Hidup Kembali di Raga yang Berbeda

Kejuaraan Taekwondo antar kota kemarin seperti menjadi titik balik dalam hidup Mika. Untuk pertama kalinya sejak lama, ibunya memandangnya bukan sebagai beban, tapi sebagai kebanggaan.

“Aku bangga padamu, Sayang" ucap ibunya dengan suara yang nyaris bergetar.

Kalimat sederhana itu membuat hati Mika terasa hangat. Rasanya seperti baru pertama kali mendengar suara ibunya yang benar-benar lembut. Setelah bertahun-tahun hidup dalam tekanan, akhirnya ia merasa dihargai.

Sementara itu, di sudut supermarket sederhana, Dara duduk bersama Kai di bangku plastik menghadap rak camilan. Di atas meja, seperti biasa: dua cup mi instan, dua sosis dalam plastik bening, dan dua kaleng soda berwarna merah.

Kai sedang menikmati mienya, menyeruput pelan. Sementara Dara sibuk menatap layar ponselnya yang memutar ulang video kejuaraan kemarin.

Kai melirik sekilas, lalu bertanya, “Oh ya, apa kau akan terus melatih dia?”

Dara menjawab tanpa mengalihkan pandangan, “Tidak. Aku hanya membantunya sampai lomba kemarin saja.”

Kai mendekatkan wajah, ikut melihat video di layar.

“Hmm… dia hebat juga. Dalam tiga bulan dia bisa menguasai gerakan seperti itu. Mirip denganmu”

Dara tersenyum samar. “Iya… dia memang sepertiku. Keras kepala, pendendam, dan menyimpan semuanya sendiri. Tapi aku ajarkan dia untuk meluapkan semuanya lewat gerakan. Dan sekarang, dia seperti hidup kembali.”

Wajah Dara tampak melembut. Ada bangga di matanya.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Mika muncul di layar. Dara langsung mengangkatnya.

“Halo? Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik-baik saja, Kak. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua yang kau ajarkan padaku. Kalau kau tidak sibuk, aku ingin mengajakmu makan siang. Sebagai rasa terima kasihku.”

Dara melirik ke makanan instan yang belum disentuh dan sosis yang masih terbungkus. Ia menoleh ke Kai yang sedang mengunyah, menatapnya datar dengan pipi mengembung.

“Boleh. Aku luang hari ini. Di mana aku bisa menemuimu?”

“Nanti kukirim alamat cafenya ya. Namanya Nichi Izakaya Yakiniku. Sampai bertemu nanti.”

Telepon terputus. Dara berdiri, merapikan barang-barangnya, lalu mendorong cup mie dan sosis ke arah Kai.

“Maaf, sepertinya aku harus pergi. Kayaknya aku bakal ditraktir makanan enak nih,” ucap Dara sambil tersenyum.

Kai cemberut. “Kau serius akan meninggalkanku di sini?”

Dara tertawa kecil. “Tenang, cuma sebentar. Nanti malam jangan lupa, kita mabar di rumahku.”

Ia melambaikan tangan sambil berjalan pergi. Kai hanya menggeleng pelan, lalu membuka bungkus sosis Dara yang belum disentuh.

---

Kini Jalan macet seperti biasa. Dara menyetir mobil tuanya mengikuti petunjuk arah dari ponsel. Tujuannya menuju Cafe Nichi Izakaya Yakiniku, restoran Jepang yang sedang populer di kalangan anak muda.

Saat berhenti di lampu merah dekat jembatan penyeberangan, pandangannya terpaku pada sosok berseragam SMA yang berdiri di atas jembatan. Anak itu berdiri tepat di tepi pagar.

Alis Dara langsung mengerut. “Apa yang dia lakukan di sana?”

Anak itu mulai naik ke pembatas jembatan. Tanpa pikir panjang, Dara keluar dari mobilnya dan berlari ke arah bawah jembatan.

“Hei! Kau sedang apa di sana? Jangan macam-macam!” teriak Dara dari bawah, panik.

Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang mengangkat ponsel, ada yang berteriak, tapi tak satu pun cukup dekat untuk benar-benar membantu.

Dara menoleh pada seorang bapak-bapak di sampingnya. “Pak, tolong hubungi 119. Cepat!”

Ia lalu menatap ke atas, berusaha menjangkau anak itu dengan kata-kata.

“Kau tidak apa-apa? Dengarkan aku… Aku tahu rasanya saat hidup terasa berat. Tapi melukai dirimu bukan jalan keluar.”

Anak itu menunduk perlahan. Wajahnya pucat, matanya basah. Ia tidak menjawab, tapi jelas sedang dalam tekanan luar biasa.

“Kalau kau jatuh, bukan hanya kau yang terluka. Banyak orang akan kehilanganmu. Aku tidak tahu masalahmu, tapi percayalah… ini bukan akhir segalanya.”

Dari arah atas, seorang pria tua mencoba mendekat untuk memeluk anak itu. Tapi anak itu menolak, memberontak. Dan dalam sekejap ia terjatuh.

Langsung ke arah Dara.

Dara membelalak. “Astaga!”

Tubuhnya tak sempat bergerak. Semua terjadi begitu cepat.

BRUK!

Tubuh mereka berdua menghantam aspal dengan keras. Orang-orang menjerit. Dara tergeletak bersimbah darah, kepalanya membentur keras. Tangan kirinya patah, dan lehernya tak bisa digerakkan.

Anak Remaja itu tak sadarkan diri, punggung dan bahunya memar parah.

Ambulan datang beberapa menit kemudian. Paramedis segera memompa dada Dara.

“Denyut jantungnya menurun! Siapkan defibrillator!”

Kejutan pertama, tidak ada reaksi.

Kejutan kedua, detaknya mulai perlahan kembali, meskipun lemah.

Dara diberi alat bantu napas. Petugas medis terus mengawasinya sambil memberi kompresi dada ringan.

“Tolong di percepat! Dia kehilangan banyak darah!” teriak salah satu suster.

Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung dilarikan ke ruang UGD terpisah. Tim dokter bersiap melakukan tindakan darurat.

“Hubungi keluarganya. Kita perlu persetujuan untuk operasi kepala. Pendarahannya sangat serius,” ucap dokter.

---

Kai masih duduk di bangku plastik supermarket, sendirian, dengan dua cup mi instan di atas meja—yang satu sudah habis, satunya lagi milik Dara yang belum disentuh sama sekali.

Ia menatap ponselnya sambil sesekali membuka-buka galeri fotonya. Beberapa foto acak bersama Dara, bahkan ada video Dara sedang tertawa keras saat gagal memainkan game yang mereka biasa mainkan.

“Apa Dia baik-baik saja” gumamnya pelan, agak kesal tapi lebih banyak khawatir.

Lalu tiba-tiba ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal muncul di layar.

Kai menjawab dengan malas, “Halo?”

“Permisi, apa ini saudara atau kerabat Atas Nama Dara?” tanya suara perempuan di seberang sana—tenang, namun terdengar tegang.

Kai langsung duduk tegak. “Iya. Aku sahabatnya. Ada apa?”

“Saya perawat dari Rumah Sakit Umum. Saat ini Dara sedang berada di ruang UGD. Ia baru saja mengalami kecelakaan. Keadaannya cukup serius.”

Kai terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Ia meneguk ludah.

“Kecelakaan? Apa maksudmu? Apa yang terjadi padanya?”

“Dia mengalami benturan di kepala dan luka cukup dalam di bagian leher serta tangan. Ia sedang dalam penanganan darurat. Kami butuh seseorang untuk datang dan menandatangani izin tindakan medis. Tolong segera ke rumah sakit.”

Tanpa berkata lagi, Kai langsung menutup telepon. Jantungnya berdegup kencang. Mie dan soda itu kini tak ada artinya lagi.

Ia bangkit dan langsung berlari ke luar supermarket. Nafasnya tersengal, langkahnya tidak teratur. Pikiran di kepalanya hanya satu yaitu Dara.

---

Saat tiba di rumah sakit, wajah Kai pucat. Ia langsung menuju bagian informasi dan menyebut nama Dara dengan suara yang nyaris patah.

“Ruang UGD nomor 3” ucap petugas tanpa ekspresi.

Kai berlari. Nafasnya memburu, dadanya sesak. Saat sampai di depan ruang UGD, seorang perawat menyambutnya.

“Apakah Anda yang bernama Kai?”

“Iya. Aku sahabatnya. Bagaimana keadaannya saat ini?”

Perawat itu menunduk sedikit. “Keadaannya masih belum stabil. Dokter sedang berusaha menghentikan pendarahan di bagian kepala. Kami juga khawatir dengan tulang lehernya yang retak. Tapi untuk tindakan lanjutan, kami butuh tanda tanganmu sebagai penanggung jawab sementara.”

Kai mengangguk cepat. Tangan gemetar saat menandatangani berkas. Setelah itu, ia hanya bisa duduk terdiam di kursi tunggu, menggenggam ponselnya erat.

“Kau kenapa sampai seperti ini… Kau tadi hanya bilang mau makan sebentar, bukan pergi melawan maut.”

Air matanya menetes diam-diam.

Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan pakaian operasi bernoda darah.

“Kau teman dekatnya?”

“Iya, Dok. Aku Kai.”

“Kami sudah berhasil menghentikan pendarahannya. Namun kondisinya masih Kritis, Kemungkinan Dara mengalami Koma.Dan kami Tidka bisa memastikan berapa lama Dia akan sadar. Kami memindahkannya ke ruang ICU untuk observasi lebih lanjut. Tapi setidaknya… dia selamat,” ucap sang dokter dengan napas berat.

Kai memejamkan matanya. Sejenak tubuhnya lemas. Ia tak menyadari betapa tegang tubuhnya sejak telepon tadi masuk.

“Boleh aku melihatnya, sebentar saja?”

Dokter mengangguk.

---

Kai masuk pelan-pelan ke ruangan. Dara terbaring di sana, tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, dan kepalanya dibalut perban tebal. Tangan kirinya diperban dan dipasangi penyangga, serta ada alat bantu napas di mulutnya.

Kai menarik napas dalam, lalu duduk di sisi tempat tidur.

Ia menggenggam tangan Dara yang bebas dari alat medis. “Hei… lihat siapa yang jadi pasien sekarang.”

Suaranya parau, tapi diselipi senyum getir.

“Kau selalu cerewet saat aku jatuh dari motor, kau mengatakan aku selalu ceroboh dan tidak hati-hati. Sekarang lihat... Kau yang lebih parah dariku. Bahkan sampai masuk UGD segala…”

Ia terdiam. Matanya memerah. Genggaman tangannya menguat.

“Aku… aku takut kehilanganmu, Dar. Aku belum siap. Aku bahkan belum sempat mengatakan kalau… kau satu-satunya orang yang selalu ada buatku. Jadi kumohon, jangan tinggalkan aku.”

Kai menunduk, menahan tangisnya. Suara alat monitor detak jantung menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di ruangan itu.

“Kau janji kan tadi malam kita bakal mabar di rumahmu? Tapi seperti kau yang mengingkari Janjimu sendiri”

Tangannya tetap menggenggam erat. Seolah melalui sentuhan itu, ia berharap Dara mendengar dan kembali.

>>>

Sudah dua minggu berlalu sejak kecelakaan itu, sejak malam yang membuat dunia Kai seakan berhenti berputar.

Dara masih terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU yang sunyi. Ia tak bergerak, hanya ditemani suara detak monoton mesin pemantau detak jantung yang menyuarakan hidup dengan cara yang paling dingin.

Di balik kaca ruangan itu, Kai duduk di kursi tunggu yang keras dan tidak nyaman. Wajahnya lelah, matanya tampak bengkak karena kurang tidur. Sejak malam pertama ia menerima telepon dari rumah sakit, ia belum pernah benar-benar pulang. Pakaian yang sama ia kenakan selama berhari-hari, hanya berganti sesekali jika sempat. Tapi baginya, waktu kini terasa tak lagi penting. Hari berubah hanya karena matahari muncul dan tenggelam, dan selain itu, semua tetap sama. Dara masih koma dan Kai masih menunggu.

Setiap pagi, ia masuk ke dalam ruangan itu, menyapa Dara dengan suara pelan sambil menatap wajah sahabatnya yang pucat dan tampak rapuh di balik perban dan selang infus. Tidak peduli seberapa sering dokter datang dan menyampaikan kemungkinan terburuk, Kai memilih percaya pada harapan meskipun sangat kecil.

Tangannya selalu menggenggam tangan Dara, kadang diam-diam memijatnya agar hangat, seolah menyampaikan pesan bahwa ia tidak sendiri, bahwa seseorang tetap ada di sampingnya dan menunggu.

“Pagi, Dar… aku bawa bunga lagi. Hari ini aku ambil yang warnanya agak cerah, supaya ruangan ini tidak terlihat sesuram isi pikiranku,” ucap Kai pelan, hampir seperti sedang berbicara pada diri sendiri.

Ia duduk di kursi kecil di sebelah ranjang. Lalu dari tasnya, ia mengeluarkan sebuah jurnal kecil, lusuh, dengan ujung kertas yang sedikit tertekuk. Buku catatan pribadi milik Dara yang ditemukan di dalam tasnya setelah kecelakaan.

“Halaman dua puluh satu…” gumamnya, membuka halaman yang sudah dilipat. “'Aku ingin membawa anak-anak dojang ke kejuaraan nasional. Mereka harus tahu meskipun hidup meninju kita sampai jatuh, kita bisa tetap bangkit dan menang. Bahkan jika harus berdarah-darah.'”

Kai terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, getir. “Kau benar-benar terlalu keras kepala. Bahkan di tulisan pun masih sempat jadi motivator.”

Tapi tawanya cepat menghilang. Ia menunduk, menatap Dara dengan mata berkaca-kaca. Luka di bagian kepala Dara belum sepenuhnya pulih. Dokter mengatakan bahwa benturan itu sangat parah, dan selama ini belum ada reaksi dari tubuhnya. Tidak gerakan kecil. Tidak perubahan napas. Tidak apa-apa.

Kai menunduk. Ia menggenggam tangan Dara lebih erat, lalu menyandarkan kepalanya di ujung ranjang. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah juga terdengar sunyi, tertahan, tapi dalam.

Di luar ruangan, malam mulai turun Hujan mengguyur pelataran rumah sakit, membuat jendela berkabut. Petugas medis yang lewat hanya melirik sekilas, tapi tak ada yang mengganggu. Mereka semua tahu pemuda itu datang setiap hari, tanpa jeda.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu terjadi, jari Dara yang kaku tiba-tiba bergerak. Sangat pelan, nyaris tak terlihat. Tapi bagi Kai, yang tak pernah berhenti memperhatikan setiap detail kecil dari sahabatnya itu, gerakan itu seperti ledakan harapan yang selama ini nyaris padam.

Ia tersentak. Menegakkan tubuhnya cepat-cepat, menatap ke arah tangan Dara.

“D-Dar… kau denger aku, kan?” ucapnya dengan suara gemetar. Matanya langsung memerah, penuh air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan.

“Kalau kau bisa dengar aku, tolong… lakukan lagi. Sedikit saja gerakkan jarimu atau Berkedip, atau Apa pun itu. Aku mohon...”

Tapi setelah itu, tak ada gerakan lain.

Hanya suara detak mesin kembali terdengar. Normal. Datar. Seolah gerakan itu hanya ilusi dari harapan Kai yang terlalu lama menunggu.

Namun tidak. Ia yakin. Tangan itu memang bergerak.

Dan bagi Kai, itu sudah cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi. Dan satu hari lagi setelah itu. Dan sebanyak yang dibutuhkan… sampai Dara membuka matanya.

>>>

Disisi lain Semua tampak begitu Gelap dan Sunyi, tak ada bentuk dan tak ada arah. Seolah dirinya melayang dalam kehampaan yang tak mengenal waktu.

Itulah yang Dara rasakan sejak tubuhnya kehilangan kesadaran. Tak ada rasa sakit, tak ada suara, hanya kekosongan yang menelan segalanya. Namun hari ini, sesuatu berubah.

Awalnya seperti desir angin di telinga. Lalu perlahan, ada cahaya kecil di kejauhan. Dara merasa dirinya terdorong atau ditarik menuju cahaya itu. Ia ingin menolak, tapi tak mampu. Tak ada tubuh yang bisa digerakkan. Tak ada suara yang bisa diteriakkan.

Dan tiba-tiba…

Cahaya itu meledak.

Kesadarannya terhempas masuk ke dalam tubuh asing. Ia terbangun dengan jantung berdetak cepat, dengan napas sesak, dan dengan tubuh yang terasa jauh lebih ringan dari tubuhnya sendiri.

Dara perlahan membuka matanya.

Langit-langit kamar putih tercium Bau antiseptik dan detak mesin infus. Tapi ini bukan ruang ICU tempat ia biasa mendengar suara Kai membacakan isi jurnalnya.

Di sekeliling tempat tidur, ia melihat dua sosok duduk sambil menggenggam tangannya erat, seperti sepasang pria dan wanita yang tak ia kenal. Mata mereka sembab karena menangis, namun kini berbinar melihat matanya yang terbuka.

“Oh Tuhan… anakku… kau bangun… akhirnya kau bangun…” Wanita itu memeluk Dara sambil terisak, penuh haru. Suaranya parau karena menangis terlalu lama. Lelaki di sampingnya hanya memegangi bahu sang istri, namun matanya tak kalah merah.

Dara panik.

Anakku? Siapa? Aku bukan… anak kalian…

Ia ingin bicara, ingin menjelaskan bahwa ini salah. Bahwa ia bukan gadis ini. Bahwa namanya Dara, bukan… siapa pun yang mereka pikirkan.

Namun suara itu tak keluar.

Ia menoleh ke samping melihat bayangan dirinya di kaca jendela rumah sakit.

Teryata Wajahnya bukan Dirinya.

Rambut hitam panjang, Kulit lebih cerah, Wajah bulat dan polos. Lebih muda setidaknya lima tahun dari tubuh Dara yang seharusnya. Ini… bukan tubuhnya.

“Sayang, kau dengar suara Mama, kan?” ucap wanita itu, menggenggam tangannya erat.

Dara ingin menjawab. Tapi mulutnya seakan tak tahu caranya bicara. Ia hanya bisa menatap, bingung, takut, dan penuh tanda tanya.

Apa yang terjadi padaku? Siapa gadis ini? Kenapa aku ada di tubuhnya? Di mana tubuh asliku? Di mana Kai?

Pintu kamar VIP terbuka perlahan. Seorang perawat masuk, mengecek monitor dan infus. Melirik sebentar, lalu tersenyum kepada orang tua gadis itu.

“Syukurlah dia sadar. Kami juga sempat khawatir. Trauma emosional bisa sangat berat untuk remaja seusia dia,” ujar sang perawat, sebelum melangkah keluar.

Remaja? Aku bukan remaja. Aku 28 tahun. Aku pelatih Dojang. Lalu dimana Kai? Aku...

Pikirannya menjerit. Tapi tubuh ini tetap diam.

Tangannya menggenggam selimut. Ia mulai gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipis. Ketakutan merambat dari ujung kaki hingga ke ubun-ubun.

Wanita yang mengaku sebagai ibunya kembali menyeka keningnya dengan handuk kecil, membelai kepalanya lembut seperti anak kecil.

“Kau sudah selamat, sayang. Mama dan Papa di sini. Mama tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi.”

Menyakitiku...?

Dara terdiam. Kata-kata itu seketika membangkitkan ketegangan baru. Ia menoleh pelan ke arah jendela, melihat pantulan wajah gadis yang tubuhnya kini ia huni.

Apa yang sebenarnya dialami anak ini...?

Ada luka samar di pelipis. Bekas lebam di bawah dagu. Kukunya sebagian rusak, seperti mencakar sesuatu dengan paksa. Itu bukan luka biasa. Itu luka trauma. Luka ketakutan.

Dara menatap keluar jendela rumah sakit yang kini memantulkan bayangan asing itu kembali kepadanya. Tapi jauh di lubuk hati, ia tahu satu hal pasti. Ini bukan sekadar mimpi atau halusinasi. Ia hidup, tapi bukan di tubuhnya sendiri.

Dan entah bagaimana caranya... ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Siapa gadis ini. Apa yang membuatnya hampir mati. Dan… bagaimana caranya dirinya bisa kembali.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!