Reina menjauh dari kompleks perumahan Kei, hujan membasahi tubuh Reina seutuhnya. Reina menatap langit malam itu dengan suasana hati yang hancur. sebuah kilasan masa lalu muncul di benaknya.
...****************...
Rumah sakit Osaka. 2 Agustus 2024.
Kilatan lampu strobo menerpa wajah dua perawat itu, pantulannya berkelap-kelip di lantai marmer dingin ruang mayat. Jam menunjukkan 01.05 dini hari, 2 Agustus 2024. Bau formalin menyengat hidung, bercampur dengan aroma samar keringat dan kepanikan yang masih tertinggal dari kerumunan di luar. Di balik pintu baja yang baru saja dikunci rapat, suara tangis masih terdengar—tangis Kei, Hanna, Kenzi, Andras, Emi, dan Yumi, teman-teman Reina, bercampur dengan ratapan pilu dari murid-murid SMA Kyoko dan SMA Terinis. Nama Reina, diulang-ulang dalam isak tangis mereka, "Reina... Reina..." suara-suara yang teredam oleh sistem pengaman canggih namun tetap menusuk kalbu. Kedua perawat itu berdiri di samping tubuh Reina yang terbaring kaku di atas meja stainless steel. Masker bedah menutupi wajah mereka, menyembunyikan identitas dan emosi mereka. Namun, mata salah satu perawat berkaca-kaca, menahan air mata yang mengancam tumpah.
Perawat yang satunya lagi, dengan gerakan tangan yang terampil, mengunci pintu dengan sistem biometrik. Bunyi klik kecil terdengar nyaris tak terdengar, sebuah mekanisme yang sempurna untuk mengisolasi ruang mayat dari dunia luar yang kacau. Ia menoleh ke rekan kerjanya, yang masih terpaku menatap wajah pucat Reina. Wajahnya, biasanya tegar dan penuh percaya diri, kini dipenuhi dengan keputusasaan yang terselubung.
"Bagaimana keadaannya?" tanya perawat wanita, suaranya lembut namun bergetar. Ia berusaha keras untuk tetap tenang, namun getaran di tangannya mengkhianati ketenangan yang dipaksakan. Di luar, suara ratapan semakin menggema, "Reina... jangan tinggalkan kami..."
Perawat pria menggeleng pelan, air mata akhirnya membasahi pipinya, menetes di atas masker bedah. Dengan tangan gemetar, ia melepas maskernya. Di balik masker itu, terungkap wajah Reiz, abang sepupu Reina, dipenuhi dengan kesedihan yang mendalam.
"Aku... aku yakin... adikku masih bisa diselamatkan," bisiknya, suaranya serak menahan isak. Ia menunduk, bahunya bergetar hebat. Tubuhnya menegang, tangannya mengepal erat. Suara ratapan dari luar semakin keras, seakan menembus dinding-dinding ruang mayat.
Perawat wanita juga melepas maskernya, memperlihatkan wajah Tia, istri Reiz. Wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terkira. Mata hazelnya berkaca-kaca, mencerminkan kesedihan yang sama mendalamnya dengan Reiz. Ia mengulurkan tangan, meraih tangan Reiz, memberikan sedikit kekuatan dan dukungan. Sentuhan lembut itu seakan menjadi satu-satunya hal nyata di tengah keputusasaan yang mencengkeram mereka. Di luar, seolah-olah sebuah gelombang kesedihan besar menerpa rumah sakit, menyeret semua orang ke dalam pusaran duka cita yang mendalam.
"Kau yakin, Reiz?" tanya Tia lagi, suaranya penuh keraguan, namun tetap berusaha untuk terdengar optimis. Ia tahu betapa besar harapan Reiz untuk menyelamatkan Reina, adik sepupunya yang sangat dicintainya.
Reiz mengangguk, matanya menatap tajam ke arah tubuh Reina. Ia mengeluarkan sebuah alat canggih dari tas medisnya—sebuah perangkat diagnostik berteknologi tinggi yang mampu mendeteksi tanda-tanda kehidupan bahkan pada pasien yang nyaris mati. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengarahkan sensor ke dada Reina, layar kecil di perangkat itu menampilkan grafik jantung yang hampir datar. Namun, di tengah garis datar itu, Reiz melihat sesuatu yang membuatnya terkejut.
"Tia... kita harus cepat!" seru Reiz, suaranya dipenuhi dengan kepanikan yang terkendali. "Ada zat yang akan menyebar setelah jantung Reina rusak sepenuhnya... kita harus membawanya ke Craig!"
Tia mengangguk cepat, tangannya meraih ponselnya. Jari-jarinya bergerak cepat, menekan angka-angka pada layar. "Craig! Sekarang!" teriaknya ke ponsel, suaranya tegas dan penuh perintah. Ia menutup panggilan, napasnya memburu. Suara tangis dan teriakan dari luar semakin membesar, seperti badai yang mengamuk di luar tembok rumah sakit.
Detik-detik terasa seperti berabad-abad. Ketegangan memenuhi ruangan. Tiba-tiba, bayangan helikopter muncul di balik jendela besar ruang mayat, baling-balingnya berputar dengan suara yang menggelegar. Craig, sosok pria jangkung dengan wajah dingin dan ekspresi tanpa emosi, sudah menunggu di dalam helikopter. Ia menatap mereka dengan tatapan tajam, seolah-olah melihat menembus jiwa mereka.
Reiz mengangkat tubuh Reina dengan hati-hati, tubuhnya terasa sangat ringan. Ia meletakkan Reina dengan lembut di dalam helikopter, matanya tak lepas dari wajah adik sepupunya.
"Craig, segera pergi ke lab aku di Rusia!" perintah Reiz, suaranya bercampur antara putus asa dan harapan.
Craig mengangguk, suaranya datar dan dingin seperti biasanya. "Baiklah... tapi kau melupakan ini," katanya, sambil memberikan sebuah boneka porselen yang sangat mirip dengan Reina. "Boneka ini sangat mirip dengan adikmu..."
Reiz menerima boneka itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Craig... terima kasih telah membantuku. Sampaikan terima kasihku kepada Alice," katanya, suaranya hampir tak terdengar. Suara ratapan dari luar masih terus bergema, menyertai kepergian helikopter yang membawa harapan dan keputusasaan.
Craig mengangguk lagi, lalu berbalik ke pilot. "Ayo, kita berangkat ke Moskow," katanya. Helikopter itu berputar, meninggalkan rumah sakit dalam kegelapan, membawa harapan dan keputusasaan Reiz dalam satu perjalanan menuju Rusia. Di balik jendela, Tia masih berdiri, menatap kepergian helikopter, bayangan wajah Reina masih terukir jelas di pikirannya. Harapan dan ketakutan bercampur aduk dalam hatinya, diiringi oleh gelombang kesedihan yang mengguncang rumah sakit.
Russia, Moskow.
Dua hari kemudian, udara Moskow yang dingin menusuk tulang, berbeda jauh dengan kelembapan Osaka. Reiz dan Tia, wajah mereka masih dipenuhi kelelahan dan kecemasan, berlari memasuki kompleks laboratorium bawah tanah yang tersembunyi di balik gedung tua di pinggiran kota. Detak jantung mereka berpacu, menyaingi deru mesin-mesin canggih yang terdengar samar dari balik pintu baja tebal. Reiz, dengan tangan gemetar namun sigap, menekan kode akses pada panel kontrol. Bunyi klik yang nyaris tak terdengar menandakan pintu baja itu terbuka, mengungkap lorong panjang yang diterangi cahaya redup.
Mereka bergegas menuju ruangan operasi, sebuah ruangan steril yang dipenuhi peralatan medis mutakhir. Reina terbaring di atas ranjang operasi, tubuhnya dihubungkan dengan berbagai macam sensor dan alat penunjang kehidupan. Sebuah tabung transparan besar mengelilingi tubuhnya, mencegah penyebaran zat berbahaya yang mengancam jiwanya. Udara dipenuhi aroma antiseptic yang tajam, bercampur dengan aroma logam dingin dari peralatan medis. Di monitor, garis datar menunjukkan jantung Reina telah berhenti berdenyut – hanya sebuah sisa organ yang dingin dan diam.
Reiz dan Tia berdiri di samping Reina, wajah mereka dipenuhi dengan campuran harapan dan ketakutan. Craig, dengan postur tubuhnya yang tegap dan ekspresi wajahnya yang datar, bersandar di dinding dekat pintu masuk, mengamati setiap gerakan mereka dengan tajam. Sepuluh ahli bedah terbaik, yang direkrut Reiz dari berbagai penjuru dunia, sudah siap di tempat mereka masing-masing. Suasana tegang mencekam ruangan.
"Baiklah, semuanya!" seru Reiz, suaranya bergetar namun tetap tegas. "Lakukan operasi sekarang!" Tangannya mengepal erat, keringat dingin membasahi dahinya. Ia menatap wajah pucat Reina, mencoba untuk tetap tegar di hadapan adik sepupunya yang terbaring tak berdaya. Matanya berkaca-kaca, menahan gelombang emosi yang mengancam membanjiri dirinya.
Tia menoleh ke Craig, suaranya sedikit gemetar. "Craig, di mana jantung robotnya?"
Craig menjentikkan jarinya. Dua robot anjing, dengan desain futuristik dan gerakan yang presisi, masuk ke ruangan, membawa sebuah kotak logam kecil yang berkilau. Di dalam kotak transparan itu, terlihat jantung robot yang berkilau, sebuah karya teknologi mutakhir yang diciptakan oleh Reiz dan Tia. Cahaya redup dari lampu operasi memantul pada permukaan logam yang halus, menciptakan pantulan yang menakutkan bagi mereka yang menyaksikan.
"Baiklah... lakukan operasi sekarang!" perintah Reiz lagi, suaranya sedikit lebih keras. Ia memberikan isyarat kepada tim bedah untuk memulai.
Operasi berjalan menegangkan. Setiap sayatan pisau bedah, tiap kali alat medis menyentuh tubuh Reina, menimbulkan ketegangan yang luar biasa. Pada monitor, garis datar jantung Reina tetap tak bergerak, mengingatkan mereka pada betapa besarnya tantangan yang mereka hadapi. Tim bedah bekerja dengan cepat dan terampil, tetapi rintangan demi rintangan muncul. Zat berbahaya di dalam tubuh Reina terus berusaha menyebar, membuat tim bedah harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikannya.
"Tekanan darahnya turun drastis!" teriak salah satu dokter, suaranya penuh kepanikan.
"Cepat, ganti infus!" perintah Reiz, wajahnya dipenuhi kepanikan. Ia mengusap keringat di dahinya, napasnya memburu. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun tangannya gemetar tak terkendali.
Tia, dengan tangan yang gemetar, menangani alat-alat medis, memberikan bantuan kepada tim bedah. Ia berusaha untuk tetap tenang, namun kecemasan yang mendalam terlihat jelas di matanya. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang mengancam jatuh.
Setelah berjam-jam berjuang, akhirnya jantung lama Reina yang dingin dan tak berdenyut berhasil dikeluarkan dan ditempatkan di dalam kotak tembus pandang yang steril. Jantung robot yang berkilau kemudian dipasang dengan hati-hati. Momen menegangkan terjadi saat jantung robot diaktifkan. Semua orang menahan napas, menunggu tanda-tanda kehidupan dari Reina.
Detak jantung yang kuat dan stabil muncul di monitor, menunjukkan bahwa operasi telah berhasil. Sebuah decapan lega terdengar di ruangan, menghilangkan ketegangan yang mencekam. Reiz dan Tia saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi dengan kelegaan yang mendalam. Mereka berhasil. Reina masih hidup.
Setelah detak jantung stabil, ruangan operasi yang tadinya tegang perlahan dipenuhi kelegaan. Namun, Reiz tahu perjuangan belum sepenuhnya usai. Ia menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.
"Kemungkinan besar, Reina akan sadar kembali dalam waktu dua minggu hingga satu bulan," kata Reiz kepada semua orang, suaranya sedikit serak. Ia menatap monitor yang menampilkan tanda-tanda vital Reina, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kita harus terus memantau kondisinya dengan ketat dan memastikan tidak ada komplikasi."
Reiz mendekati ranjang operasi, matanya tertuju pada jahitan di dada Reina. Jahitan itu, meskipun rapi dan presisi, tetap menjadi pengingat akan betapa ekstremnya tindakan yang baru saja mereka lakukan. Ia mengulurkan tangan, menyentuh pipi Reina dengan lembut. Kulitnya terasa dingin dan pucat.
Air mata menetes dari mata Reiz, membasahi pipi Reina. Ia tidak bisa menahan emosinya lagi. "Adikku..." bisiknya, suaranya bergetar. "Bertahan ya..."
Tia mendekat, merangkul Reiz dengan erat. Ia tahu betapa berat beban yang dipikul Reiz. Ia tahu betapa besar cintanya pada Reina. "Dia akan baik-baik saja, Reiz," bisik Tia, suaranya lembut dan menenangkan. "Dia kuat. Dia pasti bisa melewati ini."
Reiz membalas pelukan Tia, mencari kekuatan dari istrinya. Ia tahu ia tidak sendirian. Ia memiliki Tia, Craig, dan seluruh tim yang telah bekerja keras untuk menyelamatkan Reina. Ia harus tetap kuat, demi Reina.
"Terima kasih," bisik Reiz, suaranya hampir tak terdengar. "Terima kasih sudah membantuku."
Tia memeluk Reiz semakin erat, memberikan dukungan tanpa kata. Ia tahu kata-kata tidak akan cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya. Ia hanya ingin Reiz tahu bahwa ia akan selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam segala hal.
Craig, yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, mendekat ke arah Reiz dan Tia. Ekspresi wajahnya tetap datar, namun matanya menunjukkan sedikit kehangatan.
"Dia akan baik-baik saja," kata Craig, suaranya datar namun penuh keyakinan. "Dia memiliki kalian. Itu sudah cukup."
Reiz mengangguk, menatap Craig dengan rasa terima kasih. Ia tahu Craig tidak pandai mengungkapkan emosi, namun ia tahu bahwa Craig peduli pada Reina.
"Terima kasih, Craig," kata Reiz. "Terima kasih sudah menjadi teman yang baik."
Craig mengangguk lagi, lalu berbalik dan berjalan keluar ruangan. Ia tidak pandai berbasa-basi. Ia lebih suka menunjukkan perasaannya melalui tindakan.
Reiz dan Tia kembali menatap Reina, wajah mereka dipenuhi dengan harapan. Mereka tahu perjalanan masih panjang, namun mereka yakin bahwa Reina akan kembali. Mereka akan melakukan apapun untuk memastikan itu terjadi. Cinta mereka pada Reina akan menjadi kekuatan yang akan membimbing mereka melewati segala rintangan.
Hari berikutnya, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah tirai jendela ruang rapat Reiz dan Tia, menerangi debu-debu halus yang menari-nari dalam sorot cahaya. Aroma kopi Luwak yang mahal, bercampur dengan aroma antiseptic yang samar—sisa dari operasi Reina—menghangatkan ruangan. Meja bundar futuristik dari kayu jati Kalimantan, dipoles hingga berkilau seperti cermin, memantulkan cahaya dengan sempurna. Reiz, dalam setelan jas Armani yang serasi dengan warna matanya yang gelap, berdiri tegak di depan meja, tangannya terlipat rapi, namun jemarinya sesekali bergetar halus—sebuah tanda kecemasan yang terselubung di balik sikap profesionalnya. Tia, elegan dalam gaun sutra biru langit yang lembut, duduk di sampingnya, jari-jarinya lentik menari di atas tablet canggih, laporan medis Reina yang setebal kamus terbuka di depannya. Ekspresi wajahnya serius, namun matanya yang indah berkilat-kilat dengan tekad.
Empat anggota tim sudah duduk mengelilingi meja. Pemuda berambut pirang, dengan mata cokelat muda yang cerdas, terlihat tenang dan observatif, jari-jarinya dengan santai memainkan pena berbahan titanium—sebuah kebiasaan yang menunjukkan konsentrasinya yang tinggi. Di seberangnya, pemuda botak dengan tubuh atletis yang menawan, bersandar santai di kursinya, kaki terentang di atas meja dengan sikap yang menantang. Ekspresi wajahnya datar, hampir tanpa emosi, namun sudut bibirnya sedikit terangkat—sebuah isyarat kecil yang menunjukkan rasa percaya dirinya yang tinggi. Di sebelah pemuda berambut pirang, duduk wanita dengan rambut hitam panjang di sebelah kiri dan putih di sebelah kanan, memainkan-mainkan untaian rambutnya dengan gelisah, matanya setengah tertutup, seakan mengantuk—namun sesekali tatapannya tajam dan penuh perhatian. Di sebelah pemuda botak, wanita berambut cokelat pendek dengan mata heterochromia—hijau zamrud di kiri dan silver di kanan—menatap layar tabletnya dengan intens, jari-jarinya bergerak cepat dan lincah, menunjukkan keahliannya dalam menganalisis data.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan bunyi swoosh yang khas, memperlihatkan Craig, sosok jangkung dan selalu misterius, masuk sambil… menyikat gigi. Sikat gigi elektriknya berdengung pelan, busa putih bertebaran di sekitar mulutnya, menciptakan pemandangan yang tak terduga dan sedikit absurd.
Reiz dan Tia tercengang. Reiz, yang berusaha keras untuk menjaga ketenangannya, merasakan alisnya terangkat tinggi, sebuah reaksi spontan yang menunjukkan keterkejutannya. Tia, yang sedang fokus membaca, hampir menjatuhkan tabletnya, tangannya terangkat menutupi mulutnya—sebuah gerakan refleks yang menunjukkan betapa terkejutnya ia.
"Craig… ini ruangan rapat, loh," kata Reiz, suaranya sedikit meninggi, namun tetap berusaha terdengar tenang. Ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan keterkejutannya yang sebenarnya, namun rahangnya mengeras—sebuah tanda tekanan batin yang tersembunyi.
Tia memegang kepalanya, menghela napas panjang, bahunya sedikit merosot. "Astaga, Craig…" gumamnya, suaranya terdengar lelah namun ada sedikit geli. Ia menggelengkan kepalanya pelan, menunjukkan rasa frustasi yang tercampur dengan sedikit humor.
Craig, tanpa berhenti menyikat gigi, menjawab dengan tenang, namun suaranya terdengar sedikit tinggi dan bernada sarkastis, "Salah siapa yang menyuruh cepat-cepat? Jadwal rapat jam 8 pagi, sekarang sudah hampir jam 8.15. Efisiensi, Reiz, efisiensi! Waktu adalah uang, dan uang adalah… well, kalian tahu." Ia berkumur dengan suara yang cukup keras, lalu tanpa ragu-ragu, membuang air kumurnya ke lantai, di dekat kaki pemuda botak yang masih terentang di atas meja. Pemuda botak itu hanya mengangkat satu alis, tanpa ekspresi.
"Craig!!" seru Reiz, suaranya sedikit lebih keras kali ini, nada suaranya menunjukkan kemarahan yang tertahan. "Ini kantorku!!" Ia menunjuk ke lantai dengan ekspresi wajah yang hampir meledak, tangannya mengepal erat—sebuah tanda emosi yang terpendam.
Craig, dengan wajah datar yang khas, menyeka mulutnya dengan sapu tangan sutra yang mahal. "Maaf," katanya singkat, lalu duduk dengan santai di kursi kosong di ujung meja, sikapnya yang santai menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kekacauan yang ia ciptakan. Ia mengambil cangkir kopi dari meja, meminumnya dengan tenang, namun matanya mengamati setiap orang di ruangan itu dengan tajam—sebuah tanda bahwa ia tetap waspada.
Pemuda berambut pirang, dengan senyum tipis yang penuh arti, berkata, "Ketua Craig memang selalu begitu. Kita sudah terbiasa." Ia menggelengkan kepala, namun matanya menunjukkan sedikit rasa geli dan sedikit kekaguman terhadap keberanian Craig.
Pemuda botak, tanpa menggerakkan kaki dari atas meja, menjawab dengan malas, namun suaranya terdengar sedikit lebih tajam, "Hah… membosankan. Kapan kita mulai menganalisis si boneka hidup itu? Aku sudah bosan menunggu." Ia menunjuk ke arah Tia dengan dagunya, sikapnya yang acuh tak acuh menunjukkan ketidaksukaannya terhadap penundaan.
Wanita berambut hitam dan putih menguap lebar, menggeliat di kursinya. "Aku ngantuk… Ketua Craig, cepat duduk di posisi… Aku ingin pulang dan memeluk kucingku, namanya Snowball." Ia menguap lagi, menunjukkan rasa kantuknya yang nyata, namun matanya tetap memperhatikan Craig dan Reiz.
Wanita berambut cokelat, tanpa menoleh, berkata, "Iya… aku ingin menganalisis tubuh adik Profesor Reiz. Data yang kita kumpulkan selama dua hari terakhir sangat menarik. Ada anomali yang perlu diinvestigasi lebih lanjut. Khususnya, peningkatan aktivitas seluler di area…" Ia menunjuk ke arah layar tabletnya, menunjukkan grafik yang rumit, suaranya penuh semangat dan profesional.
Craig mendengus pelan. "Dasar anak buah nggak sabaran. Baiklah, baiklah. Kita mulai rapat. Tia, laporkan perkembangan Reina." Ia menatap Tia dengan tatapan tajam, namun ada sedikit lengkungan di sudut bibirnya, seolah-olah ia terhibur dengan kekacauan yang ia ciptakan. Sikapnya yang tampak dingin sebenarnya menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi.
Tia, setelah mengatur napasnya, mulai menjelaskan perkembangan kondisi Reina dengan detail, menjelaskan tentang jantung robot, reaksi tubuh Reina terhadap implan baru, dan berbagai komplikasi yang mungkin terjadi. Ia menjelaskan dengan bahasa ilmiah yang kompleks, namun tetap mudah dipahami oleh anggota tim yang lain, suaranya terdengar tenang dan penuh percaya diri. Reiz sesekali menambahkan penjelasan atau koreksi, menunjukkan kekhawatiran namun tetap berusaha profesional, sikapnya menunjukkan kepedulian yang mendalam terhadap Reina.
Reiz, dengan gestur tangan yang tenang namun tegas, membuka rapat. Cahaya matahari sore menerobos jendela, menyorot debu-debu halus yang menari-nari di udara—sebuah metafora yang pas untuk situasi yang mereka hadapi. "Terima kasih telah datang," suaranya terdengar berat, namun di baliknya tersirat kelegaan yang dalam. "Kita akan membahas dokumen dan peristiwa yang dialami Reina sebelum dia dibawa ke sini. Informasi ini krusial untuk menentukan langkah selanjutnya." Ia menatap setiap anggota tim, matanya berhenti sejenak pada Tia, yang duduk di sampingnya, wajahnya masih tampak lelah namun teguh.
Keheningan singkat menyelimuti ruangan, dipecah hanya oleh suara dengkuran pelan dari pendingin ruangan. Kemudian, wanita berambut cokelat pendek, Zhivago Helena, mengangkat tangannya, sebuah gerakan yang halus namun penuh percaya diri. Tia, dengan senyum tipis yang lembut, mengangguk. "Ya, Helena. Ada pertanyaan?"
Helena berdiri, posturnya tegak dan penuh wibawa. Rambut cokelatnya yang pendek berkilau di bawah cahaya matahari. "Profesor Tia," suaranya jernih dan tegas, "setelah saya cek kembali data, kondisi Hasane Reina hampir membaik. Kinerja jantung robot berhasil total, melampaui ekspektasi. Namun yang lebih mengejutkan, daya tubuh Reina sendiri memberikan kontribusi signifikan terhadap pemulihannya."
Helena menekan jam tangannya yang canggih, sebuah perangkat teknologi futuristik yang terlihat seperti perhiasan. Dengan usapan jari yang cepat dan tepat, sebuah hologram muncul di atas meja—gambar tiga dimensi yang detail dari tubuh Reina, menunjukkan organ-organ dalam dan tingkat aktivitas seluler. Sebuah grafik berwarna biru terang menunjukan angka 58 persen di samping tulisan "Daya Tubuh."
Seketika itu juga, ruangan dipenuhi keheningan yang tegang. Pemuda botak, Jimmy Hopkins, yang selama ini terlihat acuh tak acuh, terperanjat. Ia terlonjak dari kursinya, matanya membulat lebar, ekspresi wajahnya berubah dari datar menjadi terkejut. "B… bagaimana bisa?!" serunya, suaranya sedikit terbata-bata. "Padahal jantung pertamanya sudah tidak ada tanda kehidupan!!" Ia mengusap rambutnya yang botak dengan gugup, menunjukkan betapa terkejutnya ia.
Helena, dengan tenang, mengangkat tangannya, menenangkan Jimmy. "Tenang, Jimmy Hopkins," suaranya lembut namun tegas. "Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, meskipun jantung Reina berhenti berdetak, sel-sel tubuhnya masih mempertahankan potensi regeneratif yang luar biasa. Kedua, teknologi jantung robot yang kita gunakan tidak hanya menggantikan fungsi jantung, tetapi juga menstimulasi regenerasi sel secara aktif. Ketiga, dan yang paling mengejutkan, Reina memiliki tingkat ketahanan tubuh yang luar biasa tinggi. Analisis genetik menunjukkan adanya mutasi genetik langka yang meningkatkan kemampuan regenerasi dan ketahanan tubuhnya secara signifikan. Mutasi ini mungkin juga terkait dengan kemampuannya untuk bertahan hidup setelah jantungnya berhenti."
Helena menunjuk ke hologram, menjelaskan detail-detail ilmiah dengan bahasa yang lugas namun tetap presisi. Ia menunjukkan area-area di tubuh Reina yang menunjukkan aktivitas seluler yang tinggi, menjelaskan proses regenerasi yang sedang berlangsung. Ia juga menjelaskan tentang mutasi genetik langka yang ditemukan dalam DNA Reina, menjelaskan bagaimana mutasi ini meningkatkan kemampuan regenerasi dan ketahanan tubuhnya. Ia berbicara dengan penuh semangat dan kecintaan terhadap sains, namun tetap menjaga profesionalitasnya.
Jimmy, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan mulai tenang. Ia mendengarkan penjelasan Helena dengan saksama, matanya berbinar-binar dengan kekaguman. Setelah Helena selesai menjelaskan, ia mengangguk pelan. "Menarik," katanya, suaranya terdengar kagum. "Dia cocok sebagai petarung." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang mengungkapkan kekagumannya terhadap ketahanan tubuh Reina. "Kita perlu mempelajari mutasi genetik ini lebih lanjut. Mungkin ada potensi aplikasi yang luar biasa di bidang medis dan militer."
Reiz dan Tia saling bertukar pandang, wajah mereka dipenuhi dengan campuran kekaguman dan kekhawatiran. Mereka menyadari bahwa pemulihan Reina tidak hanya bergantung pada teknologi canggih, tetapi juga pada kekuatan tubuhnya sendiri yang luar biasa. Perjalanan masih panjang, namun harapan baru telah muncul. Mereka memiliki banyak hal untuk dipelajari dan dikerjakan. Petualangan mereka untuk menyelamatkan Reina baru saja memasuki babak baru yang lebih menegangkan dan menjanjikan.
Reiz menarik napas dalam-dalam, matanya menatap tajam ke arah hologram tubuh Reina. Cahaya matahari sore kini telah sepenuhnya menghilang, digantikan oleh cahaya lampu ruangan yang lebih redup, menciptakan suasana yang lebih serius dan intens. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, sebuah gestur yang menunjukkan kelelahan namun juga tekad yang kuat. "Helena sudah menjelaskan sebagian," suaranya berat, dipenuhi dengan emosi yang kompleks, "namun ada satu faktor penting yang belum diungkap: zat yang disuntikkan oleh Hasane Danton, ayah kandung Reina."
Reiz menunjuk ke arah hologram, jari-jarinya berhenti tepat di titik hitam kecil yang terlihat di nadi Reina. Titik hitam itu tampak seperti bintik kecil yang membeku, namun memancarkan aura yang misterius. "Zat ini, awalnya dirancang untuk menghancurkan tubuh Reina secara perlahan. Sebuah racun yang mematikan, dirancang untuk membunuh secara perlahan namun pasti." Ia berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah anggota tim, sebuah tatapan yang penuh dengan amarah dan kesedihan. "Namun, berkat vaksin yang saya kembangkan dan suntikkan sebelum jantungnya berhenti, racun itu tidak bekerja sesuai rencana."
Reiz menjelaskan dengan detail, suaranya bergetar sedikit karena emosi yang terpendam. "Vaksin tersebut, secara tak terduga, bereaksi dengan racun Danton. Alih-alih menghancurkan tubuh Reina, racun itu justru berikatan dengan komponen-komponen dalam vaksin, membentuk semacam… perisai. Racun itu tidak hilang, tetapi berubah menjadi sumber ketahanan tubuh yang luar biasa. Titik hitam itu adalah sisa-sisa racun yang telah 'terprogram ulang', menjadi bagian dari sistem pertahanan tubuh Reina. Ini menjelaskan mengapa daya tubuhnya masih sangat tinggi meskipun jantungnya sempat berhenti." Ia menghela napas panjang, sebuah gestur yang menunjukkan beban berat yang dipikulnya.
Keheningan menyelimuti ruangan, diselingi hanya oleh suara napas anggota tim yang menahan napas. Wanita berambut hitam di sebelah kiri, dan putih di sebelah kanan, Alice, tiba-tiba bersuara. Ia menguap lebar, matanya setengah tertutup, namun suaranya terdengar tajam dan penuh keyakinan. "Dari analisis zat tersebut… saya tahu siapa yang membuatnya." Ia menyilangkan tangannya di dada, sikapnya yang santai menunjukkan kepercayaan dirinya yang tinggi.
Tia, alisnya terangkat sedikit, menatap Alice dengan penuh minat. "Siapa, Alice Nevisa?" Suaranya penuh pertanyaan, namun ada sedikit kecurigaan dalam nada suaranya.
Alice mengetik sesuatu di atas meja bundar teknologi yang canggih, jari-jarinya bergerak cepat dan lincah. Sebuah hologram hijau muda muncul, menampilkan informasi detail tentang seseorang: Alexander, umur 42 tahun, lengkap dengan foto, riwayat hidup, dan informasi keluarga. Foto Alexander memperlihatkan seorang pria dengan wajah yang keras dan dingin, matanya tajam dan penuh perhitungan.
Alice menguap lagi, matanya masih setengah tertutup. "Huaaaahh… noh… pria jelek ini, Alexander," katanya, suaranya terdengar sedikit malas namun penuh kepastian. "Ia adalah ahli biokimia terkemuka, namun reputasinya di dunia gelap lebih terkenal. Saya menemukan jejak DNA-nya pada zat racun yang disuntikkan pada Reina. Ia memiliki hubungan erat dengan Hasane Danton, dan kemungkinan besar dialah yang membuat racun tersebut atas perintah Danton." Ia menunjuk ke hologram, menunjukkan detail-detail yang mendukung klaimnya. "Kita perlu menyelidiki lebih lanjut keterlibatan Alexander dalam kasus ini."
Reiz mengangguk pelan, wajahnya dipenuhi dengan amarah yang terpendam. "Alexander… Nama itu familiar. Saya pernah mendengarnya dari beberapa sumber yang tidak resmi. Ia memang terkenal karena keahliannya dalam menciptakan racun dan senjata biologi." Ia mengepalkan tangannya, sebuah gestur yang menunjukkan amarahnya yang terkendali. "Kita harus menghentikan Alexander sebelum dia melakukan hal yang lebih buruk."
Tia, dengan tenang, menyusun rencana. "Kita perlu mengumpulkan bukti yang lebih kuat untuk menuntut Alexander. Helena, lanjutkan analisis zat tersebut. Jimmy, siapkan tim untuk melakukan penyelidikan lapangan. Alice, cari informasi lebih lanjut tentang Alexander dan hubungannya dengan Danton. Kita harus bertindak cepat dan hati-hati." Suaranya tegas dan penuh otoritas, menunjukkan kepemimpinannya yang kuat. Perburuan untuk mengungkap kebenaran dan menyelamatkan Reina telah memasuki babak baru yang lebih berbahaya dan menegangkan. Bayangan Alexander, dengan wajahnya yang dingin dan kejam, kini menghantui pikiran mereka.
Reiz berdiri tegak, siluetnya tampak gagah di bawah cahaya lampu ruangan. Ia menarik napas dalam, matanya menyapu wajah-wajah anggota tim yang masih dipenuhi keterkejutan. "Sebelum kita menutup rapat ini," suaranya berat, dipenuhi dengan emosi yang rumit—campuran kelegaan, keprihatinan, dan sedikit bangga, "ada satu laporan penting yang harus saya sampaikan kepada kalian semua. Laporan tentang Hasane Reina… dan apa yang sebenarnya terjadi di Jepang."
Suasana ruangan berubah menjadi tegang. Semua mata tertuju pada Reiz, menunggu penjelasannya. Reiz menghela napas, kemudian mulai menceritakan kisahnya dengan detail. "Di Jepang, lebih tepatnya di Tokyo, Reina diculik oleh Danton dan Alexander. Mereka membawanya ke Osaka. Namun, penyerangan oleh teman-teman Reina terjadi bukan setelah beberapa hari, tetapi setelah satu bulan Reina ditawan…"
Reiz berhenti sejenak, menciptakan ketegangan yang mencekam. Ia melanjutkan, suaranya semakin berat, "Bukan hanya Reina yang diculik. Celina Andras, atasan saya, juga diculik bersama Kenzi, Hanna, Leon Rombert—pacar Nona Andras—dan Kono, tangan kanan Andras."
Seketika itu juga, ruangan dipenuhi dengan desisan terkejut. Jimmy, Helena, Alice, dan Mike—anggota tim yang lain—bereaksi dengan serentak. Mata mereka melebar, mulut mereka terbuka sedikit, menunjukkan keterkejutan yang mendalam. "A… apa? Andras dan Leon juga diculik?" Jimmy berseru, suaranya dipenuhi dengan ketidakpercayaan. Mike menambahkan, "Apa yang terjadi selanjutnya?" Ketegangan di ruangan semakin meningkat.
Reiz mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Baiklah, Mike Wilson," katanya pelan, lalu ia menggerakkan tangannya, dan sebuah layar hologram besar muncul di tengah meja, menampilkan rekaman video pertarungan yang menegangkan.
"Penyerangan terjadi pada tanggal 1 Agustus, jam 18.00," Reiz menjelaskan, suaranya bergetar sedikit. "Tiga pemimpin pasukan pemanah elit Nona Andras melancarkan serangan mendadak ke gudang narkoba Danton di Osaka. Mereka dilengkapi dengan persenjataan canggih dan terlatih dengan sangat baik. Sunsan Ryu memimpin pasukan utama, Sima Hiro di sisi kiri, dan Kazama Chins di sisi kanan. Mereka menggunakan panah api untuk membakar gudang tersebut, menciptakan kekacauan yang luar biasa."
Jimmy, yang masih terkejut, mengangguk kagum. "Sangat cerdas," katanya, suaranya dipenuhi dengan kekaguman. "Serangan panah api itu bisa menurunkan kewaspadaan Danton dan Alexander, menciptakan kesempatan bagi tim penyerang untuk masuk."
Reiz tersenyum tipis, sebuah senyum yang menunjukkan sedikit kebanggaan. "Kau benar, Jimmy. Setelah gudang dilanda api, Hikari Kei—pacar Reina—bersama Arisu Lynn, Youki Zen, dan Kaguri Yuka melancarkan serangan di dalam gudang. Mereka bergerak cepat dan terkoordinasi dengan sangat baik."
Layar hologram menampilkan rekaman video dari drone yang melayang di atas gudang. Kei terlihat menggendong Reina yang sekarat, wajahnya dipenuhi keputusasaan namun tetap teguh. Zen, dengan rantai besar yang berkilauan, membuka jalan bagi Kei, bertarung dengan ganas melawan para pengawal Danton. Di belakang Kei, Emi dan Earl terlihat mengejar lima puluh bawahan Danton dan Alexander yang mencoba menghentikan Kei dari belakang, menembak dengan tepat dan akurat.
Alice, yang biasanya terlihat mengantuk, kini matanya terbuka lebar, dipenuhi dengan kekaguman. Ia menunjuk ke arah layar, jarinya gemetar sedikit. "Gadis yang memiliki rambut hijau muda yang diikat ekor kuda itu… apakah Sirosaki Emi?!" Suaranya dipenuhi dengan ketidakpercayaan.
Tia mengangguk pelan. "Iya, Alice."
Alice mendekat ke layar, wajahnya dipenuhi dengan kekaguman. Ia memperhatikan detail-detail pertarungan Emi, yang terlihat sangat terampil menggunakan shotgun naga giok hijau, melakukan jump shot dengan presisi yang luar biasa. "Wah… dia sangat keren," katanya, suaranya dipenuhi kekaguman. "Bisa jump shot…"
Jimmy, yang tidak sabar, berseru, "Hei Alice, bisa diam? Aku ingin mendengar cerita mengenai pertempuran ini!"
Alice kembali duduk, menyandarkan tubuhnya dengan kasar, namun matanya masih tertuju pada layar. "Humph, dasar botak," gumamnya, namun nada suaranya menunjukkan kekaguman yang terselubung. Jimmy, yang merasa tersinggung, membalas, "Hei! Botak ini bisa menguasai asrama selama empat bulan penuh, ya!!" Suasana ruangan kembali dipenuhi dengan ketegangan dan kekaguman, diselingi dengan sedikit humor. Kisah penyelamatan Reina dan pertempuran di gudang narkoba Danton telah membuka babak baru yang menegangkan dalam misi mereka.
Reiz mengusap wajahnya, kelelahan tampak jelas di rautnya. Namun, sorot matanya tetap tajam, mencerminkan tekad yang tak tergoyahkan. "Setelah berhasil membawa Reina ke dalam ambulans," suaranya berat, "ancaman terbesar tiba. Dua keponakan Danton, Hasane Khaou dan Hasane Rinne, kakak beradik yang sangat berbahaya."
Reiz menunjuk ke layar hologram, yang kini menampilkan rekaman pertarungan yang lebih intens dan menegangkan. Keempat anggota tim—Kei, Zen, Emi, dan Earl—terlihat berjuang melawan Khaou dan Rinne. Kei, dengan katana hologram biru muda yang berkilau, bergerak lincah dan mematikan. Zen, dengan rantai besarnya, mengayunkan senjata mematikan itu dengan kekuatan dan ketepatan yang luar biasa. Emi, dengan shotgun naga giok hijau, menembak dengan presisi yang menakjubkan, setiap tembakannya tepat sasaran. Earl, dengan pedang baja rantai ungu, bergerak dengan kecepatan dan keganasan yang luar biasa.
Awalnya, mereka terlihat kewalahan. Khaou, dengan katana laser putihnya yang memotong udara dengan cepat, menyerang dengan brutal. Rinne, dengan dua pedang hologram putih bergradasi ungu muda dan biru muda, bergerak dengan kecepatan kilat, setiap serangannya penuh dengan kekuatan dan keanggunan. Namun, di balik keanggunan itu, ada sesuatu yang tampak berbeda.
Keempat anggota tim itu berjuang mati-matian, keringat membasahi tubuh mereka, napas mereka memburu. Mereka saling melindungi, saling mendukung, menunjukkan ikatan persahabatan yang kuat. Setelah pertarungan yang menegangkan dan penuh dengan risiko, mereka berhasil menjatuhkan Khaou dan Rinne, meskipun tubuh mereka dipenuhi luka.
Craig, yang sedari tadi diam memperhatikan rekaman pertarungan, tiba-tiba bersuara. Ia mengusap dagunya, matanya tertuju pada Rinne yang bertarung dengan penuh emosi, sebuah ekspresi yang kontras dengan sikapnya yang biasanya dingin dan tenang. "Rinne… dia bertarung dengan penuh emosi," gumamnya, suaranya sedikit serak. "Ada apa sebenarnya dengan Rinne?" Ekspresinya berubah, menunjukkan sedikit rasa penasaran dan sedikit simpati.
Reiz mengangguk pelan, matanya tampak jauh. "Sebenernya, setahun yang lalu, Rinne adalah sahabat kelompok Kei," jelasnya, suaranya berat. "Sepertinya ia terpaksa melakukan ini. Mungkin ada hasutan dari Danton. Kita perlu menyelidiki lebih lanjut latar belakang Rinne." Ia menghela napas, sebuah gestur yang menunjukkan beban berat yang dipikulnya. "Kita harus mencoba menyelamatkannya juga."
Reiz kembali menatap anggota timnya, matanya dipenuhi dengan tekad. "Baiklah, kita tutup rapat ini," katanya, suaranya tegas. "Tugas selanjutnya… Mike, semisal Reina telah bangun dan pulih sepenuhnya, ajarkan dia cara bertarung. Dia perlu melindungi dirinya sendiri di masa depan."
Mike, yang masih tercengang oleh rekaman pertempuran yang baru saja dilihatnya, mengangguk dengan antusias. "Baiklah… dengan senang hati," katanya, suaranya dipenuhi dengan semangat. Ia bangga bisa melatih seseorang yang memiliki potensi dan keberanian seperti Reina. Misi mereka belum berakhir. Mereka masih memiliki banyak hal untuk dilakukan, termasuk melindungi Reina dan mengungkap kebenaran di balik semua peristiwa yang terjadi. Bayangan pertempuran yang menegangkan itu masih terpatri dalam pikiran mereka, menjadi pengingat betapa berbahayanya dunia yang mereka hadapi. Namun, di balik bahaya itu, ada juga harapan dan tekad untuk terus berjuang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!