Mobil hitam mengilap itu meluncur perlahan melewati gerbang besi tinggi, memasuki pekarangan luas milik keluarga Vemund. Bangunan megah bergaya klasik Spanyol itu berdiri angkuh, dikelilingi taman yang ditata rapi, seolah menunjukkan kelas sosial para penghuninya.
Kaelith mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Wajahnya datar, dingin seperti biasa, namun ada ketegangan samar di rahangnya saat ia melangkah keluar dari mobil.
Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak batas tak terlihat yang memisahkannya dengan kedua orang tuanya Alaric Vemund dan Liora Venesse.
Langkahnya mantap saat menaiki anak tangga marmer menuju pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu, membungkuk hormat seperti sudah hafal betul siapa yang datang.
Kaelith melangkah masuk. Aroma bunga segar dan kayu tua menyeruak di udara. Semua terlihat sama seperti dulu... tapi terasa begitu asing.
"Selamat datang kembali, Tuan Muda," ucap pelayan tua dengan suara hati-hati.
Kaelith hanya mengangguk. Ia belum siap bertemu orang tuanya, tapi ia tahu waktunya sudah dekat. Bagaimanapun, darah tak pernah bisa dibohongi.
Liora Venesse menatap sosok yang berdiri di ambang pintu ruang utama dengan mata berkaca-kaca. Putra bungsunya akhirnya pulang. Wajah tegas itu tak banyak berubah masih dingin dan tak mudah terbaca, tapi bagi seorang ibu, tidak ada tatapan yang lebih dikenalnya selain milik Kaelith.
"Kaelith..." bisiknya, sebelum akhirnya menghampiri dan memeluk pria itu erat.
"Mama senang kau datang, Nak." Suaranya bergetar namun hangat.
Kaelith memejamkan mata sesaat saat pelukan itu membungkus tubuhnya. Untuk sejenak, semua topeng keras dan dingin itu runtuh di pelukan seorang ibu.
"Apa kabar, Mama?" tanyanya lembut, membalas pelukan itu meski ragu. "Senang melihatmu ceria."
Liora tersenyum, menangkup wajah putranya yang jarang sekali menampakkan kelembutan. "Mama baik, Sayang. Bagaimana denganmu? Kau terlihat lebih kurus."
Kaelith terkekeh pelan. "Jika aku berada di sini, maka semuanya berjalan baik, Ma."
Liora menepuk pipi putranya lembut. "Kau selalu berkata seperti itu sejak kecil."
"Dan Mama selalu percaya," lanjutnya sambil menggandeng Kaelith masuk ke ruang duduk.
Untuk sesaat, pria yang dikenal dunia dengan tatapan dingin itu hanya seorang anak laki-laki yang pulang ke rumah ibunya.
Tak lama kemudian, suara langkah sepatu mengisi lorong megah rumah keluarga Vemund. Seorang pria dewasa dengan postur tinggi tegap, rahang tegas, dan brewok tipis menghampiri Kevin Morvin Vemund, kakak sulung Kaelith.
Di sampingnya, sosok Alaric Vemund, sang kepala keluarga, berjalan dengan aura berwibawa yang dingin. Jas hitam yang mereka kenakan seragam dengan milik Kaelith, menunjukkan bahwa kehadiran mereka bukan untuk kunjungan biasa.
"Hai, Sobat," sapa Kevin dengan nada hangat dan menepuk bahu adiknya. "Gol yang indah. Kau selalu tahu bagaimana mencuri sorotan."
Kaelith hanya mengangkat alis dan tersenyum samar. "Itu sudah tugas seorang striker, bukan?"
Kevin terkekeh, sementara Alaric hanya berdiri di belakang mereka, diam tanpa ekspresi. Tatapannya tajam, tak berniat untuk memuji atau mengomentari kemenangan Kaelith. Pria itu seakan hanya hadir sebagai simbol formalitas seorang ayah yang menuntut lebih, selalu.
"Ayo cepat," ucap Alaric akhirnya, suaranya tegas dan dingin. "Sebentar lagi para tamu undangan datang. Jangan buat keluarga ini terlihat tidak siap."
Suasana langsung berubah kaku. Liora, yang semula tersenyum hangat, hanya menunduk pelan.
Kaelith menoleh ke Kevin sejenak, lalu mengikuti langkah ayah mereka menuju aula acara. Hari itu, rumah besar keluarga Vemund akan kembali menjadi sorotan, dan seperti biasa, mereka harus terlihat sempurna di mata dunia meski di baliknya, banyak luka yang belum sembuh.
Aula megah keluarga Vemund perlahan dipenuhi para tamu undangan. Para kolega bisnis Alaric, para bangsawan sosialita, hingga kerabat dekat keluarga berdatangan silih berganti, masing-masing membawa senyum, harapan, dan rasa ingin tahu.
Gemerlap lampu kristal menggantung anggun di langit-langit, sementara denting piano lembut mengalun memenuhi ruangan. Kembang putih dan emas menghiasi tiap sudut aula, mempertegas suasana sakral nan mewah dari acara sore itu pertunangan Kevin Morvin Vemund dengan Margaret Elowen Aldercy, putri dari salah satu kolega bisnis Alaric yang paling berpengaruh.
Margaret berdiri anggun di sisi kanan panggung kecil, mengenakan gaun satin hijau zamrud yang menyapu lantai. Rambutnya ditata rapi, dan senyum sopannya terjaga meski sorot matanya terlihat gugup.
Kevin berdiri di sampingnya, wajahnya tegas, dengan gestur tubuh yang mengisyaratkan kendali dan profesionalitas. Di hadapan tamu, ia adalah pewaris yang ideal.
Kaelith berdiri sedikit di belakang, bersandar pada pilar, mengenakan setelan jas yang sama, namun dengan gaya yang lebih santai. Matanya tak pernah lepas dari panggung itu bukan karena iri, tapi karena ia membenci segala hal yang terasa seperti sandiwara.
Alaric, dengan ekspresi tenang dan dingin, menaiki panggung bersama istri dan menyampaikan pidato singkat.
"Hari ini, kami menyatukan dua keluarga besar dalam sebuah ikatan yang tak hanya akan memperkuat hubungan personal, tapi juga mempererat fondasi masa depan," ucap Alaric. "Kevin dan Margaret adalah simbol dari kesinambungan, dan kami menantikan banyak hal besar dari keduanya."
Tepuk tangan riuh menggema. Kevin mengulurkan tangan pada Margaret, lalu menyematkan cincin berlian di jari manisnya. Flash kamera menangkap momen itu.
Di tengah keramaian dan gelak tawa tamu, Kaelith hanya menyesap minuman di tangannya, sambil berkata pelan ke dirinya sendiri.
"Satu lagi kontrak yang dibungkus manis dalam nama keluarga."
Semakin malam, pesta pertunangan itu berubah menjadi lautan cahaya dan tawa. Musik dansa klasik mengalun dari orkestra di ujung aula, menggiring pasangan-pasangan untuk berdansa di bawah lampu gantung yang berkilau.
Namun Kaelith memilih menjauh.
Ia melangkah pelan, meninggalkan denting gelas dan tawa palsu, menuju balkon batu di lantai dua. Angin malam menyambutnya, membawa aroma mawar putih dari taman keluarga Vemund di bawah sana.
Kaelith bersandar di pagar balkon, mengenakan jas hitam yang kini telah terbuka sebagian. Di tangannya, sebotol bir premium belum habis, hanya sesekali disentuh ke bibirnya.
Di hadapannya, rembulan tergantung penuh di langit terang, tenang, dan diam. Seperti mengingatkannya akan seseorang.
"Nayara..." gumamnya pelan, seolah memanggil bayangan yang tak hadir di sana.
Tatapannya kosong, tapi dalam. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Dunia dalam aula terasa seperti panggung sandiwara sementara di dalam dadanya, sesak yang ia pendam tak pernah benar-benar pergi.
"Semua ini… tak pernah terasa cukup," ucapnya pada dirinya sendiri.
Di belakang, pesta masih riuh. Tapi di tempat Kaelith berdiri, hanya ada keheningan, bulan, dan penyesalan yang tak pernah diucapkan.
"Kau sedang apa di sini? Tidak bergabung?" suara Kevin terdengar pelan, namun cukup jelas di tengah semilir angin malam.
Kaelith menoleh sekilas. Kakaknya berjalan mendekat, jas hitamnya masih rapi, dasi masih terikat sempurna. Berbeda dengan Kaelith yang sudah membuka dua kancing atas kemejanya, seolah ingin menjauh dari segala formalitas.
Kaelith mengangkat botol birnya, menandakan jawabannya. "Menikmati malam tanpa topeng," gumamnya. "Kau menikmatinya?"
Kevin menyandarkan tubuhnya di pagar balkon, berdiri di sisi adiknya. Pandangannya tertuju ke langit yang sama.
"Tidak," jawab Kevin pelan, "tapi aku… tidak punya keberanian untuk menolaknya. Tidak sepertimu."
Kaelith terkekeh pendek. "Keberanian? Bukan. Aku cuma terlalu keras kepala untuk pura-pura bahagia."
Kevin melirik adiknya, ada kelelahan dalam sorot matanya. "Terkadang, pura-pura itu perlu, Kael. Untuk menjaga orang-orang yang mempercayaimu."
Kaelith meneguk birnya. "Dan terkadang, kepura-puraan itu justru membunuh perlahan."
Hening sejenak di antara mereka. Hanya bunyi musik dansa yang samar dari dalam aula.
"Bagaimana dengan gadis itu?" tanya Kevin akhirnya.
Kaelith menatap kosong ke depan, tak menjawab.
"Tidak banyak yang berubah… tapi aku menikmatinya." Kaelith tertawa kecil, menjawab singkat saat Kevin menyebut soal Nayara.
Kevin ikut tersenyum, lalu menepuk ringan bahu adiknya. "Bersenang-senanglah selagi bisa, bung. Aku bangga padamu, Kael. Banyak yang bisa kau capai dan sudah kau buktikan."
Kaelith menoleh, tak sepenuhnya terharu, tapi ada sedikit rasa dihargai di matanya.
"Jadilah top skor musim ini," lanjut Kevin, serius tapi tetap santai. "Kalau aku ada waktu luang, aku akan ajak Mama nonton langsung dari tribun. Dia pasti senang."
Kaelith menyeringai. "Kau janji bakal datang?"
"Kalau tidak ada acara politik atau pertunangan baru, pasti." Kevin tertawa pelan.
"Jangan bawa Margaret, dia cerewet."
Kevin mengangkat alis. "Dia akan jadi istriku."
"Kasihan," ucap Kaelith dengan senyum mengejek.
Mereka tertawa bersama, untuk sesaat lupa tentang hidup yang menuntut terlalu banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments