Untuk pertama kalinya sejak latihan dimulai, ia tidak sinis, tidak memberontak. Tatapannya seperti anak kecil yang mulai menemukan cahaya kecil di tengah lorong gelap.
“Apakah... kau bisa ajari aku cara bertarung seperti itu?” tanyanya perlahan.
Dara mengangguk. “Bukan hanya bertarung, Mika. Tapi juga bertahan hidup.”
Hari-hari setelah itu terasa berbeda. Mika datang lebih awal. Ia mulai membawa buku catatan, menulis setiap koreksi dari Dara. Ia mulai menghormati waktu, dan tidak lagi mencari alasan untuk menghindari latihan berat.
Namun lebih dari semua itu, hubungan mereka berubah. Bukan lagi sekadar pelatih dan murid.
Dara mulai melihat dirinya sendiri dalam Mika
Seorang anak yang merasa tertinggal di dunia yang terlalu cepat, yang terlalu banyak menuntut, dan terlalu sedikit memeluk.
Dan Mika, dalam diam, mulai mempercayai Dara bukan hanya sebagai pelatih. Tapi sebagai satu-satunya orang yang tidak mencoba mengubahnya, melainkan membentuknya dari dalam.
Di sela-sela latihan, kadang mereka tertawa. Kadang mereka diam bersama. Tapi tidak ada lagi dinding antara mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Dara merasa... ia tidak sendirian.
Waktu berjalan cepat, lebih cepat dari biasanya, atau mungkin karena mereka tidak lagi menghitung hari dengan rasa cemas. Sejak hari itu, hari ketika Mika membuka dirinya dan Dara memutuskan untuk lebih dari sekadar pelatih ritme latihan berubah drastis.
Dara menyusun program latihan mingguan yang lebih serius yaitu teknik tendangan lanjutan, kombinasi serangan, stamina, kontrol napas, hingga latihan visualisasi mental sebelum bertanding. Tidak hanya otot yang dilatih mental Mika kini menjadi fokus utama.
Di pekan pertama bulan ketiga, Dara membawa Mika ke taman olahraga terbuka di luar kota. Udara pagi yang masih bersih menusuk kulit mereka, sementara suara burung terdengar samar dari kejauhan.
Di tempat inilah Dara dulu sering dilatih oleh neneknya, dan kini ia mewariskan tradisi itu pada Mika.
“Latihan di sini akan membuatmu belajar satu hal penting yaitu kesunyian” ucap Dara sambil meletakkan matras tipis di bawah pohon besar. Mika mengernyitkan dahi.
“Bukannya seharusnya aku banyak bergerak?”
“Justru sekarang kau harus belajar diam,” jawab Dara.
“Pikiran yang tidak bisa diam adalah musuh terbesar seorang petarung.”
Ia memposisikan Mika dalam posisi duduk bersila, lalu menyuruhnya memejamkan mata dan Mika menurut.
“Dengarkan suara tubuhmu. Dengarkan napasmu. Jangan tolak ketakutanmu. Biarkan ia hadir... dan lalu lewati.”
Selama 20 menit, mereka hanya duduk, dalam diam. Mika tidak menyangka, latihan ini jauh lebih melelahkan daripada sparing satu jam. Tapi ketika ia membuka mata, ada sesuatu yang lebih jernih di pikirannya.
Latihan berikutnya jauh lebih keras. Dara tidak lagi hanya memposisikan Mika sebagai murid, tapi sebagai petarung kompetisi.
Ia mengundang dua murid senior dari komunitas bela diri yang pernah ia ikuti dulu untuk menjadi sparring partner. Mika sempat protes.
“Mereka lebih besar dari aku! Ini gak adil.”
“Lawanmu nanti mungkin lebih tinggi, lebih cepat, ataupun lebih agresif. Tapi satu hal yang harus kau punya adalah kepala dingin,” ujar Dara sambil menyerahkan pelindung kepala.
Latihan berlangsung sengit. Mika sempat terhantam dua kali dan jatuh ke belakang. Tapi bukannya menyerah, ia bangkit. Mata Dara memperhatikannya dalam-dalam.
Wajah itu, tubuh yang gemetar tapi tidak mundur, sangat mengingatkannya pada dirinya sendiri bertahun-tahun lalu di kompetisi kota, ketika ia juga dipaksa menghadapi lawan yang lebih besar.
Dan sama seperti dirinya dulu, Mika juga tidak menyerah. Setelah sesi sparring itu selesai, Mika duduk kelelahan di lantai.
“Gila... mereka hampir mematahkan leherku,” keluhnya sambil menenggak air mineral.
“Tapi kau tetap berdiri,” jawab Dara sambil duduk di sebelahnya.
“Itu artinya kau sudah satu langkah lebih maju dari kemarin.” Mika tersenyum tipis.
“Kau pikir aku bisa menang?” Dara menoleh padanya, lalu menjawab dengan yakin,
“Kau belum menang. Tapi kau sudah layak bertanding.”
Minggu terakhir sebelum kompetisi, Dara membawa Mika ke tempat latihan Teakwondo Girls. Walau tempatnya tidak besar, tidak megah seperti gym mewah milik orang tuanya, namun justru di sinilah Dara ingin Mika menghadapi satu tantangan terakhir melawan keraguan dari dalam dirinya.
Matrasnya usang, dindingnya sedikit retak, tapi di ruangan itulah Dara dulu belajar arti keberanian sejati dan kini Mika harus merasakannya juga. Dara menggelar sesi simulasi pertandingan lengkap, dengan sistem skor dan juri internal.
Mika menghadapi tiga peserta remaja dari berbagai dojang yang Dara hubungi.
Sesi berlangsung cepat dan intens. Mika menang di dua ronde awal, namun di ronde ketiga, ia sempat terpukul cukup keras di bagian perut dan hampir jatuh.
“Jangan menyerah!” seru Dara dari pinggir matras.
“Ingat yang kita latih! Fokus pada lawanmu bukan pada rasa sakitmu!” Mika menggertakkan gigi, bangkit lagi, dan menyelesaikan pertandingan dengan skor imbang.
Semua orang bertepuk tangan. Tapi Mika justru berjalan keluar ruangan, mengusap keringatnya dengan handuk dan menatap langit yang mulai menggelap.
Dara menyusulnya perlahan. “Aku... takut gagal,” ucap Mika tiba-tiba.
“Kita semua takut. Tapi yang membedakan seorang petarung adalah... dia tetap maju meski takut.” Mika tidak langsung menjawab.
Ia hanya menatap Dara dan bertanya satu hal dengan lirih
“Kalau aku kalah nanti... kau akan kecewa padaku?” Dara menggeleng pelan, menatapnya dalam-dalam.
“Tidak, Mika. Yang membuatku kecewa bukan kekalahan, tapi kalau kau memilih untuk tidak mencoba.” Mika mengangguk perlahan. Dan di detik itu, Dara tahu anak ini telah siap.
Kompetisi hanya tinggal lima hari lagi. Dan untuk pertama kalinya, Dara tak hanya bertaruh pada hasil pertandingan Mika, tapi juga pada kesempatan untuk menebus masa lalunya sendiri melalui orang lain.
>>>
Pagi itu, Jakarta masih berkabut. Jalanan lengang karena hari Minggu, namun di dalam aula olahraga tingkat kota di Jakarta Utara, detak jantung semua peserta bertalu lebih keras dari peluit wasit. Mika berdiri di antara puluhan peserta lain yang mengenakan dobok putih bersih, wajahnya tegang meskipun bibirnya berusaha tersenyum.
Dara berdiri di belakangnya, memegang papan nama kecil bertuliskan Dojo Teakwondo Girls. Padahal Mika Seorang Pria.
“Mika,” bisiknya.
“Jangan pikirkan lawanmu. Kau datang ke sini untuk menantang dirimu sendiri.” Mika menoleh, menatap mata pelatihnya yang tajam namun hangat.
“Aku siap, Kak.” Dara mengangguk. Dalam hati, ia menahan tarikan perasaan aneh yang muncul. inilah perasaan yang dulu hilang darinya.
Saat ia berdiri di posisi Mika bertahun-tahun lalu, ia tak punya sosok yang berdiri di belakangnya seperti ini. Ia hanya punya suara bising penonton... dan bayangan ayahnya yang mabuk di kursi paling belakang, dikelilingi para penagih utang.
Tapi kini ia berdiri bukan sebagai peserta. Ia berdiri sebagai pelindung.
—
Laga pertama berlangsung cepat. Mika menunjukkan kecepatan kaki yang mengejutkan lawannya.
Ia menang angka 5–2. Dara menepuk pundaknya di luar arena.
“Kau bergerak seperti harimau kecil tadi.” Mika terkekeh, tapi matanya masih serius.
“Tadi aku gemetar pas wasit bilang mulai.”
“Itu bagus, itu artinya kau peduli.”
Laga kedua lebih sulit. Lawannya lebih tinggi dan agresif, dua kali hampir membuat Mika terpukul di bagian kepala. Tapi Dara memerintahkan untuk bertahan lebih lama dan membaca ritme tendangan.
Mika menunggu, dan di detik ke-40 terakhir, ia balik menyerang. Tendangan memutar ke samping mengenai rompi lawan.
Skor berubah, dan Mika menang lagi. Dara tidak menjerit.
Ia hanya mengacungkan jempol ke udara. Itu sudah cukup.
Namun saat jeda istirahat sebelum babak semifinal, sesuatu terjadi. Mika dan Dara sedang duduk di ruang tunggu, ketika seorang pria berseragam keamanan datang menghampiri.
“Maaf, saya hanya menyampaikan. Ada seseorang di luar... mengaku ayah dari Pelatih Dara.” Dara menegang. Mika menoleh heran.
“Dia bikin keributan. Kami coba halau, tapi dia menyebut-nyebut soal utang. Kami tidak tahu harus bagaimana.” Dunia Dara seolah membeku. Udara tiba-tiba lenyap dari paru-parunya. Ia berdiri perlahan.
“Terima kasih, biar saya saja yang tangani.”
Di luar aula, Amar berdiri di bawah terik matahari, baju kusut, rokok menempel di bibir, dan dua pria berjaket gelap berdiri mengapitnya. Salah satu dari mereka memegang amplop cokelat tebal.
“Dara... ayo bicara. Ini penting,” seru Amar sambil tersenyum hambar.
“Kenapa kau datang kemari?” Dara menahan suaranya, meski amarahnya sudah mendidih.
“Ayah cuma... ayah butuh sedikit uang. Kau tahu ayah pasti bisa ganti. Ini cuma sebentar…”
“Tidak ada sebentar lagi. Kau sudah menghancurkan hidupku. Sekarang aku sedang bangun lagi, tolong jangan ganggu aku kali ini.” Mata Amar mulai berkaca.
Tapi salah satu penagih utang menepuk bahunya.
“Waktu kita terbatas, Pak. Urusan keluarga bisa nanti.”
Dara melangkah maju, berdiri tepat di depan Amar. Ia tidak lagi menangis. Tidak lagi takut.
“Kalau kau punya sedikit rasa malu... biarkan aku hidup. Jangan datang ke tempat ini lagi. Hari ini bukan harimu. Ini hariku. Dan harinya anak didikku.” Amar tertunduk.
Dara berbalik, berjalan cepat kembali ke aula. Suaranya menggema di lorong panjang.
Mika langsung berdiri saat melihat Dara masuk lagi. “Kau... tidak apa-apa?”
“Hm... Aku tidak Apa-apa dan tidak penting bagiku. Yang terpenting sekarang kita menangkan pertandingan terakhir ini. Bukan untukku. Tapi untukmu.
” Mika menarik napas panjang, lalu memakai pelindungnya kembali.
Babak semifinal dimulai. Penonton mulai ramai. Kamera lokal dari media kota mulai meliput. Dara berdiri di tepi matras, tidak berkedip.
Kali ini Mika terluka di bagian kaki. Lawannya unggul cepat di menit pertama. Tapi saat Dara berteriak,
“Ingat apa yang kita latih! Kendalikan rasa takutmu!” Mika tersentak. Ia kembali fokus, menutup celah, dan di menit terakhir, ia meluncurkan kombinasi tendangan lurus lalu putaran ke samping.
Skor akhir: 6–5. Mika menang. Tangisnya pecah begitu peluit panjang dibunyikan. Dara berlari ke matras, memeluknya. Bukan seperti pelatih memeluk murid, tapi seperti seorang kakak yang berhasil menyelamatkan adiknya dari dunia yang kejam.
“Aku... aku menang!” seru Mika sambil tersengal.
“Kau pantas mendapatkannya,” ucap Dara.
“Kau menang bukan hanya dari lawanmu.
Tapi dari bayangan burukmu sendiri.”
Hari itu, Dara berdiri di tepi arena, menatap bendera kompetisi dan penonton yang bersorak.
Di matanya, ia tak hanya melihat Mika yang berhasil... tapi ia juga melihat diri sendiri yang dulu gagal, kini perlahan pulih.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Dara merasa... ia tidak lagi dikejar bayangan masa lalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments