Dara mulai berdamai dengan Tubuh Asingnya

Dara menatap dua sosok di hadapannya dengan tatapan kosong yang terselubung kebingungan. Wajah mereka tampak asing, meski raut wajah keduanya jelas mencerminkan kekhawatiran dan kasih sayang yang dalam. Mereka berdiri di sisi ranjangnya, tampak seperti pasangan suami istri paruh baya yang baru saja menempuh malam-malam yang melelahkan.

“Kalian... siapa?” Suara Dara terdengar lirih namun tegas, matanya menelisik tajam. “Dan... siapa namaku?” tanyanya dengan nada yang lebih rendah namun penuh kegelisahan.

Kedua orang itu terdiam seketika. Seperti ditampar kenyataan yang pahit dan tak terduga, mereka saling menatap sebelum akhirnya sang wanita menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan isak tangis yang mulai membuncah. Air mata mengalir di pipinya, membasahi lekuk wajah yang menunjukkan bahwa ia pernah menjadi ibu yang kuat, namun kini hatinya luluh lantak.

“Sayang... apa kau tidak mengenali kami?” ucap wanita itu lirih sambil berjongkok di sisi ranjang, menggenggam tangan Dara dengan erat. Dara menggeleng pelan, matanya yang bening menampakkan kekosongan.

“Kami... kami adalah orang tuamu,” suara sang pria menyusul, kali ini lebih tenang meski ada nada gemetar yang tak bisa disembunyikan. Ia mencoba tetap berdiri tegak, meskipun terlihat jelas bahwa hatinya pun sama hancurnya. “Aku adalah Papahmu,” lanjutnya, memeluk istrinya yang mulai tersedu dan memukul-mukul pelan bahunya. “Kenapa anak kita bisa begini? Kenapa sampai seperti ini?” gumamnya nyaris tak terdengar.

Dara diam, matanya melirik gelisah ke sekeliling ruangan. Di sudut pikirannya, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Hatinya kalut, pikirannya bercabang ke mana-mana. Ini bukan tubuhnya. Ini bukan hidupnya. Ia hanya terbangun di tempat asing, dalam tubuh seorang gadis yang tampak tak dikenalnya. Ia sangat ingin bertanya langsung: *Di mana tubuhku sendiri sekarang?* Tapi ia sadar, itu akan terlalu membingungkan untuk dijelaskan.

“Anakku, kau benar-benar tidak mengenal siapa dirimu?” tanya sang pria pelan. “Coba kau pikirkan baik-baik. Ingatlah, siapa namamu? Cobalah...”

Dalam hati, Dara merasakan tekanan yang begitu besar. Ia harus memutuskan, haruskah ia terus berpura-pura amnesia, atau justru mengatakan kebenaran yang tak mungkin dipercaya siapa pun? Namun, dengan raut wajah yang pasrah, ia akhirnya memilih untuk bermain peran.

“Memangnya... siapa namaku?” ucapnya perlahan, mencoba memainkan ekspresi bingung sebaik mungkin. “Kenapa aku ada di sini? Bukankah aku sedang berjalan pulang menuju rumahku?”

Tangis sang wanita pecah kembali. Ia memeluk Dara dengan erat, seolah tak ingin kehilangan lagi untuk kedua kalinya. Suaranya gemetar saat ia berbicara.

“Hiks… hiks… Anak kita... anak kita hilang ingatan, Pah... Kenapa nasibmu seburuk ini, Nak... Maafkan Mamah... Mamah menyesal... Mamah terlalu sibuk dengan urusan sendiri, sampai lupa menemanimu saat kau sedang terluka...”

Dara membeku dalam pelukan yang asing namun terasa hangat itu. Tubuhnya kaku, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi ia merasa tidak nyaman karena ini bukanlah keluarganya. Namun di sisi lain, ada ketulusan yang nyata dalam setiap pelukan dan kata-kata wanita ini.

“Anakku...” ujar sang pria lembut, mencoba menenangkan istrinya, lalu mengusap rambut Dara dengan penuh kasih. “Namamu adalah Auristella Lesham Shaenetta. Kami biasa memanggilmu... Lesham.”

Dara membelalakkan matanya, antara terkejut dan ingin tertawa kecil dalam hati. Astaga... nama apaan itu? Kenapa rumit sekali?

“Namaku... Lesham?” Dara mengulang perlahan, berpura-pura seolah sedang berusaha mengingat.

“Namamu memang tidak umum, Sayang,” ucap sang ayah sambil tersenyum tipis. “Kau dilahirkan di Australia, jadi kami sengaja memberi nama yang mencerminkan tempat lahirmu.”

Dara hampir tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Australia? Berarti keluarga ini... orang berada? Tak heran nama anak ini terdengar seperti gabungan karakter dalam novel fantasi.

Baru saja Dara ingin menanggapi, pintu kamar diketuk dan terbuka. Seorang dokter pria paruh baya dengan jas putih bersih masuk, membawa clipboard di tangan.

“Syukurlah putri Anda sudah sadar,” ucap sang dokter sambil mendekat. “Nak, bagaimana dengan kepalamu? Masih terasa pusing atau sakit di bagian belakang?”

“Masih, Dok,” jawab Dara cepat, berusaha tetap tenang dan menjaga aktingnya.

Sang ibu segera menoleh ke arah dokter, dengan ekspresi cemas yang belum juga surut. “Dokter, kenapa anak saya tidak bisa mengenali kami? Bahkan... namanya sendiri dia tidak mengingatnya. Apa benar anak kami mengalami amnesia?”

Dokter itu menarik napas pelan sebelum menjelaskan dengan nada profesional. “Ibu, berdasarkan hasil pemeriksaan awal, kemungkinan besar anak Anda mengalami trauma memori sementara akibat benturan keras di kepala. Itu bisa menyebabkan hilangnya sebagian ingatan. Biasanya, dalam kasus seperti ini, kita perlu waktu dan pendekatan emosional untuk membantu pasien memulihkan memorinya.”

Ia lalu menambahkan sambil menatap keduanya bergantian, “Saya sarankan, Bapak dan Ibu membantu mengingatkan anak Anda dengan hal-hal yang familiar. Cerita masa kecil, benda-benda kesayangan, atau tempat-tempat yang sering ia kunjungi. Dengan begitu, perlahan memorinya bisa kembali.”

Dara hanya mengangguk pelan. Padahal dalam hatinya, ia ingin berteriak bahwa ini semua hanyalah kesalahpahaman besar. Ia bukan Lesham. Ia Dara, seorang gadis yang mungkin kini sedang terbaring koma di tempat lain. Jika dirinya berada di dalam tubuh Lesham, lalu... di mana jiwa Lesham sekarang? Apakah menempati tubuh Dara yang asli? Apakah ia baik-baik saja?

Dan yang paling menghantui pikirannya saat ini. Apakah Kai... masih ada di sisinya? Atau ia sudah menyerah menunggu Dara yang tubuhnya tak lagi bergerak dan jiwanya entah ke mana?.

Hati Dara mencubit perih. Ia merasa ingin melarikan diri dan menemukan dirinya sendiri. Tapi untuk saat ini, ia harus bertahan. Di tubuh dan kehidupan yang bukan miliknya.

>>>

Beberapa menit setelah dokter keluar ruangan, keheningan kembali meliputi kamar rumah sakit itu. Hanya terdengar suara detak mesin monitor jantung dan napas lembut dari pendingin ruangan.

Dara atau yang kini disebut sebagai Lesham memandang lurus ke langit-langit, seakan mencoba menyusun kepingan puzzle yang berserakan dalam pikirannya.

Sang ibu, masih duduk di sisi ranjang, terus mengelus tangan Dara. Ia terlihat enggan melepaskan kehangatan tubuh putrinya itu, seolah takut jika keajaiban yang baru saja terjadi ini akan hilang sewaktu-waktu. Namun Dara tidak bisa berlama-lama dalam sandiwara ini.

Perasaannya berkecamuk. Ia merasa tubuh ini terlalu asing, dan setiap detik yang ia habiskan di sini hanya membuat dadanya semakin sesak. 'Aku harus keluar dari sini. Aku harus melihat tubuhku sendiri'. batinnya berkecamuk. 'Aku harus tahu keadaanku yang sebenarnya. Aku ingin tahu... apakah Kai masih menungguku?.

Dengan perlahan, Dara mencoba bangkit dari ranjang. Bahunya masih terasa lemas, dan luka di bagian belakang kepalanya menyisakan nyeri yang menusuk, tetapi tekadnya jauh lebih besar daripada rasa sakit itu.

Sang ibu segera menahan tubuhnya. “Sayang, kau mau ke mana? Kau belum cukup kuat untuk bangun.”

"Aku... aku ingin ke kamar mandi. Atau mungkin... keluar sebentar. Hanya sebentar, Ma...” Sang ibu menatap suaminya, ragu. Namun pria itu akhirnya mengangguk pelan.

“Kalau hanya sebentar dan kau ditemani Mamah, tidak masalah. Tapi jangan terlalu lama. Dokter bilang kau masih butuh banyak istirahat.” Dengan bantuan sang ibu, Dara akhirnya turun dari ranjang.

Langkahnya goyah, tetapi semangatnya membara. Setiap sudut rumah sakit ia amati dengan penuh harap, mencari sesuatu yang bisa membantunya menemukan dirinya sendiri. Mungkin... ruang ICU, ruang isolasi, atau daftar pasien? Namun belum jauh ia melangkah, pandangannya tertumbuk pada sebuah papan informasi elektronik di lorong utama rumah sakit.

Di sana tertera daftar nama pasien yang sedang dirawat intensif. Matanya menyisir satu per satu baris tulisan itu, hingga akhirnya... jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat satu nama yang sangat ia kenali.

Dara Revalinda – ICU 2A

Tangannya refleks mencengkeram lengan ibunya. “Aku... ingin ke atas. Ke lantai dua.” Sang ibu mengernyit heran.

“Sayang? Kenapa? Ruanganmu ada di sini. Kau tak boleh naik tangga dulu.”

“Tidak, Ma... aku... hanya ingin melihat... ruangan lain. Ruang tunggu, mungkin. Aku merasa... sesak di kamar.” Ibunya terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan berat hati.

“Baiklah, asal tidak terlalu lama.” Langkah Dara terasa makin berat ketika ia dan ibunya menaiki lift menuju lantai dua.

Setibanya di sana, ia berpura-pura ingin duduk sebentar di bangku tunggu, lalu perlahan menoleh ke papan penunjuk arah.

ICU 2A – Kanan, ujung lorong. Dengan penuh debar, ia melangkah, diam-diam menjauh dari ibunya yang kini sedang berbicara dengan seorang perawat di meja informasi.

Lorong menuju ruang ICU terasa lebih sunyi dan menekan. Aroma antiseptik menyengat, udara terasa dingin dan kaku. Saat ia mendekati pintu dengan label "ICU 2A", langkahnya melambat, dan dadanya terasa seperti dipukul ribuan kali. Dari balik kaca jendela kecil di pintu, ia bisa melihat satu ranjang di dalam ruangan.

Tubuh seorang gadis terbaring lemah, dengan berbagai selang terpasang di tubuhnya. Wajahnya pucat, tak bergerak. Namun... itu wajahnya. Itu adalah tubuh Dara yang asli.

Dara memejamkan matanya sesaat, merasakan gelombang emosi menyeruak tak percaya, takut, cemas, marah pada takdir yang mempermainkannya. Napasnya tercekat. Di seberang ruangan, duduk seorang pria muda yang mengenakan hoodie gelap. Kepalanya tertunduk, namun bahunya sedikit berguncang. Kai. Itu Kai. Ia masih di sana. Menunggui tubuh Dara, meski jiwa gadis yang ia kenal kini berdiri hanya beberapa meter darinya dalam tubuh orang lain.

'Kai... Kau masih menungguku...' batin Dara lirih. 'Aku di sini. Tapi kau tidak akan pernah tahu.'

Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seorang suster mendatangi Dara dengan wajah penuh tanda tanya.

“Maaf, Nona... Anda bukan anggota keluarga dari pasien ICU. Dilarang berdiri terlalu dekat.” Dara tersentak. Ia segera mengangguk dan mundur perlahan.

“Maaf... Saya... hanya tersesat.” Suster itu mengangguk ramah, meski menatapnya dengan curiga.

Dara mundur beberapa langkah dan berbalik. Ia tak bisa berada di sana lebih lama. Hatinya terlalu sesak, pikirannya terlalu kacau. Tapi ia tahu satu hal yang pasti.

Ia harus kembali. Ia harus menemukan cara agar jiwanya kembali ke tubuhnya sendiri. Dan sebelum semua terlambat, ia harus memberi tanda pada Kai... bahwa ia masih hidup, meski dalam raga orang lain.

•••

Dara melangkah menjauh dari ruang ICU itu dengan hati yang porak-poranda. Tubuhnya berjalan, namun pikirannya tertinggal di balik jendela kaca itu. Menatap tubuhnya sendiri yang diam tak bernyawa dan seorang sahabat yang tetap bertahan di sisinya, meski tak bisa berbicara dengannya.

Langkah kakinya terasa berat, seperti menapaki jalan yang asing dan tak berpeta. Ia kembali duduk di bangku ruang tunggu, mencoba mengatur napas.

Sang ibu yang kini memanggilnya “Lesham” sedang berbicara dengan dokter di seberang ruangan. Itu kesempatan. Dara mengeluarkan ponsel dari saku piyamanya. Untungnya, ponsel Lesham tidak terkunci dengan sidik jari atau pola. Layarnya menyala. Ia langsung membuka aplikasi pesan instan, dan dengan tangan gemetar, ia mengetik nama "Kai" di kolom pencarian.

Namun hasilnya nihil. Tak ada kontak bernama Kai. Ia mencoba mencari lewat media sosial. Membuka satu per satu akun yang terhubung. Menggali obrolan lama, foto, atau apa pun yang bisa mengarah pada keberadaan Kai.

Tapi nama itu tidak muncul. Tidak ada jejak Kai dalam hidup Lesham. Dara menggigit bibir bawahnya. Tentu saja, mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Dua tubuh yang tak saling mengenal. Tapi ia tidak boleh menyerah. Ia harus menemukan cara. Dengan jari-jari yang terus bergerak, ia mengetik satu pesan yang ia tujukan ke akun medsosnya sendiri.

"Kai... Kalau kau bisa baca ini... aku di sini. Aku bukan Lesham. Aku Dara. Aku masih hidup, tapi di tubuh orang lain."

"Tolong percaya padaku".

Ia kirimkan pesan itu ke akun pribadinya sendiri, akun milik Dara yang asli, berharap bahwa Kai, yang mungkin memegang ponsel Dara, akan membacanya. Meski kecil kemungkinan itu berhasil, setidaknya ia telah mencoba.

Tak lama kemudian, sang ibu kembali menghampirinya dengan senyum lelah. “Sayang, kita kembali ke kamar, ya? Kau terlihat pucat.” Dara mengangguk patuh. Tapi saat berjalan kembali ke ruang rawat, pikirannya terus menari liar.

Ia mulai memikirkan segala kemungkinan. Apakah semua ini kebetulan? Apakah ini sebuah takdir? Ataukah... ada kekuatan lain yang memindahkan jiwanya ke tubuh gadis ini? Dan kalau benar begitu... siapa sebenarnya Auristella Lesham Shaenetta? Begitu sampai di kamar, Dara kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

Setelah ibunya tertidur di kursi di samping, Dara diam-diam membuka galeri foto di ponsel. Mungkin, dari sana ia bisa menemukan petunjuk siapa gadis ini sebenarnya. Foto demi foto ia lihat. Lesham dalam balutan seragam sekolah, di antara barisan siswa di sebuah akademi bergengsi.

Lesham tersenyum dalam pesta ulang tahun mewah. Lesham memeluk seekor anjing golden retriever besar di taman belakang rumah. Semua terlihat seperti kehidupan yang sempurna. Namun saat menggulir lebih jauh, matanya terhenti pada satu foto yang berbeda.

Foto itu diambil secara diam-diam, sudutnya miring, pencahayaannya buruk. Lesham berdiri di depan sebuah rumah kecil di gang sempit dan wajahnya terlihat takut. Di sudut lain, tampak sosok pria bertudung yang wajahnya diburamkan, seolah ingin menyembunyikan sesuatu.

Ada keterangan singkat di bawah foto itu.

'Poto dirinya yang sedang dibully habis-habisan oleh teman kelasnya'.

Jantung Dara berdegup kencang. Lesham... Kini sedang dibully? Pantas saja Dia mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara melompat di atas Jembatan itu.

Ponsel Dara tiba-tiba bergetar. Sebuah notifikasi muncul. Pesan masuk... dari akun Kai. Dengan tangan gemetar, Dara membuka pesan itu.

"Siapa pun kamu... kalau ini hanya candaan, tolong berhenti."

"Tapi... kalau ini benar-benar kau, Dara... bagaimana bisa?"

"Beri aku bukti. Agar aku percaya padamu."

Dara langsung mengetik balasan cepat.

"Kau manusia paling ceroboh yang pernah aku temui, Kau selalu terjatuh saat naik motor. Kau pernah dibully oleh teman kelasmu dan aku menolongmu darinya. Kau selalu mentraktirku makan, dan terakhir saat aku bertemu denganmu, kita makan bersama di supermarket dengan makanan Mie Cup, sosis dan Minuman soda berwarna merah. Kumohon percaya padaku"

"Kai... ini aku, Aku kali ini terjebak ditubuh orang lain, dan aku membutuhkan bantuanmu"

Beberapa menit kemudian, balasan masuk. "Tunggu aku. Aku akan mencarimu. Aku akan memastikan sendiri apakah kau benar Dara atau bukan."

Dara menutup ponsel dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun dalam tubuh ini, ada harapan kecil yang tumbuh di hatinya. semoga Kai percaya padanya.

Dan ia tahu, meski jalannya panjang, meski ia belum tahu bagaimana caranya kembali... Ia tidak sendiri.

>>>

Keesokan harinya, saat matahari pagi baru menyentuh tirai kamar rumah sakit, Dara terbangun dengan perasaan gelisah. Ia merasa seperti hidup di dunia yang bukan miliknya, namun tubuh ini harus terus berjalan di bawah nama “Lesham” meski jiwanya tetap milik Dara.

Ia ingin segera mencari tahu bagaimana kembali ke tubuhnya sendiri, tapi satu hal yang tak kalah penting kini menyita perhatiannya. Apa sebenarnya yang sedang dialami Lesham sebelum kecelakaan itu terjadi?

Setelah ibunya keluar untuk membeli sarapan, Dara diam-diam membuka kembali ponsel. Notifikasi pesan dan tagar di media sosial tak henti berdatangan. Ia membuka salah satu pesan dari aplikasi chat milik Lesham, dan dadanya langsung terhantam kenyataan pahit.

“Pantas saja kau kecelakaan, itu pasti karena karma. Kau memang pantas Mati”

“Muka polos, kelakuan busuk. Siap-siap saja, semua orang sudah lihat kau seperti itu.”

“Kau pikir kami semua tidak tahu siapa dirimu sebenarnya? Jangan harap kau kabur dari kami"

Dara menggulir pesan-pesan itu satu per satu. Matanya membeku saat melihat sebuah unggahan ulang dari akun gosip sekolah: sebuah foto Leshamyang sangat pribadi ia terlihat menangis di dalam toilet perempuan, wajahnya memerah, dan seragam sekolahnya sedikit terbuka karena seperti habis ditarik paksa.

Caption foto itu tidak kalah kejamnya.

“sok cantik dan kaya ternyata tidak suci Guys. Jangan percaya dengan cewek baik-baik, kadang merekalah yang paling jahat.” #LeshamSkandal #PutriDramaAkademi #SekolahKacau

Dara menutup mulutnya, menahan mual dan rasa getir yang menyatu dalam tenggorokannya. Tubuh ini, tubuh yang sedang ia tempati sedang mengalami hujan kebencian yang luar biasa dari lingkungan sekitarnya.

Ia bisa merasakan getaran emosi yang dalam, seakan jiwa Lesham meninggalkan jejak luka yang belum sempat sembuh. Jadi... ini yang ia rasakan? batin Dara.

Lesham sedang dihakimi, dihina, dan mungkin dijauhi... karena sesuatu yang belum tentu benar. Tapi kenapa bisa ada foto seperti itu? Siapa yang menyebarkannya?. Belum sempat berpikir lebih jauh, ponsel Lesham kembali bergetar.

Sebuah pesan masuk dari grup kelas.

Tristan: “Jangan kira dengan masuk rumah sakit kau bisa kabur. Nanti saat kau kembali ke sekolah, kami semua menunggu penjelasanmu. Atau... kau bisa terima konsekuensinya.”

Dara mengernyit. Siapa Tristan? Dan mengapa ancamannya terdengar begitu personal?

Beberapa menit kemudian, pesan pribadi dari akun bernama Viola masuk.

“Les, aku nggak tahu kau lihat ini atau tidak. Tapi tolong hati-hati. Tristan benar-benar marah. Katanya kau yang ngerekam dia sama Evelyn di ruang seni minggu lalu. Katanya kau yang menyebarkannya...” Dara mematung.

'Ahh ternyata ada salah satu orang yang peduli dengan Anak ini'. Batinnya

Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan hanya tentang skandal, ini tentang balas dendam. Ia mulai merangkai benang merah. Lesham mungkin melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.

Lalu Tristan teman sekelasnya membalas menyerangnya dengan cara keji dengan menyebarkan foto pribadi Lesham yang sangat memalukan dan merusak reputasinya.

Dara menutup ponsel dengan kedua tangannya. Kini, ia benar-benar merasa terjebak. Bukan hanya dalam tubuh orang lain, tapi dalam kehidupan yang sedang dibakar dari segala arah. Ia merasa marah bukan hanya karena dirinya sendiri, tapi karena Lesham pun tak pantas menerima perlakuan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!