Itu Berarti Aku yang Pertama?

Bibir Mecca masih bergetar. Pikirannya kalut, seperti ada badai yang mengamuk di dalam kepalanya. Berbagai emosi beradu tanpa jeda—jengkel, takut, benci, kecewa, dan kaget—semuanya bergumul menjadi satu emosi yang tak karuan. Mecca juga malu, kenapa disaat yang buruk ini yang menolongnya adalah Ken. Ia masih terdiam di dalam mobil, membiarkan Ken duduk di sampingnya.

Setelah beberapa saat, suara Ken memecah keheningan. "Hei, mau pulang ke rumah Ayah atau ke pesantren?" tanyanya lembut.

Mecca hanya terdiam. Pandangannya kosong. Ken menyadari kegelisahan itu. Tangannya terulur ragu, mengusap puncak kepala Mecca dengan perlahan, lalu sedikit mencondongkan wajahnya. "Hmm..."

"Ke apartemenku aja," jawab Mecca singkat. Suaranya terdengar serak.

Ken tidak lagi bertanya. Ia mengambil alih kemudi dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang, meninggalkan segala kekacauan di belakang mereka. Mobil itu berhenti di tempat parkir bawah tanah sebuah gedung apartemen.

Mecca menatap sekeliling dengan bingung. "Kamu tahu apartemenku? Seingatku, aku belum pernah cerita ke kamu." tanya Mecca heran.

Ken hanya tersenyum. Senyum manis yang mampu menepis semua kekacauan dalam pikiran Mecca. "Eyang yang kasih tahu aku," jawabnya.

"Tadi kenapa kamu bisa muncul tepat waktu? Itu juga karena Eyang?" tanya Mecca lagi, rasa penasarannya mengalahkan kegelisahannya.

"Iya. Eyang punya banyak orang untuk bisa tahu setiap hal yang mengancam keselamatan kamu," jelas Ken. "Berterima kasih sama Eyang, ya."

"Ck, makasih. Memangnya aku tahanan yang harus selalu diintai?" gerutu Mecca. Ia turun dari mobil, masih dengan perasaan campur aduk. Ken mengantarnya sampai ke depan pintu apartemen. Mecca bahkan lupa untuk menolak tawaran Ken yang mengantarnya masuk.

Pikirannya mulai menyadari sesuatu. Ini sebuah kesalahan. Selama ini, tidak pernah ada teman pria yang masuk ke apartemennya. Namun, kenapa ia membiarkan Ken masuk begitu saja, tanpa penolakan? Anehnya, ia juga tidak merasa terancam sama sekali dengan kehadiran Ken.

"Kamu bisa pulang sekarang, aku sudah aman di sini," ucap Mecca. Kata-katanya mungkin terdengar tidak sopan. Harusnya ia mempersilakan Ken masuk dan setidaknya menawarinya minum. Tapi, Mecca tidak mau lagi terlibat dengannya. Pikirannya masih terlalu kacau gara-gara Darren.

"Kamu mengusir aku?" tanya Ken, kedua alisnya terangkat.

"Mm… selama ini tidak pernah ada pria yang masuk ke apartemenku, kecuali ayah sama Gery." jawab Mecca lirih.

Ken tersenyum tipis. " Itu berarti, aku yang pertama?"

"Huum." jawab Mecca.

"Alhamdulillah," ucap Ken sambil menghela napas. "Tapi... kamu beneran nggak apa-apa kalau aku tinggal?" Ken masih mengkhawatirkan sesuatu hal buruk terjadi pada Mecca.

Sementara Mecca juga  tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Ia masih ketakutan dengan insiden tadi. Darren tidak mungkin untuk menemukannya. Namun, ia juga tidak ingin Ken terus berada di sini menemaninya.

"Aku... nanti bisa panggil Chacha," jawabnya, sedikit gugup.

"Sudah malam, nggak enak merepotkan orang lain. Aku di sini saja temani kamu," putus Ken. "Kalau kamu keberatan, nanti aku hubungi Eyang untuk minta izin, ya?" Kali ini, ia tidak lagi menunggu persetujuan Mecca. Ia merogoh ponselnya untuk menghubungi eyang Prawira.

Mecca menatap Ken dengan keraguan. "Kamu… nggak akan seperti Darren, kan? Maksudku, kamu juga pria normal. Di dalam apartemen berdua, itu tidak aman juga, kan, buat aku?"

Ken terkekeh mendengar rentetan kalimat panjang dari Mecca. "Seminggu kemarin kamu di pesantren, apa aku pernah macam-macam? Hmm," tanyanya balik.

Mecca berpikir sejenak. Iya juga. Sebenarnya, Ken tidak pernah melakukan hal buruk di sana. Hanya saja, keberadaannya cukup menjengkelkan bagi Mecca.

"Ya udah aku ambil kotak obat sebentar,"

Tidak lama, Mecca kembali dari ruang tengahnya membawa kotak obat. ia mulai membersihkan sudut bibir Ken yang berdarah, kena hajar Darren tadi. Dengan telaten ia memberikan obat oles sambil meniupnya sesekali, Ken sangat menikmatinya. Melihat istrinya dari jarak sedekat itu, apalagi Mecca terlihat begitu hati-hati mengobati lukanya. Kalau boleh meminta, Ken ingin dunianya berhenti sejenak agar ia bisa berlama-lama menikmati moment itu.

Setelah membersihkan diri, Mecca membuatkan susu hangat untuk Ken. Saat ini, mereka sedang duduk di ruang tengah, bersiap menghubungi Eyang Prawira. Seperti yang sudah bisa ditebak, Eyang hanya tertawa kecil dan langsung mengiyakan permintaan izin dari Ken. Entah bagaimana ceritanya, dua laki-laki ini bisa menjadi sangat dekat.

"Jadi... tadi itu pacar kamu?" tanya Ken, memulai obrolan setelah saling diam beberapa menit.

"Mantan," koreksi Mecca. "Kan sudah aku putusin tadi." Ia menyesap susu hangatnya.

"Maksudnya sebelum insiden tadi?"

"Iya. Tadi juga kali pertama aku main ke apartemennya. Tadi sore, waktu aku jemput dia, dia bilang ngantuk berat karena semalaman mengendalikan pesawat sendiri, co-pilot-nya sakit. Matanya sayu sekali, jadi aku kasihan. Aku menuruti permintaannya ke apartemen, tapi aku nggak nyangka kalau dia ternyata sama saja dengan mantan-mantanku yang lain," Mecca menghela napas panjang.

"Mantan kamu banyak, ya?" tanya Ken, senyum tipis di bibirnya.

Mecca tersenyum tipis. "Ada beberapa. Semuanya putus gara-gara prinsip yang aku pegang. Katanya aku cewek aneh."

Ken terlihat antusias. Ia mengubah posisinya menjadi duduk bersila menghadap Mecca, memegang gelas susunya dengan kedua tangan. "Prinsip? Aneh gimana?"

"Ya, aku memang sempat berpacaran beberapa tahun belakangan, tapi aku selalu putus karena aku punya prinsip no sex before married," jelas Mecca. "Itu hal aneh di kota besar seperti ini. Kebanyakan pasangan menganggap seks hal yang lumrah, kan? Tapi nggak buat aku. Aku menganggap itu hal yang sangat spesial, sakral, dan banyak risiko yang harus ditanggung juga kalau kita free sex seperti itu. Aku sudah merawat tubuhku mahal-mahal, ya kali cuma buat dinikmati orang yang belum tentu jadi suamiku, kan?" terang Mecca enteng.

Mendengar penjelasan Mecca, sudut bibir Ken terangkat, memperlihatkan senyum lebarnya. Senyum itu sangat menawan, sampai-sampai Mecca hampir tidak bisa mengedipkan matanya.

Ini salah. Walaupun ia baru saja putus, ia membenci Ken, dan ia tidak boleh terpesona pada suami orang. Mecca bukan sad girl yang berakhir menjadi pelakor. Masih banyak pria lajang di luar sana yang mau dengannya. Ia tidak harus bersama suami orang. Begitulah batin Mecca berperang di dalamnya.

"Kamu Nggak aneh," ucap Ken. "Justru kamu hebat. Di tengah pergaulan super bebas seperti ini, kamu masih memegang teguh prinsipmu. Apalagi kamu sering tinggal di luar negeri. Kamu benar-benar hebat kalau masih bisa mempertahankan prinsip itu." tampak sekali Ken begitu bangga mendengar penuturan istrinya, ia menyesal sempat kepikiran kalau hidup Mecca begitu bebas di luaran sana.

Ditatap begitu lekat, Mecca merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Cukup. Ia harus segera menghindari makhluk Tuhan yang satu ini. Kalau tidak, ia bisa terjebak dalam cinta lama yang belum kelar dengannya lagi. Mecca bergegas menuju kamar untuk mengambilkan Ken selimut dan bantal. Di apartemennya hanya ada satu kamar, jadi mau tidak mau Ken harus tidur di sofa.

Tengah malam, sekitar pukul 12 lebih, Mecca terbangun karena haus. Ia lupa mengisi ulang thumbler minum di kamarnya. Terpaksa, ia harus bangun malam-malam menuju dapur. Baru saja beberapa langkah, seketika napasnya tercekat begitu membuka pintu. Dadanya mendadak terasa dihimpit sesuatu yang berat. Matanya kembali menangkap bayangan hitam yang selalu muncul setiap kali ia berada di suasana gelap gulita seperti ini. Botol minum di tangannya lepas, jatuh dari genggaman.

Mecca lupa tidak memberitahu Ken untuk tidak mematikan lampu. Tubuhnya makin gemetar, keringat dingin mulai membanjiri dahinya. Ia tidak bisa lagi menahan tubuhnya sendiri hingga akhirnya melorot ke lantai, tepat di depan pintu kamar.

Suara jatuhnya botol dan tubuh Mecca membuat Ken terbangun. Ia langsung menghampiri Mecca dengan panik. "Kamu kenapa? Ada yang sakit? Mecca... Mecca..."

"Lampu... n-nyalain," jawab Mecca, bersusah payah karena napasnya tersengal-sengal.

Ken segera berdiri dan menyalakan semua lampu. "Maaf, maaf. Aku nggak tahu kamu takut gelap."

Melihat Mecca masih dalam keadaan kacau, Ken sigap menariknya ke dalam pelukan. Mecca tak memberontak, ia hanya bisa pasrah merasakan tersiksa dengan situasi tadi. Perlahan, napasnya kembali normal, dan ia mulai tenang setelah meminum obatnya.

Setelah insiden semalam, Mecca kembali tidak bisa tidur sampai pagi. "Sudah berapa lama kamu mengalami phobia gelap?" tanya Ken pagi itu sambil menyiapkan roti panggang untuk sarapan mereka.

Mecca menggeleng pelan. Ia tidak ingat persis, hanya saja sejak insomnia dulu, ia sering merasa ada kecemasan dan kepanikan berlebih setiap kali dalam keadaan gelap, terutama di dalam sebuah ruangan. "Entahlah, sejak aku insomnia dulu, setiap kali berada di ruangan gelap, aku seperti melihat sosok hantu. Aku selalu merasa panik dan cemas berlebihan. Napas aku sesak,"

Ken merasakan hatinya terenggut sesuatu yang tak kasat mata. Nyeri bukan main, ternyata separah itu sakit yang ia tinggalkan untuk Mecca. Ia terus menatapnya dengan perasaan sangat bersalah. "Apalagi yang aku tidak tahu tentang kamu sekarang?" ucapnya lembut, penuh perhatian.

"Ck, nggak usah mencari tahu lagi," jawab Mecca cuek sambil meneguk susu di gelasnya. "Ada perempuan lain yang harus lebih kamu pedulikan daripada aku... istri kamu."

Ken sempat menoleh, kemudian tersenyum miring, namun tidak menjawab. Mecca tahu, Ken tidak sadar bahwa ia sedang berjuang sekuat hati untuk menepis semua perhatian dan ucapan manis darinya. Mecca tidak bodoh, dan putus cintanya kali ini juga tidak membuatnya kehilangan kewarasan. Ia masih cukup sadar bahwa keberadaan Ken di sini adalah sebuah kesalahan, karena Ken sudah beristri. Entah bagaimana reaksi Mecca nanti ketika tahu istri yang dimaksud adalah dirinya sendiri.

Namun, belum sempat Mecca memintanya untuk pulang, Eyang sudah mengultimatum lebih dulu. Mecca harus segera ikut kembali ke pesantren, dengan alasan agar ia tidak lagi bertemu pria seperti Darren, juga untuk melanjutkan kembali bisnis butik muslimah yang Eyang rintis.

"Tapi Eyang, Mecca kan bisa memantau dari sini perkembangan butiknya. Mecca juga harus mencari inspirasi dulu untuk desain-desain bajunya, kan?" Mecca mencoba membela diri.

"Lah itu, Nduk, maksud Eyang," jawab Eyang. "Di pesantren kan banyak santri. Jadi kamu lebih mudah mengamati cara berpakaian yang cocok dan menarik untuk mereka. Ya kan? Kamu desainer profesional harus bisa mengubah image yang menempel pada seorang santri, bahwa santri itu kuno dan tidak modis penampilannya. Anak-anak di Pesantren Al-Qalam itu santri modern yang bisa taat agama, juga harus bisa berpenampilan yang modis tapi syari, Nduk. Paham?"

"Terus Mecca harus tinggal di mana, Eyang?"

"Sama Kenindra. Eyang sudah membicarakannya dengan Eyang Ilyas."

"Kan ada istrinya," Mecca mencoba protes lagi.

"Istrinya baik, kok. Sudah, tenang saja. Tidak mungkin Eyang menjerumuskan kamu, kan?"

Mecca mendengus kesal, tidak bisa berpikir apa pun, kecuali mengiyakan permintaan Eyang. Titah beliau itu adalah perintah mutlak untuknya.

Hai, gimana gaes. Lanjut nggak? Gimana tanggepan kalian, tulis di kolom komen yaa?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!