AMARAH KAELITH

Kaelith memberhentikan mobil hitam mewahnya di tepi lapangan kampus tempat Nayara kuliah. Tanpa membuang waktu, Nayara buru-buru membuka pintu, hendak melangkah keluar namun tangan rampingnya lebih dulu dicekal oleh Kaelith, yang duduk santai dengan kacamata hitam masih bertengger di wajahnya.

"Aku akan menjemputmu nanti. Jangan pulang duluan," ucapnya tegas, nada suaranya dingin tapi tak memberi ruang untuk bantahan. "Kau paham?"

Nayara menghela napas berat, mencoba menahan emosi yang mengaduk di dada. Lalu ia hanya bisa mengangguk pasrah.

"Good baby," gumam Kaelith, suara itu mengalir seperti pujian… tapi terasa seperti rantai.

Sebelum akhirnya melepaskan genggamannya, Kaelith menarik Nayara mendekat dan, seperti biasa, melumat bibir gadis itu tanpa izin, seperti itu hak mutlaknya.

"Kaelith, aku telat," ucap Nayara terburu-buru di sela napasnya.

Ciuman itu pun berhenti. Kaelith menarik diri dengan senyum tipis, puas. Sementara Nayara dengan cepat membenahi penampilannya merapikan rambut, menarik napas dalam, dan berusaha menenangkan wajahnya yang memerah.

Tanpa menoleh lagi, ia keluar dari mobil dan melangkah cepat meninggalkan pria yang ia benci… tapi tak juga bisa lepaskan.

Langkah Nayara menyusuri koridor kampus terasa tenang di luar, namun penuh beban di dalam. Ia menuju gedung Fakultas Ekonomi dengan ransel sederhana di punggung dan pikiran yang tak pernah sepenuhnya damai.

Kini ia berada di semester empat, masa yang tidak mudah, tapi ia jalani dengan tekun. Baginya, ilmu adalah satu-satunya harapan. Satu-satunya pegangan saat kelak Kaelith, seperti yang ia yakini, akan membuangnya begitu saja. Ketika saat itu tiba, Nayara ingin sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri… meski mungkin dengan hati yang compang-camping.

“Nayara!” suara ceria menyapa dari arah belakang.

Nayara menoleh dan mendapati Caelisya Morwen teman satu angkatan yang selalu punya energi seperti matahari pagi.

“Hai, Cae,” sahut Nayara sambil tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan sisa luka yang masih belum sepenuhnya mengering.

"Kau sudah mengerjakan tugas Prof. Liora?" tanya Caelisya, menyamakan langkah di sisi Nayara.

"Sudah. Jangan bilang kau ingin menyontek?" sahut Nayara dengan nada datar namun mengandung godaan halus.

"Jelas. Itu niatku dari awal," jawab Caelisya sambil tertawa lepas, menepuk lengan Nayara ringan. "Kalau bukan temen sendiri, siapa lagi yang bisa diandalkan?"

Nayara tersenyum kecil, tulus namun singkat. Momen ringan seperti ini adalah satu-satunya celah dari hidupnya yang terus-menerus dipenuhi tekanan.

Sementara itu, di sudut lain kota, Kaelith sedang berada di pusat kebugaran klub Nexora FC. Tubuhnya dibasahi peluh, otot-ototnya mengencang setiap kali ia mengangkat barbel. Di sekelilingnya, tiga rekan setim sekaligus sahabat terdekatnya Rayneth Solvarr, Draven Caelis, dan Thalion Drevaris juga sedang sibuk berlatih kebugaran.

"Siap untuk pertandingan akhir pekan ini?" tanya Rayneth, sang penjaga gawang yang dikenal disiplin dan sulit ditaklukkan, bahkan di sesi latihan.

Kaelith meletakkan barbel dengan satu gerakan ringan, lalu terkekeh. "Aku selalu siap, bung. Pertandingan hanyalah panggung lain untuk menunjukkan siapa raja di lapangan."

"Hah, bagus. Karena sebagai striker utama, kau harus jadi top skor musim ini. Cetak gol sebanyak mungkin, atau aku yang ambil alih posisimu," gurau Thalion Drevaris dengan tawa yang nyaring.

Draven Caelis, yang sejak tadi lebih banyak diam, hanya mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu ikut tertawa bersama yang lainnya.

Suasana pun mencair. Tawa mereka berpadu dengan derit alat gym dan alunan musik instrumental yang bergema di ruangan. Meski berbeda latar belakang, keempatnya memiliki satu kesamaan yaitu ambisi yang membara dan ikatan yang terbentuk dari medan latihan dan keringat bersama.

Sesuai perjanjian, Nayara berdiri di depan gerbang kampus, menunggu Kaelith. Matahari mulai condong ke barat, dan bayangan di sekitarnya makin memanjang namun sosok pria itu tak juga muncul.

Wajah Nayara sudah masam. Kesabarannya menipis.

"Di mana sih dia?" gumamnya kesal, matanya terus menyapu sekitar seolah berharap mobil hitam itu muncul kapan saja.

Ia menghela napas panjang, lalu merogoh tas, mengeluarkan ponsel, dan mencoba menghubungi Kaelith. Namun panggilannya hanya masuk tanpa jawaban. Tidak ada pesan, tidak ada balasan.

"Aku pulang saja duluan. Aku lelah menunggunya," gerutunya, jengkel dan kecewa.

Tanpa menoleh lagi ke belakang, Nayara pun berjalan menuju stasiun terdekat, memilih naik kereta seperti biasanya cara yang paling realistis untuk seseorang yang tak ingin terus merasa digantung.

"Persetan dengannya," batinnya, langkahnya semakin cepat, seolah ingin meninggalkan segalanya termasuk rasa yang terus menekannya diam-diam.

Kereta melaju pelan, menembus senja yang mulai menua. Di dalam gerbong yang setengah kosong, Nayara duduk diam di dekat jendela, menatap keluar tanpa benar-benar melihat. Bayangan pepohonan dan gedung-gedung yang berlalu seperti potongan ingatan yang terus menghantuinya.

Tanpa sadar, pikirannya kembali melayang menuju malam itu. Malam yang mengubah segalanya.

Saat ia masih menjadi siswi SMA yang bekerja diam-diam di sebuah klub malam demi menyambung hidup. Saat ia hanya ingin bertahan… sebelum Kaelith Arvendor Vemund muncul dalam hidupnya, seperti badai yang tak bisa dihindari.

Malam itu, ia hanya melayani meja seperti biasa. Tapi Kaelith dengan pesona dinginnya, tatapan menusuk, dan senyum setengah mengejek sudah mengincarnya sejak awal. Ia tidak menyangka bahwa dari semua pria di klub itu, justru teman seangkatannya sendiri yang akan menjebaknya. Yang diam-diam merekamnya, lalu mengirimkan video itu beberapa hari kemudian… tanpa sepatah pun penjelasan.

Sejak saat itu, hidup Nayara tak lagi menjadi miliknya.

Ia menjadi "milik" Kaelith. Dengan video itu sebagai senjata, dengan tatapan itu sebagai pengingat, dengan hubungan tanpa nama yang semakin hari semakin mencengkeram.

Nayara memejamkan mata, menahan sesak yang tiba-tiba datang.

Jika waktu bisa diulang…

Andai malam itu tak pernah terjadi…

Tapi semuanya sudah terlanjur. Dan kini, ia duduk di kereta menuju apartemen yang bahkan tak lagi terasa seperti rumah.

Sebelum naik ke unitnya, Nayara berhenti sejenak di lobi apartemen. Ia melangkah menuju deretan kotak surat dan menemukan satu amplop putih tanpa nama pengirim, terselip rapi di kotaknya. Alisnya sedikit mengernyit, namun tanpa banyak pikir, ia mengambilnya lalu memasukkannya ke dalam tas.

Langkahnya kemudian membawanya menuju lift, naik menuju lantai sepuluh lantai tempat ia tinggal, jauh dari siapapun, namun juga jauh dari rasa aman.

Setelah pintu apartemen terbuka, Nayara menyalakan lampu ruang utama. Sinar kekuningan menghangatkan ruangan kecil namun rapi itu. Ia menjatuhkan tasnya di atas sofa dengan gerakan lelah, lalu berjalan ke dapur kecil di sudut ruangan.

Ia membuka pintu lemari es, mengambil sebotol susu, dan meneguknya langsung tanpa gelas. Rutinitas kecil yang selalu ia lakukan seolah dengan cara itu, ia bisa sedikit menenangkan gemuruh dalam dirinya.

Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Amplop putih di dalam tasnya terasa seperti gangguan dalam keheningan. Dan Nayara tahu, hidupnya jarang sekali memberikan kejutan yang menyenangkan.

Rasa penasaran perlahan mengikis keengganannya. Nayara mengambil amplop putih dari dalam tas, menimbangnya sejenak di tangan, lalu merobek sisi atasnya dengan hati-hati.

Di dalamnya, selembar kertas terlipat rapi. Ia membukanya perlahan, dan segera mengenali tulisan tangan yang tak asing tulisan milik Bibi Elaria.

Pesan itu singkat, namun berat:

"Kakekmu telah tiada. Pemakamannya akan diadakan hari Jumat ini. Jika kau masih menganggap dirimu bagian dari keluarga, datanglah."

Tangan Nayara mengepal. Hatinya mendadak terasa sesak, tapi bukan karena duka melainkan karena luka lama yang kembali menganga.

Tanpa berpikir panjang, ia meremas surat itu dan melemparkannya ke tong sampah di sudut ruangan. Matanya menatap lurus ke arah jendela, kosong, dingin.

Ia tak pernah ingin tahu lagi tentang keluarga yang dulu membuangnya. Ia tak peduli pada kakek yang tak pernah membelanya. Tak peduli pada darah yang sama sekali tak pernah membuatnya merasa dimiliki.

“Aku bukan bagian dari mereka,” bisiknya lirih, seperti mantra yang sudah terlalu sering ia ulang dalam hati.

Dan malam itu, seperti malam-malam lainnya, Nayara kembali sendirian bukan karena tak ada yang bisa ditemui, tapi karena ia sendiri sudah memilih untuk memutuskan segalanya.

Nayara berdiri di balkon, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Pandangannya terpaku pada langit yang penuh bintang, mencari ketenangan yang sulit ia temukan di mana pun. Hingga suara pintu terbuka dengan kasar memecah keheningan.

Ia tidak menoleh. Tak perlu. Ia tahu siapa yang datang.

Langkah berat menghampirinya, penuh amarah yang sudah terbaca dari cara Kaelith membanting pintu.

"Kenapa kau pulang duluan, tanpa memberitahuku?" suara Kaelith terdengar tajam, marah, seperti biasa seolah dunia harus selalu berjalan sesuai keinginannya.

Pelan, Nayara berbalik menatapnya. Tatapannya tenang, namun lelah.

"Aku sudah menghubungimu puluhan kali," ucapnya datar. "Tapi kau tidak menjawab satu pun."

Hening sejenak menyelimuti mereka. Tapi tidak ada permintaan maaf dari Kaelith. Hanya tatapan tajam, seolah Nayara yang bersalah karena berani mengambil keputusan sendiri.

Kaelith maju mendekat dan mencengkeram lengan Nayara dengan kasar. Sorot matanya tajam, penuh kemarahan yang mendidih.

"Apa kau lupa siapa dirimu, Nayara? Lupa siapa aku?" desisnya dingin, nyaris seperti ancaman.

Nayara terdiam sejenak. Tapi kali ini, bukan karena takut. Melainkan karena amarah dalam dirinya akhirnya menumpuk terlalu lama.

Ia menepis tangan Kaelith dengan keras. "Berhenti mengendalikan hidupku!" serunya dengan suara bergetar. "Kau selalu menyalahkanku, padahal kaulah yang mengabaikanku, memperlakukan aku seperti milikmu dan bukan manusia!"

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi kali ini bukan karena lemah. Ia menangis karena berani melawan.

Tanpa menunggu reaksi Kaelith, Nayara berbalik dan masuk ke dalam kamar. Ia membanting pintu, lalu menguncinya dari dalam.

Di luar, suara tendangan Kaelith menghantam pintu keras-keras. "Nayara! Buka pintunya!" bentaknya geram.

Tapi Nayara hanya duduk bersandar pada pintu, tubuhnya gemetar. Tangisnya pecah, membasahi pipi, namun ada sesuatu yang berbeda untuk pertama kalinya, ia tak lari dari luka. Ia menahannya, memeluknya, dan mulai memikirkan jalan keluar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!