasa diacuhkan pun ikut duduk di hadapannya.
"Apa kamu akan terus diam seperti ini, Lina?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Rosalina akhirnya menoleh. Matanya menatap Handrian dengan tatapan dingin. Tidak ada air mata yang terlihat dan juga tidak ada amarah dari raut wajahnya. Namun hanya sorot kecewa yang membeku didalam tatapannya, setiap kali ia menatap wajah suaminya itu.
"Aku sudah terlalu sering bicara, Mas. Tapi setiap aku bicara, kamu malah memilih tidak mendengar. Jadi untuk apa aku terus bicara pada orang yang selalu mengabaikanku?"
Handrian menjadi terdiam. Karena kalimat yang diucapkan oleh Rosalina itu, terdengar seperti tusukan pisau yang masuk perlahan kedalam hatinya.
Dan tidak sampai disitu saja, karena Rosalina kembali melanjutkan perkataannya dengan nada datar, nyaris tanpa ekspresi.
"Kamu selalu minta aku untuk bersabar. Dan kamu juga selalu meminta aku untuk mengerti dan menunggu. Tapi kamu sendiri tidak pernah mencoba sedikit saja mengerti bagaimana rasanya menjadi aku."
Tangannya mengambil sendok terakhir, lalu meletakkan piringnya ke bak cuci piring.
"Aku sudah selesai," katanya singkat sambil menatap sekilas kearah Handrian, lalu ia segera berbalik dan berjalan menjauh.
Sedangkan Handrian hanya bisa berdiri mematung di tempatnya dengan nafas yang tercekat. Tidak ada suara keras yang terlontar dari mulut Rosalina tadi, dan juga tidak ada tangisan. Melainkan hanya ketenangan yang ia perlihatkan pada suaminya itu. Tapi ketenangan tersebut telah membuat hati Handrian merasa sangat sakit.
Dan dihari itu, suasana rumah pun menjadi lebih senyap dari biasanya. Rosalina tetap beraktivitas seperti biasa, namun tidak ada lagi senyum yang sesekali muncul diwajahnya. Ia hanya diam, seolah keberadaannya itu tidak ingin lagi menyentuh dunia di sekitarnya, apalagi suaminya.
Handrian, yang sudah terbiasa dengan kehangatan kecil dari istrinya itu tiba-tiba saja merasa hampa akan sikap Rosalina. Ia juga merasa jika hatinya telah kosong entah kenapa?
Padahal selama ini ia sama sekali tidak pernah memperhatikan istrinya itu.
Dan disaat malam menjelang, Handrian masuk ke kamar tamu yang pintunya sama sekali tidak terkunci. Dan disanalah ia melihat istrinya sudah terlelap.
Handrian hanya berdiri di ambang pintu, sambil memandangi wajah yang dulu selalu tersenyum, meskipun hatinya rapuh.
"Maafkan aku, Lina." gumam Handrian, dari kejauhan.
Keesokan paginya, sinar mentari menyelinap masuk lewat celah tirai. Udara pagi membawa aroma embun dan kesepian yang belum usai. Rosalina sudah bangun lebih dulu, dan ia menyiapkan sarapan dalam diam seperti kemarin.
Sedangkan Handrian sudah duduk di meja makan, seraya mengamati istrinya yang masih tidak banyak bicara. Melihat hal itu rasanya ia ingin mengatakan sesuatu, namun kerongkongannya seperti tersumbat oleh sesal yang belum selesai ia kunyah sendiri.
Dan disaat-saat seperti itulah tiba-tiba saja... bel rumah pun berbunyi.
"Ting toong..."
Suara nyaring itu membuat keduanya menoleh dengan gerakan yang hampir bersamaan. Rosalina segera meletakkan sendok di atas piringnya, lalu bangkit perlahan. Langkahnya menuju pintu dengan tenang, namun dalam hatinya ada rasa penasaran yang terasa menggelitik.
Tangan kanannya segera memutar kunci yang tergantung dipintu itu sendiri. setelah itu, ia pun membuka pintu dengan lebar. Dan saat itu juga, bola matanya membulat sempurna.
Ternyata, Tania telah berdiri disana dengan senyum yang mengembang.
Rosalina sedikit tertegun dan juga merasa semakin keheranan, dan didalam hatinya ia pun bertanya... Kenapa Tania datang kerumahnya pagi-pagi sekali?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments