Tinggal Bersama Pria Arogan

"Hati-hati di jalan ya, Nduk. Nanti kalau sudah sampai Jakarta jangan lupa kabari Ibuk, ya,” pesan Bu Lasmi pada putri tercintanya yang harus turut suami pulang ke Jakarta. Terlebih lagi, Linda memang juga harus pulang ke ibu kota untuk pekerjaannya.

“Iya, Buk. Nanti Linda video call Ibuk,” kata Linda.

Bu Lasmi tersenyum menanggapinya. Wanita paruh baya itu kemudian beralih menatap menantunya yang berdiri tak jauh dari Linda.

“Tolong jaga Linda ya, Nak Adam,” pinta Bu Lasmi, binaran matanya tampak sendu.

“Iya, Buk. Pasti saya akan jaga Linda baik-baik. Karena bagaimanapun juga, Linda ‘kan sekarang sudah menjadi tanggung jawab saya,” jawab Adam dengan senyum ramah.

“Makasih ya, Dam. Aku percayaiin Linda sama kamu. Tolong jangan sakiti dia,” sahut Rizki, mengutarakan permintaannya sebagai seorang kakak.

“Iya, Kak.”

“Ya udah, buruan berangkat, takutnya nanti kalian sampai sana kemalaman,” kata Rizki kemudian.

“Iya, Mas. Kalau 'gitu, Linda pamit ya, Buk, Mas, Mbak Ratna. Assalamu’alaikum,” pamitnya sembari mengamit dan mencium satu per satu tangan tiga orang itu, diikuti oleh Adam di belakangnya.

Setelah itu, Linda dan Adam akhirnya masuk ke dalam mobil.

Tak lama kemudian, Adam melajukan mobil itu menjauh dari pekarangan rumah Bu Lasmi.

Bersamaan dengan kepergian mobil itu, air mata Bu Lasmi tampak mengalir membasuh pipinya.

“Linda pasti baik-baik aja, Buk. Jangan khawatir,” bisik Rizki sembari mengusap pundak ibunya agar lebih tabah.

***

Beberapa jam perjalanan, akhirnya mobil yang Adam kendarai sampai di sebuah rumah yang bagi Linda tergolong besar di antara rumah lainnya---yang ada di daerah itu.

Linda cukup lama terpaku di depan pintu rumah suaminya. Ada rasa ragu baginya untuk masuk ke dalam sana.

'Pantaskah aku menginjakkan kaki di rumah sebagus ini?'

Pikiran Linda bercabang. Seketika ia merasa insecure pada dirinya sendiri.

Walaupun dia sudah lama menjalani hidup di kota besar, dan cukup sering bertemu dengan banyak orang-orang hebat. Tapi, tinggal di rumah sebesar ini...sungguh tidak pernah terlukis dalam angan-angannya.

Sampai detik ini, Linda merasa bahwa semua ini seolah mimpi. Rasanya nyata tapi sulit untuk dipercaya.

"Kenapa masih diam saja di situ? Ayo masuk," ajak Adam. Pria itu kembali melangkahkan kakinya usai menoleh sejenak ke arah Linda.

"Ini Bu Ida, dia pengurus rumah ini, kelak jika kamu butuh sesuatu, cari saja dia," ujar Adam pada Linda.

Wanita paruh baya berpakaian rapi itu tersenyum ke arah Linda, begitu pun sebaliknya, Linda balas mengurai senyumannya.

"Aku ada perlu sebentar, urusan pekerjaan, kamu kalau mau ke kamar, duluan aja," cakap Adam kemudian.

Linda mengangguk, matanya terus memandang ke arah Adam yang sudah melangkah menaiki tangga, menuju ruang kerjanya yang tak jauh dari kamar utama.

"Apa Nyonya ingin makan sesuatu?" tanya Bu Ida.

Linda menggeleng pelan, dia tidak lapar, yang ia butuhkan saat ini adalah kasur, pinggangnya butuh istirahat setelah beberapa jam ia harus duduk sepanjang perjalanan menuju Jakarta.

***

LINDA POV

"Apa?" Aku menatapnya dengan mata yang nyaris melotot. Rasa kesal seketika menjalar ke dadaku. "Kamu suruh aku berhenti bekerja?" ujarku, dengan napas yang naik turun karena tersulut emosi.

"Ya." Dia menjawab dengan tenang. Sepertinya pria ini sudah biasa memberi perintah, dari sikapnya yang menyebalkan itu, jelas sekali dia bukan tipe orang yang suka dibantah.

"Kamu tahu bagaimana susahnya aku mendapatkan pekerjaan itu?" cakapku.

"Aku tidak peduli tentang bagaimana kamu mendapatkan pekerjaanmu itu," balasnya.

"Aku baru saja naik jabatan, asal kamu tahu," ujarku, sengaja membanggakan itu, agar dia dapat berpikir bahwa pekerjaanku saat ini bukan sesuatu yang dapat ia remehkan.

"Ya, aku tahu." Dia berbicara sambil terus menatap tabletnya.

Pria ini, apa orang tuanya tidak pernah mengajarinya sopan santun, dia terlihat begitu santai sampai membuat ubun-ubunku memanas karena kesal.

"Lalu, kenapa kamu suruh aku berhenti kerja?"

"Alasannya sudah jelas." Kali ini dia berbicara sambil menutup tabletnya, ia juga melepas kacamatanya dan kemudian fokus menatapku. "Sekarang kamu adalah istriku," katanya. "Kamu adalah istri dari putra tunggal keturunan Admaja, dan kamu tahu kan apa artinya itu?" Dia menambahkan.

Tentu saja aku tahu apa maksudnya, menjadi Nyonya Admaja artinya aku---sekarang adalah wanita kelas atas, yang tidak seharusnya bekerja lagi, tugas utamaku adalah menjadi istri yang patuh dan sempurna di mata semua orang. Satu kesalahan yang kuperbuat, sekecil apa pun itu bisa membuat nama baik keluarga kaya raya ini tercoreng. Karena alasan itulah dia menyuruhku untuk berhenti bekerja. Apalagi perusahaan tempatku bekerja adalah salah satu anak perusahaan Admaja Group.

Aku menghela napas berat, sekarang karirku dipertaruhkan, seolah semua usaha dan kerja kerasku selama bertahun-tahun sia-sia.

Munafik jika aku tidak ingin hidup enak, mendapatkan uang tanpa bekerja, semua orang termasuk aku sangat menginginkan hal itu, bahkan sejak dulu aku selalu memimpikannya. Tapi, sekarang setelah aku merasakannya langsung, ternyata tak seenak itu. Aku merasa sedikit tertekan, aku harus kehilangan rutinitas harianku, aku harus melepaskan apa yang pernah kuusahakan mati-matian sebelumnya.

"Aku akan meminta Ferdi untuk membuat surat pengunduran dirimu, besok atau lusa kamu hanya perlu memberikan surat itu ke atasanmu," kata Mas Adam sambil berdiri dari duduknya.

Saat ini kami sedang berada di ruang tengah, tadi aku menghampirinya karena kupikir mungkin aku bisa mengobrol dengannya dan bisa lebih akrab satu sama lain, tapi tak kusangka dia justru berbicara tentang diriku yang harus berhenti bekerja. Sekarang aku sedikit menyesal karena berusaha mengajaknya berkomunikasi, tahu begitu tadi setelah makan lebih baik aku masuk ke kamar saja, pergi tidur atau mengurus pekerjaanku yang menumpuk.

"Besok, biarkan aku tetap bekerja," ujarku saat dia baru saja hendak melangkah pergi untuk menghubungi Ferdi, yang mungkin adalah sekretarisnya.

Dia menatapku tanpa bicara, sebelum bibirnya itu terbuka untuk mengatakan sesuatu, aku lebih dulu menyela. "Untuk yang terakhir kalinya," imbuhku.

Sejenak ia hanya diam saja, sampai aku merasa cemas sendiri menunggu responsnya. Tapi untungnya, tak lama kemudian ia buka suara.

"Oke, tidak masalah."

Setelah Mas Adam pergi, aku berjalan menuju kamar. Aku tidak tahu Mas Adam pergi ke sudut rumah bagian mana, rumah ini terlalu luas untuk dijelaskan, bahkan seharian tadi belum semua sudut aku jelajahi, masih ada beberapa halaman yang belum aku tapaki karena hari sudah keburu gelap sebelum aku menyelesaikan tour rumah ini.

Bahkan, kamar utama yang aku tempati saat ini sangat luas, luasnya tiga kali lipat dari kamar pribadiku, tidak, mungkin empat atau lima kali lipat, karena di dalam ini masih ada ruang santai, kamar mandi yang sangat luas, juga area walk in closet—area khusus pakaian dan barang-barang pribadi.

"Mandilah. Nanti malam aku akan mengajakmu pergi." Mas Adam tiba-tiba muncul, membuatku terkejut dengan kehadirannya.

Aku menoleh ke arah pria itu. "Kita akan pergi ke mana?" tanyaku.

"Hotel."

Satu kata. Hanya satu kata tapi membuat jantungku berdebar kencang.

Untuk apa dia mengajakku ke hotel?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!