Moskow, 15 Agustus 2024. Laboratorium Reiz.
Udara Moskow yang dingin menusuk tulang, merayap masuk ke dalam lorong-lorong rahasia di bawah tanah. Bau logam berkarat dan desisan mesin bercampur dengan aroma obat-obatan samar dari ruang perawatan medis yang terletak di kedalaman kompleks bawah tanah itu. Tanggal 15 Agustus 2024, tiga minggu telah berlalu sejak peristiwa menegangkan di Osaka, Jepang. Keempat anggota tim—Mike, Jimmy, Alice, dan Helena—melangkahkan kaki mereka dengan hati-hati di lantai beton yang dingin, menuju ruang perawatan Reina.
Mike, dengan rahang yang tampak tegang, memecah kesunyian. "Dua minggu," gumamnya, suaranya berat, dipenuhi dengan kekhawatiran yang terpendam. "Apakah dia sudah sadar?" Tangannya mengepal di sisi tubuh, jari-jarinya memutih karena tekanan. Langkahnya tampak lebih berat daripada biasanya, mencerminkan beban tanggung jawab yang dipikulnya.
Jimmy, dengan tangan di belakang kepala dan langkah santai yang kontras dengan ketegangan Mike, menyahut dengan nada santai namun sedikit sarkastis. "Yaa... setidaknya sebulan itu sudah paling cepat," katanya, menggerakkan bahunya acuh tak acuh. "Jangan terlalu berharap, Mike. Luka-lukanya cukup parah." Senyum tipis yang mengejek terukir di bibirnya, namun matanya menunjukkan sedikit kecemasan yang disembunyikan dengan baik.
Alice, yang biasanya selalu terlihat mengantuk, kali ini tampak lebih lesu dari biasanya. Kepalanya tertunduk, rambutnya yang pirang menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Ia menguap lebar, suaranya menggema di lorong yang sunyi. "Berisik... botak... huaaahh..." Ia menggosok matanya dengan kasar, menunjukkan kelelahan yang mendalam. Tubuhnya sedikit limbung, hampir saja terhuyung jika Helena tidak menahannya dengan lembut.
"Hei! Sudah cukup, Alice!" Jimmy menegur dengan nada keras, namun ada sedikit kekhawatiran di balik amarahnya. Ia tahu Alice sedang kelelahan, dan ia tidak ingin menambah bebannya. Ia menghela napas, menyadari bahwa tekanan misi ini telah membebani mereka semua.
Helena, yang berjalan di samping Mike, tampak jauh lebih tenang. Namun, ketegasan dalam langkahnya dan fokusnya yang tertuju pada hologram di tangannya menunjukkan keseriusan tugasnya. Hologram itu menampilkan model tiga dimensi tubuh Reina, menampilkan data vitalnya secara detail. Helena menggerakkan jarinya di atas hologram, matanya mengikuti perubahan angka-angka yang ditampilkan. "Mike," katanya, suaranya tenang namun tegas. "Daya tahan tubuh Reina... semakin meningkat... sudah mencapai 83%." Senyum tipis muncul di wajahnya, menunjukkan secercah harapan.
Mike berhenti sejenak, menatap angka di hologram dengan mata yang berbinar. "Sungguh tidak terduga," katanya, suaranya dipenuhi dengan kelegaan. "Sepertinya kita hanya menunggu dia sadar..." Ia menghela napas panjang, beban di pundaknya terasa sedikit berkurang. "Baiklah..." Ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada yang lain untuk melanjutkan perjalanan.
Mereka berempat bergegas menuju ruang perawatan Reina, langkah kaki mereka bergema di lorong yang sunyi. Suasana tegang namun dipenuhi dengan harapan. Saat mereka mendekati pintu ruang perawatan, detak jantung mereka berdegup lebih kencang. Mereka telah menunggu momen ini selama berminggu-minggu, menunggu keajaiban untuk terjadi. Mereka berharap, Reina akan segera membuka matanya, dan menceritakan kisah yang belum terungkap dari pertempuran di Osaka. Mereka berharap, Reina akan kembali.
Tangan Mike gemetar sedikit saat ia memasukkan kode akses yang rumit ke dalam panel di samping pintu ruang perawatan. Deretan angka dan simbol berkedip di layar kecil, mencerminkan beban tanggung jawab yang ia pikul. Udara di lorong terasa semakin dingin, seakan-akan menahan napas bersama mereka. Alice, yang biasanya ceroboh, tampak gelisah, mondar-mandir di depan pintu, matanya yang sayu menunjukkan campuran kegembiraan dan kelelahan yang luar biasa.
"Cepat, Mike, cepat!" desaknya, suaranya sedikit bergetar. "Aku mau bertemu dengannya... mungkin dia orang yang baik!" Ia menguap lagi, menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar, "Huaaahh, aku ngantuk..." Namun, di balik kantuknya yang tampak, ada rasa penasaran yang kuat terpancar dari matanya.
Setelah bunyi klik yang menandakan pintu terbuka, mereka melangkah masuk ke dalam ruangan yang diterangi cahaya lembut. Aroma desinfektan yang tajam bercampur dengan aroma bunga lili putih yang diletakkan di sudut ruangan, menciptakan suasana yang unik: steril namun menenangkan. Reina terbaring tenang di ranjang perawatan, dibalut selimut putih yang bersih. Wajahnya yang pucat beberapa minggu lalu kini telah kembali mendapatkan sedikit warna, meskipun masih terlihat kelelahan.
Mike, Jimmy, Alice, dan Helena melangkah mendekat, mengelilingi ranjang Reina. Jimmy, yang biasanya selalu ceria, tampak terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menatap wajah Reina dengan ekspresi lega yang tak terbantahkan. "Wajahnya... sudah tidak pucat lagi..." gumamnya, suaranya serak karena menahan emosi. Tangannya terangkat, seolah ingin menyentuh wajah Reina, namun ia menahan diri, takut mengganggu ketenangannya.
Helena, dengan ekspresi tenang namun penuh perhatian, mengamati tanda-tanda vital Reina di monitor yang terpasang di dinding. Ia mengangguk pelan kepada Jimmy, "Iya, Jimmy. Apakah kau senang?" Suaranya lembut, namun mengandung pertanyaan yang dalam.
Jimmy menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada wajah Reina. "Bukan itu..." katanya, suaranya masih bergetar. "Aku senang perjuangan Profesor Reiz dan Profesor Tia akhirnya berhasil..." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang dipenuhi dengan rasa syukur dan kelegaan. Bayangan perjuangan panjang dan penuh pengorbanan terlintas di benaknya.
Mike, yang selama ini tampak tegar, kini menunjukkan sedikit kelemahan. Ia menepuk bahu Jimmy dengan lembut, "Iya..." katanya, suaranya berat. "Demi adiknya yang dicintainya, Profesor Reiz rela membuat jantung robot hampir tidak bisa tidur." Ia menggelengkan kepala, matanya menunjukkan kekaguman dan hormat yang mendalam kepada Profesor Reiz. Bayangan wajah Reiz yang lelah namun teguh terbayang di pikirannya, menggambarkan pengorbanan yang luar biasa demi menyelamatkan Reina. Mike merasakan beban tanggung jawab yang berat, namun juga rasa syukur yang mendalam atas keberhasilan misi ini. Mereka telah melewati begitu banyak rintangan, dan kini, akhirnya, mereka telah mencapai tujuan mereka.
Alice, yang masih mengantuk, tiba-tiba duduk tegak, matanya terfokus pada Reina. "Dia... cantik," gumamnya, suaranya masih sedikit serak karena kantuk. Namun, ada rasa kekaguman yang tulus terpancar dari matanya. Ia mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu, menyentuh lembut tangan Reina. Sentuhannya lembut, penuh hormat, seakan-akan takut membangunkan Reina dari tidurnya. Suasana hening sejenak, hanya diiringi oleh bunyi monitor yang teratur dan napas Reina yang tenang. Keempat anggota tim itu berdiri di sana, dikelilingi oleh suasana yang penuh haru dan syukur, menunggu momen ketika Reina akan membuka matanya dan menceritakan kisah yang telah lama mereka tunggu. Momen ketika mereka akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Osaka, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Didalam mimpi Reina.
...----------------...
Kegelapan mencengkeram Reina. Bukan kegelapan fisik semata, melainkan kegelapan jiwa yang mencekam. Ia terduduk di tengah hampa yang tak bertepi, tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dingin, tetapi karena rasa kehilangan yang menusuk kalbu. Pipinya basah oleh air mata, dan setiap buihnya terasa seperti pecahan kaca yang melukai hatinya. "Apakah aku... sudah mati...?" suaranya hanya berupa bisikan, nyaris tak terdengar di tengah kesunyian yang maha luas. "Dimana ini...?" Pertanyaan itu menggantung di udara, tak terjawab, menambah rasa putus asa yang mencengkeramnya.
Ia mencoba bangkit, mencoba melangkah, namun kakinya melayang, tak menapak di tanah yang kokoh. Ia berlari, berlari sekuat tenaga, namun tetap saja berada di tempat yang sama, terperangkap dalam ruang hampa yang tak berujung. Kegelapan itu terasa nyata, menekan dadanya hingga sesak. Di tengah keputusasaan yang mencekam, kenangan bermunculan, satu per satu, seperti kilatan petir di tengah badai. Kei, Hanna, Kenzi, Andras, Leon, Lynn, Emi, Yumi, Ryu, Max, Earl, Zerav, Chins, Hiro… Nama-nama teman-temannya berputar-putar di kepalanya, setiap nama adalah sebuah luka, sebuah kenangan yang mengoyak hatinya. Mereka adalah ikatan persahabatan yang kuat, yang kini terasa begitu jauh, begitu tak terjangkau.
Tangisnya pecah, menggema di ruang hampa yang sunyi. "Dimana ini...?" Ia mengulangi pertanyaan itu, suaranya dipenuhi keputusasaan yang semakin dalam. "Aku tidak bisa keluar… beberapa kali aku berlari mencari jalan keluar, tapi… ini hanya ruang hampa… aku… mungkin sudah mati…" Tubuhnya menggigil hebat, dihantam oleh gelombang kesedihan yang begitu dahsyat, hingga ia merasa jiwanya akan hancur berkeping-keping.
Kepalanya tertunduk, isak tangisnya semakin menjadi-jadi. "Semuanya… teman-temanku… maafkan aku… maafkan aku telah meninggalkan kalian semua," bisiknya, suaranya teredam oleh tangis yang membahana. "Kei… Hanna… Kenzi… Lynn!!" Nama-nama itu terucap lirih, diselingi oleh pukulan-pukulan lemah ke permukaan yang tak terlihat, seolah-olah ia mencoba untuk menghancurkan dinding tak kasat mata yang membelenggu dirinya.
...----------------...
Lalu, cahaya. Bukan cahaya yang lembut, tetapi cahaya yang menyilaukan, menusuk kegelapan. Cahaya itu terasa begitu nyata, begitu kuat, hingga Reina merasakan getaran yang hebat mengguncang tubuhnya. Ia merasakan getaran itu menjalar ke seluruh tubuhnya, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tubuhnya berguncang hebat, seperti terhempas oleh gelombang besar. Dengan susah payah, ia membuka matanya.
Pandangannya masih kabur. Ia melihat empat sosok berdiri di sekelilingnya, wajah-wajah yang asing namun dipenuhi dengan keterkejutan dan kelegaan. Alice, dengan mata yang berbinar-binar, memegang tangannya erat-erat. "Semuanya, lihat! Lihat! Mata Reina ternyata warna pink! Cantik sekali!" suaranya penuh dengan kegembiraan yang tak tertahankan.
Reina terduduk, pandangannya masih buram. Wajah-wajah asing itu membuatnya semakin bingung. "Siapa kalian...?" tanyanya, suaranya masih lemah, dipenuhi dengan kebingungan. "Dimana aku…? Dan mengapa ada banyak tabung aneh yang menyambung ke tangan ku…?" Ia menatap tangannya sendiri, yang terhubung dengan beberapa selang infus, sebuah pemandangan yang semakin menambah kebingungannya.
Helena, dengan ekspresi tenang dan profesional, melangkah maju, berusaha untuk menenangkan Reina. "Selamat siang, Hasane Reina," katanya, suaranya lembut namun tegas, berusaha untuk menyampaikan rasa tenang.
Reina memotongnya dengan sedikit kekesalan, "Tak usah formal. Wajah kalian terlihat aneh… bukan seperti wajah orang Jepang…" Ia mengerutkan dahi, menunjukkan ketidakpercayaan dan sedikit rasa waspada.
Alice, yang masih menggenggam tangan Reina, mencoba menjelaskan, "Reina, sekarang…"
Namun, Reina langsung memotongnya lagi, merasa terusik oleh tatapan Jimmy yang intens. "Hei, botak! Tatapan apa itu?!" Suaranya sedikit lebih keras, menunjukkan sedikit rasa tidak nyaman dan sedikit agresi.
Jimmy tersentak, "Hei! Kenapa kau masih hidup?!" Ia menatap Reina dengan ekspresi terkejut dan sedikit tidak percaya. Kemudian, ia menambahkan dengan nada sedikit sinis, "Ternyata adik Profesor Reiz ini memang rasis…"
Reina terkejut mendengar nama abangnya disebut. "Reiz… Tia… dimana abangku?!" Suaranya dipenuhi dengan kecemasan dan kerinduan yang mendalam. "Dimana aku… aku mau bertemu dengan Kei, Hanna, Kenzi, Lynn, dan Andras… Pasti Andras kesulitan mengerjakan tugas ketua OSIS-nya! Hei!! Kenapa kalian malah menahan tawa?!" Ia menatap mereka bergantian, menunjukkan rasa frustasi dan kebingungan yang bercampur aduk.
Mike, mencoba menenangkan suasana yang mulai tegang, berkata, "Andras ya… gak kebayang dia jadi ketua OSIS…" Ia mencoba untuk sedikit meredakan ketegangan dengan sedikit humor.
"Tau apa kau dengan Andras?!" Reina membalas dengan sedikit nada kesal, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap lelucon Mike.
Mike menjelaskan, "Dulu… ada murid pindahan dari Jepang, namanya Celina Andras. Dia baru masuk sekolah langsung melantik dirinya jadi calon kandidat ketua OSIS… Dia juga memaksa adik Profesor Tia, Leon Rombert, untuk menjadi wakilnya… Ya, nyatanya karena dia murid pindahan… orang gak percaya sama dia dan dia kalah…" Ia menjelaskan dengan detail, mencoba untuk memberikan konteks kepada Reina.
"Jadi… kau satu SMP dengan Andras?" tanya Reina, sedikit lebih tenang, namun masih dipenuhi dengan rasa penasaran.
"Bukan aku saja," jawab Mike. "Alice yang sedang memegang tanganmu dan Helena yang berdiri di belakangku yang sedang memeriksa daya tahan tubuhmu… kami bertiga satu SMP dengan dia… kecuali si botak di sana…" Ia menunjuk ke arah Jimmy dengan sedikit senyuman.
Jimmy menyela dengan nada kesal, "Hei!! Aku punya nama, loh!" Ia mendekati Reina, "Hei, Reina, aku Jimmy Hopkins… jangan panggil aku botak kayak mereka bertiga yang rasis ini…" Ia sedikit membungkuk, menunjukkan sedikit rasa kesal namun juga sedikit humor.
Helena terkejut, "Loh… aku juga kena?" Ia sedikit terkejut dan sedikit geli dengan situasi yang terjadi.
Jimmy berkata keras, "Iya! Pasti di dalam otakmu, kau bilang botak, botak, botak…" Ia sedikit berteriak, menunjukkan sedikit rasa kesal namun juga sedikit humor.
Helena tersenyum menahan tawa. Jimmy melanjutkan, "Nah kan!! Kau juga sama rasisnya dengan Ketua Craig, Mike, dan Alice!" Ia tertawa kecil, menunjukkan sedikit rasa puas.
Reina tertawa kecil, ketegangan di wajahnya mulai mereda. Ia merasa sedikit lebih tenang, dikelilingi oleh orang-orang yang, meskipun asing, menunjukkan perhatian dan kepedulian. Namun, di balik tawa itu, masih ada rasa penasaran dan kerinduan yang mendalam akan teman-temannya. Petualangan baru telah dimulai, dan ia siap untuk menghadapinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Rezaa..
baru bangun dari kematian lansung rasis si Reina cok 🤣🤣
2025-07-30
1