HARI INI ADALAH HARI KITA

Sudah berhari-hari sejak pertengkaran hebat itu, dan Kaelith belum juga muncul di apartemen. Tak ada pesan. Tak ada telepon. Hanya keheningan. Tapi bagi Nayara, itu bukanlah hal yang buruk.

Ia bisa tidur tanpa takut pintunya digedor tengah malam. Bisa bangun tanpa bibirnya direbut paksa. Bisa berpikir tanpa bayang-bayang pria itu.

Meski begitu, bayangan Kaelith tetap tertanam dalam pikirannya mengontrolnya bahkan saat tubuhnya tidak hadir.

Di depan cermin, Nayara berdiri mematut dirinya. Rambutnya dikepang dua, seperti yang selalu diminta Kaelith. “Terlihat manis dan jinak,” katanya dulu. Kacamata bening yang menurut Kaelith membuatnya tampak “lebih pintar dan patuh” bertengger rapi di batang hidungnya. Riasan tipis natural, tak lebih, tak kurang. Ia tahu batas yang diperbolehkan Kaelith membencinya jika tampil mencolok.

Tangannya sempat ragu mengambil lipstik nude ia bahkan menimbang apakah warna itu terlalu terang. Tapi akhirnya ia mengurungkan niat. Ia menarik napas, lalu mengangguk pada bayangannya di cermin. Wajah yang cantik, tenang... tapi tak sepenuhnya miliknya.

Hari ini ia akan pergi bersama Caelisya dan Nazerin. Mereka satu angkatan, meski berbeda fakultas. Nazerin yang ceria dari Fakultas Hukum, dan Caelisya yang hangat dari fakultas yang sama dengannya. Setidaknya, saat bersama mereka, Nayara bisa berpura-pura menjadi gadis biasa meski hanya sebentar.

Di balik senyumnya yang samar, Nayara tahu satu hal bahkan ketika Kaelith tidak hadir, jejaknya tetap melekat. Ia masih hidup dalam aturan yang dibuat pria itu.

Mereka bertiga berjalan menyusuri jalanan kota, membiarkan waktu mengalir begitu saja tanpa beban. Tawa Caelisya yang renyah, cerita-cerita konyol dari Nazerin, dan senyuman tipis Nayara menyatu dalam suasana yang jarang bisa ia nikmati. Ini adalah kebebasan kecil yang mahal.

Saat matahari mulai condong ke barat, Nazerin menghentikan langkah dan menunjuk ke sebuah kafe mungil di sudut jalan utama. Arsitekturnya khas Eropa lama, dengan papan kayu bertuliskan nama dalam bahasa Prancis dan aroma mentega hangat yang menggoda dari balik kaca.

"Aku mau ajak kalian ke sini!" serunya penuh semangat. "Aku akan memperkenalkan kalian pada makanan khas dari negara mama ku."

Nazerin, gadis berdarah campuran Spanyol–Prancis, selalu bangga dengan warisan budayanya. Ada binar di matanya saat bicara tentang masakan, seolah kenangan masa kecilnya ikut hadir bersama setiap aroma yang ia sebutkan.

Caelisya bersorak kecil, "Oui, chef!" menggoda sambil tertawa.

Nayara hanya tersenyum tipis, berusaha santai meski pikirannya sempat melirik ke ponselnya refleks, memeriksa apakah Kaelith sudah mengirim pesan.

Tidak ada.

Untuk saat ini, ia membiarkan dirinya duduk di sudut kafe itu. Menikmati udara luar. Menjadi gadis biasa yang hanya ingin makan croissant hangat bersama teman-teman.

Saat mereka sedang menikmati hidangan khas Prancis dan berbincang ringan tentang kuliah serta dosen killer yang membuat tugas tak ada habisnya, suara dari televisi besar di sudut kafe tiba-tiba membuyarkan tawa mereka.

Layar menampilkan siaran langsung pertandingan sepak bola. Klub Nexora FC klub tempat Kaelith bermain sedang bertanding melawan salah satu rival bebuyutannya.

"Ah, jadi hari ini match day," gumam Caelisya sambil menoleh ke layar.

Riuh mulai terdengar dari pengunjung kafe lain, terutama saat suara komentator meninggi, diiringi sorak-sorai ramai.

Dan di layar, tepat di menit akhir pertandingan, Kaelith Arvendor Vemund muncul. Dengan aksi cepat dan tendangan tajam, ia mencetak gol penentu kemenangan. Sorak-sorai makin menggema. Beberapa orang menyebut namanya. Ada yang bersiul bangga. Nama Kaelith kembali bergema seperti biasa, penuh kebanggaan dan pujian.

"Wah, gol terakhirnya gila sih. Nggak heran dia disebut anak emas Nexora," komentar seorang pengunjung di belakang mereka.

Nayara membeku sesaat. Tangan kirinya mengepal di pangkuan, tak terlihat dari luar. Di balik senyum tipis yang ia pertahankan, ada sesuatu yang menggeliat di dadanya. Bukan kekaguman. Bukan rasa cinta. Tapi perasaan terjebak... seperti bayangan yang tak bisa ia lepaskan.

Caelisya menoleh, menyadari perubahan ekspresi Nayara. “Kau baik-baik saja?”

Nayara cepat-cepat mengangguk, pura-pura fokus pada potongan éclair di piringnya. “Hanya sedikit pusing. Kurang tidur mungkin.”

Nazerin mengangkat alis, tapi tak bertanya lebih jauh.

Layar kembali menampilkan Kaelith, wajah tampannya, tatapan dinginnya, senyuman tipisnya yang angkuh saat melemparkan cium ke arah kamera.

Senyuman itu… adalah senyuman yang sama saat ia menyeret Nayara kembali ke dunia yang selalu ia kuasai.

Pukul sembilan malam, Nayara akhirnya tiba di apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, ia berusaha membuang bayang-bayang wajah Kaelith yang muncul berulang kali di layar televisi tadi, usaha yang sia-sia.

Dengan langkah hati-hati, ia membuka pintu unitnya. Suara televisi langsung menyambutnya, mengalun lembut dari ruang tengah.

Jantung Nayara berdegup cepat.

Dan benar saja.

Di sana, duduk bersandar santai di sofa abu-abu kesayangan mereka, Kaelith Arvendor Vemund pria yang beberapa hari ini ia hindari mati-matian menatap layar televisi sambil memegang sekaleng bir dingin. Matanya tak berpaling dari pertandingan baseball yang sedang berlangsung, seolah kehadiran Nayara tak mengganggunya sama sekali.

Kaelith masih mengenakan kaus latihan Nexora FC yang melekat sempurna di tubuhnya, rambutnya masih basah seperti baru selesai mandi. Ia menatap layar datar dengan wajah santai, tenang… terlalu tenang.

Nayara berdiri di ambang pintu, tidak bergerak.

Kaelith menoleh, hanya sekilas, lalu kembali menonton.

“Senang jalan-jalan bersama temanmu, baby?” tanyanya dengan nada datar namun sarat makna, seolah mengetahui persis apa yang telah Nayara lakukan seharian ini.

Nayara menelan ludah. Ia ingin melawan. Ingin menjawab dengan tegas. Tapi tatapan dingin itu, nada suara familiar yang mengandung ancaman halus… membuatnya membeku.

Ia menggenggam tali tasnya erat-erat dan melangkah masuk tanpa berkata apa-apa.

“Jam sembilan malam,” ucap Kaelith lagi, kali ini lebih pelan namun tajam. “Kau tahu aku tidak suka menunggu.”

Nayara menahan napas, menunduk, dan melewati ruang tengah menuju kamarnya.

"Mandilah dulu," suara Kaelith terdengar lagi dari belakangnya. “Kau mencium bau luar. Aku tak suka.”

Tangannya yang menggenggam gagang pintu kamar sedikit gemetar, tapi ia tetap membuka pintu dan masuk ke dalam. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir gemuruh di dadanya.

Hari yang tadi terasa damai… kini kembali menjadi penjara.

Usai mandi, rambut Nayara masih basah ketika ia membuka pintu kamar. Udara dingin langsung menyergap kulitnya, namun yang benar-benar membuatnya gemetar bukan udara malam melainkan sosok yang kini tengah bersantai di atas ranjang.

Kaelith.

Pria itu sudah berbaring santai di sana, hanya mengenakan celana pendek hitam, menampilkan kedua lengannya yang penuh dengan tato tinta hitam yang meliuk indah namun mengintimidasi. Di balik punggungnya yang kokoh, Nayara tahu ada gambar tato besar yang menutupi seluruh permukaan sebuah mahakarya gelap yang sering membuatnya merasa seperti hidup bersama bayangan.

Salah satu tangannya menyanggah kepala, sedang tangan lain memainkan ponselnya sejenak sebelum ia menoleh, menyambut Nayara dengan senyum miring yang familiar senyum milik pria yang tahu ia selalu menang.

“Aku lelah, Kaelith. Aku hanya ingin tidur malam ini,” ucap Nayara pelan, berdiri di ambang pintu dengan tubuh dibalut handuk. Suaranya terdengar seperti bisikan putus asa.

Kaelith memutar tubuhnya menghadap Nayara sepenuhnya. Tatapannya menyapu gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai barang miliknya sendiri. Lalu ia bangkit perlahan dari tempat tidur, melangkah mendekati Nayara tanpa tergesa, dengan aura mendominasi yang tak pernah benar-benar hilang dari dirinya.

Tato di lengannya tampak semakin jelas ketika ia menghentikan langkah tepat di depan Nayara. Satu tangannya menyentuh dagu gadis itu dengan lembut, sangat lembut… kontras dengan sikapnya yang mengandung kekuasaan mutlak.

“Kemenangan harus dirayakan,” gumamnya, menatap mata Nayara dalam-dalam. “Dan kau tahu, baby… aku ingin merayakannya denganmu. Sekarang.”

Nayara ingin menolak, ingin berkata tidak. Tapi ia tahu, di hadapan Kaelith Arvendor Vemund, kata itu tak berarti apa-apa.

Keesokan paginya, sinar matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari kamar yang porak-poranda. Bantal berserakan, selimut kusut, pakaian tak beraturan di lantai, dan televisi masih menyala dari semalam, memutar siaran ulang pertandingan yang sudah berakhir.

Nayara terbangun perlahan. Seluruh tubuhnya terasa berat dan nyeri. Ia hanya mampu mengerang pelan dan menarik selimut lebih rapat ke tubuhnya. Kepalanya masih berdenyut, tidak hanya karena kelelahan fisik, tapi juga karena emosi yang terus terkubur.

Pintu kamar terbuka. Kaelith masuk dengan santai, membawa nampan sarapan. Ia hanya mengenakan celana pendek, sementara tubuh atletisnya yang penuh tato terlihat jelas. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan.

"Good morning, baby," ucap Kaelith, lalu mengecup bibir Nayara yang tampak membengkak. Gerakannya ringan, seolah malam sebelumnya tidak berarti apa-apa baginya.

Nayara tak menjawab. Ia hanya membuang muka dan merapatkan selimutnya. Dadanya sesak, bukan hanya karena lelah, tapi karena perlahan-lahan... ia mulai membenci dirinya sendiri atas semua yang ia biarkan terjadi.

Kaelith menarik tubuh Nayara perlahan, membenarkan posisi duduknya hingga kini gadis itu bersandar lemah di pangkuannya. Dada bidang pria itu menjadi tempat bersandarnya kepala Nayara yang berat karena kelelahan, bukan hanya fisik, tapi juga emosional.

Nayara tidak berkata apa pun. Matanya setengah tertutup, pikirannya kosong. Ia terlalu letih untuk membantah, terlalu mati rasa untuk menolak.

"Hari ini... adalah hari kita," ucap Kaelith pelan di dekat telinganya, jemarinya menggenggam remote televisi. "Kau tidak boleh kemana-mana."

Tanpa menunggu reaksi, ia mulai mengganti saluran. Awalnya hanya tayangan biasa, hingga tiba-tiba layar menampilkan sesuatu yang membuat tubuh Nayara menegang.

Detik itu juga, matanya melebar.

Tidak... jangan.

Namun sudah terlambat. Gambar-gambar dari masa lalu itu muncul, kabur namun cukup jelas untuk membakar kembali luka lama.

Itu adalah video. Video yang mengubah seluruh hidup Nayara. Video dari malam gelap yang tak pernah ia inginkan. Video yang menjadi alasan mengapa Kaelith bisa mengendalikan hidupnya sepenuhnya.

Nayara menepis remote di tangan Kaelith, tubuhnya mulai gemetar, matanya berair.

"Hentikan... tolong," bisiknya.

Kaelith hanya menoleh dengan tatapan datar. Tidak marah, tidak lembut hanya penuh kuasa.

"Jangan pernah lupa, Nayara," katanya dingin. "Kau milikku. Sejak malam itu."

Nayara memejamkan mata, menahan napas. Dalam hatinya, satu suara kecil mulai memberontak. Ia tahu... ia tak bisa seperti ini selamanya.

Nayara menatap Kaelith, matanya bergetar, dan suaranya nyaris patah.

"Sampai kapan kau akan memperlakukan aku seperti ini, Kaelith?" bisiknya, menahan air mata yang mulai menggenang.

Kaelith mengangkat tangannya, menangkup lembut wajah Nayara, tapi senyum di bibirnya tidak sehangat gerakannya.

"Selamanya, Nayara. Atau... mungkin sampai aku bosan." ucapnya sambil tertawa kecil, ringan seolah itu bukan ancaman, melainkan lelucon yang hanya ia pahami.

Air mata Nayara tak terbendung lagi. "Kau jahat..." isaknya.

Kaelith menyipitkan mata, lalu menyeka air mata Nayara dengan ibu jarinya sebelum menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.

"Cup... cup... jangan menangis, sayang," bisiknya. "Jangan buang air matamu untuk hal seperti ini. Karena bahkan jika kau menangis sampai kering, tidak ada yang akan berubah."

Nayara hanya diam dalam dekapan yang terasa seperti jerat. Suara detak jantungnya menggema di telinganya sendiri, bukan karena cinta melainkan karena ketakutan dan rasa kehilangan atas dirinya yang dulu.

Seharian penuh, Kaelith enggan beranjak dari kamar Nayara. Gadis itu hanya bisa duduk termenung di ujung ranjang, sementara pria itu bersikap seolah kamar itu miliknya.

Nayara melirik ke arah pintu yang tertutup rapat. Ia mencoba membukanya diam-diam, tapi tak bergerak. Terkunci.

Ia menghela napas kesal. "Kau tidak ada kerjaan lain, selain mengurung diri di sini?" tanyanya tajam, menahan jengkel yang mendesak di dadanya.

Kaelith yang tengah bersandar santai di bantal hanya menoleh sekilas, lalu memasukkan camilan ke mulutnya. "Sayangnya tidak ada," jawabnya enteng, seolah tak mengerti bahwa keberadaannya adalah beban.

"Aku butuh ruang, Kaelith. Aku butuh napas."

Pria itu tersenyum samar tanpa menatapnya. "Kau bisa bernapas kok... asal tetap di dekatku."

Nayara merasa mual dengan jawabannya. Duniaku bukan milikku lagi, batinnya lirih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!