KALUNG INISIAL

“Ini apa?” 

Banyu menatap berkas yang diletakkan Haura di mejanya. Matanya kemudian beralih ke wanita berlesung pipi yang yang berdiri dan menatapnya dengan… datar. 

“Laporan, Pak. Revisi finalnya.” 

“Duduk kamu!” perintah Banyu tegas. 

Tanpa berkata apapun, Haura kemudian duduk. Wajahnya masih sedatar tadi. Terlalu berbeda dengan raut wajahnya yang biasanya dihiasi dengan senyum atau tawa ceria. 

Banyu duduk tegak menatap Haura dengan tajam. “Apa saya minta kamu untuk bawa laporan itu? Saya hanya minta kamu ke ruangan saya tanpa embel-embel apapun.“ 

“Biasanya Bapak memanggilkan memang hanya untuk urusan pekerjaan. Seingat saya, urusan saya ke Bapak langsung itu ya untuk laporan ini.” Tangan Haura terulur mengambil kembali laporan yang tidak disentuh Banyu tersebut. Kemudian ia pegang dengan erat di pangkuannya. 

Banyu mengendurkan dasi yang sebenarnya tidak mencekik dirinya. Namun, reaksi Haura membuatnya terasa tercekik. Sejuk ruangannya tidak lantas membuat suasana hatinya yang memanas itu reda. 

Banyu terdiam. Suasana pun menjadi hening. Banyu sangat berharap Haura akan mengeluarkan celetukannya seperti biasa. Namun, keduanya tetap sama-sama diam.

“Ini bukan urusan pekerjaan. Ini tentang hubungan kita,” kata Banyu akhirnya. 

“Kalau soal itu biar nanti bicarakan di rumah.” Haura kemudian beranjak dari kursi. “Saya izin keluar, Pak.” 

“Berhenti Haura. Kamu belum saya izinkan untuk keluar.” Banyu kemudian berdiri dan melangkah menghampiri Haura yang masih menghadap pintu. “Kamu kenapa? Hari ini kamu tampak berbeda.” 

Haura berbalik menghadap Banyu. “Biarkan saya keluar, Pak. Saya tidak mau dibicarakan orang-orang kalau terlalu lama di sini,” kata Haura tanpa ragu. 

Mulut Banyu terkatup rapat. Matanya masih mencari celah di mata cokelat milik Haura. Ia seperti melihat Haura yang berbeda dari biasanya. Tidak ada keluhan atau celetukan asbun Haura saat ia panggil ke ruangan. Biasanya ia akan menggerutu kesal atau menggoda Banyu dulu agar suasana tidak terlalu kaku. 

Namun, yang dilihatnya sekarang adalah dirinya sendiri versi wanita. Datar. 

“Apa kamu tidak sadar kalau sejak pagi sikap kamu jadi aneh?” 

Haura menggeleng. “Hanya Bapak yang bilang begitu. Berarti bukan saya yang aneh, tapi Bapak.” 

“Kenapa kamu tidak bilang kalau tadi menyiapkan sarapan untuk orang-orang departemen?” tanya Banyu. Netranya menatap lurus netra coklat wanita itu. 

Beberapa detik mulut Haura mengatup rapat. Ia kemudian menghela napasnya. Seperti terdengar lelah. “Itu biar dibicarakan di rumah. Lagipula itu bukan urusan pekerjaan. Tidak etis jika dibicarakan di kantor.”

Banyu tersenyum miring. “Bisa kamu membicarakan masalah etis tidak etis di sini? Kamu bahkan mengajak Sagara untuk sarapan bersama. Ini departemen perencanaan tapi kamu tidak menginfokan apapun ke saya selaku ketua tim. Kamu justru mengajak Sagara yang tidak ada hubungannya dengan tim kita. Menurut kamu itu etis?!” Banyu menatap Haura penuh intimidasi. Nada bicaranya pun lebih tinggi dari biasanya.

“Itu karena Pak Sagara sudah bersedia membantu saya membawakan semua makanan itu. Menurut Pak Banyu kalau saya tidak menawarkan apa-apa ke beliau apakah itu etis?” 

“Sialan!” rutuk Banyu dalam hati. Secepat itu Haura membalas perkataannya. 

“Itu bukan masalah besar, Pak. Lagipula bukannya Pak Banyu tidak suka sarapan berat, ya?” lanjut Haura menyudutkan Banyu membuat lelaki itu tercengang dengan sikapnya. 

“Kamu membuat saya malu karena harus mengetahui itu dari Daffa. Apakah saya tidak kamu anggap sebagai suami kamu?” tanya Banyu pelan. Sorot matanya menampakkan kekecewaan. 

“Biar itu kita bicarakan di rumah. Saya tidak nyaman dengan perilaku tidak profesional anda.” Haura melangkah keluar tanpa menunggu jawaban Banyu. 

Banyu diam menatap Haura yang menghilang dari balik pintu. Ia sebenarnya sangat ingin menahan Haura agar tetap berada di ruangannya. Namun, gengsinya membuatnya hanya bisa menatap kepergian perempuan itu. 

***

Gimana Ra? Udah ada tanda-tandanya?

Pesan singkat dari Mama Aliya itu hanya dibaca Haura lewat notifikasi pop-up whatsApp . Tanpa ada niat untuk ia buka apalagi untuk membalasnya. Bukan karena ia membenci sang ibu mertua, melainkan ia sangat merasa bersalah kepada ibu mertuanya itu. Wanita yang sudah ia anggap ibunya itu sangat baik kepadanya. Mana bisa Haura terus membohongi wanita selembut itu? 

Pernikahan dirinya dan Banyu sudah berjalan tiga bulan. Wajar jika beberapa kenalan mereka apalagi keluarga menanyakan hal itu. Haura tidak menyangka ditanyakan perihal kehamilan ternyata lebih menyedihkan daripada ditanyakan perihal kapan menikah. Sebenarnya jika alasan mengapa dirinya belum kunjung hamil karena kesehatan dirinya atau Banyu, Haura masih bisa menerima. Namun, ini kasusnya berbeda. 

Selama tiga bulan pernikahan ini ia belum pernah disentuh Banyu. Mereka memang tidur satu ranjang. Namun, jika diungkit perihal nafkah batin yang sebenarnya adalah haknya, Banyu selalu menghindar tanpa alasan yang jelas. 

Berbagai kemungkinan muncul di kepala Haura. Entah itu memang Banyu yang masih terlalu canggung padanya atau Banyu memang tidak tertarik pada wanita.

“Haura!” seru Banyu yang langsung mematikan kompor. “Kamu kenapa? Jangan melamun begitu. Bahaya.“ Nada cemas itu menyentak Haura. 

Pergerakan sigap Banyu yang baru pulang kerja itu tidak luput dari mata Haura. “Maaf, Mas. Aku nggak konsen,” lirih Haura penuh sesal. Apalagi saat matanya melihat beberapa keju aroma yang ia goreng sudah gosong. 

Banyu mengangkat cemilan gosong itu kemudian memindahkannya ke piring yang sudah dialasi tisu dapur sebelumnya.  Matanya kemudian menyipit menatap Haura. 

“Kenapa? Kamu tidak biasanya seperti ini.” tanya Banyu pelan. Matanya menelisik wajah Haura yang terlihat seperti menyimpan suatu beban. 

Haura diam sejenak. Lalu ia menatap Banyu seksama. “Mama menanyakan hal itu lagi, Mas.” 

Banyu diam. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu sungguh Haura tidak bisa menebaknya. Raut wajahnya selalu datar dan susah ditebak. Namun, Haura yakin Banyu tahu pertanyaan apa yang ditanyakan mamanya itu.

“Saya akan beritahu mama untuk berhenti menanyakan hal itu.” Lelaki yang masih memakai kemeja kerjanya itu kemudian melangkah pergi. 

“Jangan begitu, Mas.” Haura menyusul lelaki itu. “Jangan pernah kamu melakukan itu pada Mama Aliya.” 

Berhasil. Banyu berhenti kemudian berbalik menghadap Haura. Saat berhadapan dengan jarak dekat itulah Haura bisa melihat sorot mata Banyu yang tampak lelah. Lelaki itu baru saja pulang kerja. Haura bahkan lupa menyambutnya. 

“Jika itu yang membuat kamu tidak nyaman hingga membuat kamu mengabaikan saya hari ini, saya akan memberitahu mama untuk berhenti bertanya tentang kehamilan.” Banyu mencengkram bahu Haura. Ia menatap Haura dengan begitu lekat. “Kepala saya sudah sangat pusing dengan pekerjaan. Saya mohon padamu, jangan menambah beban pikiran saya dengan memperlakukan saya seperti ini. Saya benci diabaikan, Haura.” 

Netra Haura menatap lurus netra hitam pekat milik Banyu. Rasanya ia ingin membenturkan kepala Banyu ke dinding agar lelaki itu segera sadar. Mengapa lelaki itu tampak sangat tersakiti? Bukankah semua masalah ini berasal darinya? 

“Aku tidak pernah mengabaikan Mas. Aku hanya memperlakukan Mas sama seperti Mas memperlakukan aku.” 

“Saya tidak pernah mengabaikan kamu. Saya penuhi semua hakmu. Apapun yang kamu mau selalu saya turuti. Salah saya di mana?” tanya Banyu menuntut. “Kamu bahkan mengabaikan saya tadi siang. Kamu berlaku manis di hadapan Sagara bahkan mengatakan bahwa dia lebih baik dari saya. Sedangkan saat saya ingin bicara berdua denganmu, wajahmu sangat terlihat datar. Seolah-olah kamu tidak ingin bicara pada saya.” 

Rasanya Haura tidak percaya Banyu akan mengatakan hal itu padanya. Haura berusaha melepaskan cengkraman Banyu di lengannya. Namun kekuatannya jelas tidak sebanding dengan kekuatan Banyu. Usahanya sia-sia. Semakin kuat perlawanannya, semakin kuat pula pertahanan Banyu.

“Jangan banyak bicara, Mas. Semua perkataanmu itu terdengar saat lucu. Hak ku Mas bilang? Mas bahkan belum pernah menyentuhku. Apa aku sehina itu sehingga Mas tidak pernah memenuhi nafkah batinku, hah?!” balas Haura sengit. Matanya menatap Banyu tidak kalah tajam. Dadanya kembali sesak seakan ingin mencekiknya. Sekuat tenaga ia mengepalkan tangannya, agar air matanya tidak keluar di hadapan lelaki itu.

Perlahan cengkraman Banyu melemah. Lelaki itu mundur beberapa langkah membuat Haura tersenyum miris. Apa yang sebenarnya ada di pikiran suaminya itu? 

“Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.” 

Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi. Lagi, ia meninggalkan Haura begitu saja. Tanpa adanya penjelasan. 

Tubuh Haura luruh seketika. Akhirnya air mata yang sekuat tenaga ia tahan itu keluar juga. Tangisannya begitu menyayat hati. Berulang kali ia memukul dadanya agar sesak itu segera menghilang. Ia tidak percaya bahwa takdirnya akan menyedihkan seperti ini. 

“Mengapa kamu sejahat ini padaku, Mas? Apa salahku? Mengapa kamu memperlakukanku sehina ini?” lirih Haura dalam kesendiriannya. Tubuhnya dipeluk heningnya malam. Tanpa pelukan hangat yang menenangkan. 

Tiba-tiba saat matanya sedikit buram karena air mata yang tersisa, sebuah benda tertangkap netranya. Perlahan dengan sisa tenaga, ia kemudian berdiri. Mendekat ke arah benda yang terjatuh di bawah kursi makan. 

Sebuah kotak perhiasan ukuran kecil. Tangan Haura terulur untuk mengambilnya. Tentu saja ini bukan barangnya. Merasa penasaran, Haura kemudian membukanya. Mata Haura membulat. Di dalam kotak itu, sesuatu yang indah terpatri di sana. 

Sebuah kalung indah yang berinisial H. Sesuatu yang Haura yakini jatuh dari jas milik Banyu yang tersampir di kursi makan tadi. Lalu tanpa permisi, sebuah pertanyaan muncul di benak Haura. 

“Ini dari Mas Banyu untuk siapa? Untuk Haura atau… H yang lain?” 

*

*

*

Mohon dukungannya ya. Jangan lupa meninggalkan jejak ya Gaes :)

Terpopuler

Comments

Teti Hayati

Teti Hayati

Udah males yaa Ra..

2025-08-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!