03. Tuduhan pencemaran nama baik

.

Yuda, apakah benar apa yang dikatakan gadis itu?” Seorang wanita paruh baya salah satu anggota keluarga dari besan bertanya.

Tetangga-tetangga lain juga ikut bersuara, menuntut penjelasan dari Yuda dan keluarganya. Suasana menjadi semakin ramai dan tegang.

“Tidak! Itu sama sekali tidak benar!” Yuda menyangkal ucapan Aya. Namun, kata-katanya terbata-bata, membuat keluarga calon mertuanya merasa tidak yakin.

Yuda kembali berpikir mencari alasan yang tepat. “Aya yang pernah mengutarakan isi hatinya pada saya, tapi saya menolaknya. Mungkin karena itu ia merasa sakit hati.”

Penjelasan Yuda membuat keluarga calon mertuanya mengambil nafas lega. Bagaimanapun mereka tidak mau jika di awal pernikahan putri mereka ada skandal Yudha dengan gadis lain.

“Kenapa kamu jahat sekali, Yuda?” Tanpa gentar Aya menatap pria itu tajam. Tak ada lagi sebutan ‘Mas’ seperti sebelumnya.

“Kamu yang pertama kali mendekatiku. Kamu yang mengatakan akan menikahiku. Kamu yang bicara menerima aku apa adanya. Dan karena itu aku bahkan mendukungmu. Mengirimkan sebagian gajiku setiap bulan padamu, demi pendidikanmu, demi impianmu menjadi seorang PNS. Tetapi ternyata, setelah semua cita-citamu tercapai seperti ini balasanmu?”

Suasana yang semula menjadi lebih tenang kembali riuh mendengar apa yang diucapkan oleh Cahaya. Kasak kusuk berdengung seperti kumpulan lebah. Mereka bingung omongan siapa yang lebih benar, Cahaya ataukah Yuda?

Wajah Yuda merah padam. Cahaya benar-benar mengupas kulit wajahnya tanpa perasaan.

“Kamu ini bicara apa? Uang siapa yang kamu akui?” Yuda menyangkal ucapan Cahaya.

Suasana semakin tegang. Aya berdiri tegak menghadapi Yuda dan keluarganya. Warga desa yang semula sedang bekerja di dapur ikut berkerumun, berbisik-bisik, mata mereka menyaksikan drama yang tengah tayang.

"Jadi kamu mau menyangkal, Yuda? Kamu tidak mau mengakui bahwa kamu menjadi PNS adalah karena keringatku yang menjadi babu selama di kota. Gadis yang dihina oleh ibumu ini, yang dikatakan pincang, yang diejek sebagai perawan tua, gadis inilah yang telah membuatmu sukses seperti sekarang.” Cahaya menepuk-nepuk dadanya sendiri yang terasa sesak.

“Tidak masalah kalau kamu tidak mau menikah denganku. Tidak masalah juga jika ibumu menolak kehadiranku. Tapi, kembalikan uangku!" seru Aya, suaranya bergetar namun tetap tegas.

Yuda menyeringai, wajahnya tak menunjukkan sedikitpun penyesalan.

"Jangan menuduh kami sembarangan, Aya! Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu? Kamu itu hanya seorang pembantu rumah tangga. Memangnya berapa gajimu sampai berani mengakui telah membiayai pendidikanku? kalau kamu tidak mundur sekarang juga, aku akan membuat laporan dengan tuduhan pencemaran nama baik!"

Keluarga Yudha ramai-ramai membela Yudha, suara-suara mereka membanjiri ruangan, menenggelamkan suara Aya. Ancaman-ancaman terlontar, membuat Ningsih semakin khawatir.

Kepala Desa yang memang menjadi salah satu tamu undangan, wajahnya tampak serius. “Jadi ini bagaimana? Apa benar Nak Yuda selalu menerima uang dari nak Cahaya?” lelaki paruh baya itu mencoba bersikap bijak.

“Tentu saja itu tidak benar, Pak Lurah!” Bu Sumini maju sebelum Yuda menjawab.

“Saya punya orang tua kaya. Mana mungkin saya minta uang pada gadis miskin?”

Yuda dan keluarganya dengan licik menceritakan versi mereka, seolah-olah Aya yang berbuat salah.

"Buktinya ada, Pak lurah! Saya punya catatan. Dan saya menyimpan semua bukti transfer dari rekening saya ke rekening Yudha!” Aya menatap mereka tanpa gentar. Mencoba menjelaskan, namun suaranya kalah lantang oleh suara-suara yang saling beradu.

Ningsih menarik tangan Aya. "Sudahlah, Aya. Kita pulang. Kita akan mencari jalan lain."

“Tapi, Bu?” Cahaya menolak. Ia tidak rela hasil kerja kerasnya selama beberapa tahun dinikmati begitu saja oleh keluarga Yuda.

Namun, bu Ningsih tetap menarik tangan putrinya. Keluarga Bu Sumini adalah keluarga terpandang. Apalagi mereka memiliki koneksi yang kuat. Ia tidak mau putrinya menjadi bulan-bulanan mereka. Biarlah mereka kehilangan uang, asal putrinya tidak mendapatkan masalah di kemudian hari.

*

*

*

"Kenapa ibu menarik ku pulang? Itu uangku, Bu."

Cahaya dan ibunya telah kembali ke rumah mereka yang kini tak lagi reyot seperti dulu, Ningsih mengusap air mata Aya. "Jangan putus asa, Nak."

Aya memeluk ibunya erat-erat, air mata masih membasahi pipinya. "Tapi Ibu… uang itu adalah hasil kerja keras Aya. Kalau saja ditabung kita bisa membeli sawah dan disewakan. Tetapi dengan enaknya dia menikmati semua hasil kerja kerasku. Aku tidak rela, Ibu!”

Ningsih menatap mata putrinya dengan penuh keprihatinan.

"Apa menurutmu mereka akan mengembalikan uangmu, Nak? Tidak. Warga juga tidak akan ada yang membela kita. Sudah menjadi tradisi, kebenaran milik orang miskin tidak akan pernah menang melawan kesalahan milik orang kaya. Hukum di desa kita masih tumpul ke bawah.”

Aya memejamkan mata membenarkan kata-kata ibunya. Tetapi dadanya masih terasa sakit. Perasaan tidak rela itu benar-benar nyata. Benarkah ia harus mengikhlaskannya?

*

*

*

Ungghhhh….

Cahaya yang menggeliat merentangkan tangan meregangkan otot tubuhnya yang terasa kaku.

“Jam berapa sekarang?” gumamnya.

Aya mengerjapkan matanya yang membengkak karena terlalu banyak menangis. Sama sekali tidak menyesali Yuda yang memilih wanita lain. Tetapi hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun yang hilang akibat kebodohannya yang begitu mudah percaya pada lelaki penipu seperti Yuda.

Mengikat rambutnya asal, gadis itu tak ingin terus-menerus terpuruk. Turun dari ranjang, lalu berjalan menuju ke arah kamar mandi untuk mencuci wajah.

Jika di masa lalu, di rumahnya hanya memiliki satu kamar mandi yang letaknya terpisah jauh di belakang rumah, hasil kerjanya selama bertahun-tahun sebagai pembantu rumah tangga telah membuatnya memiliki kamar mandi yang berada di dalam kamar. Semua itu ia syukuri kini. Walaupun ada kenyataan pahit yang juga harus ia telan.

Keluar dari kamar, ia ingin mengisi perut. Menahan lapar tidak akan mengembalikan uangnya. Uang itu hanya akan kembali jika dia kembali bekerja keras.

“Assalamualaikum…”

Terdengar salam dari luar rumah saat ia baru saja mau menyuapkan makanan ke dalam mulut.

"Wa'alaikum salam." terdengar suara ibunya menjawab.

“Ada apa Pak RT?” Terdengar suara ibunya di telinga Aya, membuat gadis itu segera berjalan ke depan.

“Nuwun sewu, Bu Ningsih. Penjenengan sama Mbak Aya dipanggil untuk datang ke balai desa.” Pak RT menyampaikan maksud kedatangannya datang ke rumah itu.

Cahaya dan ibunya saling pandang. Balai desa? Kenapa mereka dipanggil ke sana? Ada masalah apa?

“Ada apa ya Pak RT?” tanya Aya yang tak ingin menyimpan penasaran.

Pria paruh baya yang dipanggil dengan nama Pak RT menatap Cahaya penuh rasa iba.

“Mas Yuda melaporkan Mbak Aya dengan tuduhan pencemaran nama baik.”

Duar …

Terpopuler

Comments

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ ✍️⃞⃟𝑹𝑨

kok tiba tiba aku jadi teringat kisah Ersa ya.... apa aku bikin aja kisah arhan tp versi ersa???? tp nanti mirip sama ini... tp enggaklah... ya mirip-mirip dikit sihhh tp kan ceritanya beda... ye kan?

2025-08-06

1

Nayla Arshaka

Nayla Arshaka

jgn takut Aya... jika kmu benar... pertahankan hak mu . maju... tunjukan smua bukti yg kmu punya ... jgn kmu siakan uang hasil keringat mu sndri ...
cari uang tu Susa... kok enak bgt Yuda nikmati gtu aja...
smga aja ada warga yg berpihak ke Aya..
kebenaran tu hrs di junjuk tinggi para warga dan
kebohongan tu hrs di adilkan...

2025-08-06

0

Nar Sih

Nar Sih

semagat aya ,kasih tau aja bukti tf an mu ke yuda pada semua org ,dan klau perlu minta bantuan pada mantan majikan mu yg pasti mau menolong mu

2025-08-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!