Pergi Dari Rumah

#2

“Pasti ini nasib sial, karena ada warga yang zina.” 

“Ah, masa, sih?”

“Lho, belum pernah dengar, kalau zina itu bisa menimpakan azab bagi orang-orang sekitar, yang bahkan tak pernah melakukannya.” 

“Waduh, kok serem?” 

“Kalau begitu, jangan sampai wanita itu tinggal di komplek kita.”

“Iya, benar, jangan sampai kita kena azab atau nasib sial.” 

Tanah makam Pak Rusli, belum juga mengering, tapi bisikan sumbang dari para tetangga itu sudah nyaring berbunyi. Sekuat apapun Elma mencoba menulikan pendengaran, namun, melihat Bu Kartika tak nyaman keluar rumah membuatnya merasa semakin bersalah. 

Elma mengusap perutnya yang kian membesar, ia tak membenci kehadiran bayi itu, walau papanya tak mau bertanggung jawab. Elma hanya menyesal pernah melakukan perbuatan hina yang jelas-jelas dilaknat Allah, yakni berzina. 

“Maafkan Mama, Nak. Karena kesalahan Mama, kelak kamu harus menyandang gelar tak mengenakkan seumur hidupmu,” bisik Elma pada janin dalam kandungannya. 

Tok! 

Tok! 

“Kak,” panggil Alya usai mengetuk pintu. 

“Masuk saja.” 

Pintu terbuka usai Alya memutar handlenya, “Makan dulu, Kak. Kasihan bayi Kakak, pasti sudah kelaparan karena sejak semalam Kakak tidak makan dengan benar.” 

“Kakak tidak lapar, Al.” Elma menggeleng sambil menatap keluar jendela. 

Alya duduk di sisi Elma. “Bayi ini tidak bersalah, Kak. Setidaknya jika Kakak berniat membesarkannya, Kakak jangan dzolim dengan membiarkan dia kelaparan.” 

Ucapan Alya membuat Elma kembali meneteskan air mata, “Kamu tidak membenci Kakak?” 

Alya menggeleng, “Jika aku ikut-ikutan membenci Kakak, apa cerita dan jalan hidup kita akan ada perbedaan?” 

Elma termenung sesaat, “Daripada sibuk dengan perasaan benci, bukankah lebih baik kita jalani dengan benar, dan ikhlas. Sepahit apapun omongan orang, lama-kelamaan mereka juga akan diam, bukan?” 

Alya mengusap punggung Elma yang kini bergetar akibat menahan tangis. “Ini salahku, karena memikirkan perbuatan bejatku, Ayah jadi— meninggalkan kita.” 

“Bukan, Kak. Ayah pergi karena takdir hidupnya hanya sampai disini.” Kalimat Alya cukup menghibur Elma, tapi tetap saja rasa bersalah itu tak mudah ia tepis. 

Akhirnya Elma bersedia keluar kamar, setelah mengurung dirinya di sana sejak pemakaman Pak Rusli semalam. Bahkan Elma sama sekali tak keluar rumah untuk membereskan barang-barang yang berantakan usai acara pemakaman. Karena ia tak sanggup menengadahkan wajahnya dan  bertemu para tetangga. 

Di meja makan hanya terhidang nasi dan lauk seadanya, Elma maklum karena mereka masih dalam suasana duka. “Makanlah, Kak. Maaf, hanya ini sisa bahan-bahan yang bisa ku olah.” 

“Nanti, pergilah keluar dan ambil uang, Kakak yang transfer.” 

“Simpan saja uang Kakak untuk persiapan melahirkan, kelak pasti banyak sekali kebutuhan yang harus Kakak siapkan,” tolak Alya. 

Tapi Elma menggeleng, “Cukup, kok. Walau Kakak yang bersalah, tapi Mas Burhan sangat baik dengan merelakan sebagian besar harta kami untuk Kakak bawa.” Bibir Elma bergetar, tak kuasa menahan tangis ketika teringat kebaikan hati mantan suaminya. 

Padahal selama menikah, Elma tak bisa berperan jadi istri yang baik, tapi ketika berpisah, Burhan memberikan 80% harta gono-gini mereka. 

“Sebaik itu suamimu, tapi kamu masih tega mengkhianatinya, apa kamu tak pernah berpikir sebelum bertindak, hah!” teriak Bu Kartika yang kebetulan mendengar ucapan Elma. “Dasar tak tahu diuntung!” 

Nasi yang hendak masuk ke mulut Elma, kembali ia turunkan, Elma menangis sesenggukan. Kalimat Bu Kartika semakin membuatnya mengingat semua kebaikan hati Burhan yang selalu memanjakannya. 

•••

Beberapa hari kemudian, Elma sudah memutuskan, ia akan pergi meninggalkan rumah orang tuanya, ia tak bisa membiarkan Bu Kartika hidup dalam rasa malu karena memiliki anak seperti dirinya. 

Elma sudah mentransfer sebagian uangnya untuk digunakan Ibu dan adiknya, sementara untuk dirinya sendiri, sudah ia perhitungkan dengan cermat segala kebutuhan yang kelak ia beli sebelum dan sesudah persalinan. 

Elma bahkan sudah siap kembali bekerja, tak lama setelah melahirkan. Pengalaman bekerja di kantor sebagai konsultan, tak akan ia sia-siakan. 

“Maafkan Elma, Bu. Elma pamit, agar tak terus menerus membuat Ibu malu karena memiliki anak sepertiku,” ucap Elma lirih ketika berpamitan dengan Bu Kartika di depan pintu kamarnya. 

“Semoga ibu sehat-sehat dan panjang umur.” 

Terpopuler

Comments

hania

hania

sedih juga sih lihat Alma. Harus kehilangan ayahnya di saat ia sangat membutuhkan perlindungan.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur.
Apa yang sudah ditabur, harus siap untuk menuainya. Termasuk kebencian dari orang ia hormati dan sayangi, ibunya.

Kata-kata yang keras bukan karena beliau nya benci tapi rasa sedih yang mendalam terhadap perbuatan yang telah Alma lakukan.

2025-08-02

3

Bunda Aish

Bunda Aish

kalau sudah begini yang dirugikan pihak perempuan nya saja....tapi akan ada aja waktu nya balasan buat pria tak bernyali dan tak bertanggung jawab begitu /Right Bah!/

2025-08-06

0

Esther Lestari

Esther Lestari

Sudah dapat suami seperti Burhan yg baik malah kamu tinggal selingkuh Elma.
Ya nikmatilah hasil perbuatanmu

2025-08-02

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!